Beijing (ANTARA) - Daerah Otonom Xinjiang Uighur (Xinjiang Uyghur Autonomous Region atau XUAR) terletak di bagian paling barat laut China. Daerah ini tampak "masuk" ke pedalaman Eurasia, dan berbatasan langsung dengan delapan negara yaitu Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan serta India.
Wilayahnya mencakup dataran seluas 1,66 juta kilometer persegi atau seperenam total luas negara China. Xinjiang menjadi wilayah administratif setingkat provinsi terluas.
Xinjiang juga memiliki etnis minoritas cukup besar. Berdasarkan sensus Oktober 2020, penduduk Xinjiang mencapai 25,85 juta jiwa dengan suku mayoritas Han mencapai 42,4 persen. Sedangkan etnis-etnis minoritas lain seperti Uighur, Kazakh dan etnis lain mencapai 57,76 persen. Dari jumlah itu, etnis Uighur mencapai 44,96 persen.
Meski komposisi populasi Xinjiang berbeda dengan provinsi lain di China, Beijing menyebut Xinjiang sudah menjadi bagian Tiongkok sejak periode dinasti Qin (221-206 SM) dan Han (206 SM-220 M). Pada 60 SM, pemerintahan Dinasti Han Barat mendirikan Komando Perbatasan Wilayah Barat di Xinjiang, yang dianggap secara resmi menjadikan Xinjiang bagian wilayah China.
Namun dengan wilayah yang besar dan kekayaan budayanya, Xinjiang belakangan bukan diingat karena keunggulan dan keanekaragamannya, melainkan karena sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk asal wilayah tersebut dan juga aksi terorisme.
Sanksi dari AS
Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (The Uyghur Forced Labor Prevention Act atau UFLPA) adalah landasan hukum yang disahkan Presiden AS Joe Biden pada 23 Desember 2021 yang menghentikan aliran importasi barang-barang apa pun yang ditambang, diproduksi atau diproduksi seluruhnya atau sebagian di Xinjiang, karena tindakan yang disebut Washington melakukan praktik kerja paksa.
Hingga 22 November 2024, pemerintah AS mengumumkan ada 107 perusahaan yang masuk dalam daftar hitam UFLPA, sehingga barang-barang produksi perusahaan tersebut tidak bisa masuk ke wilayah AS.
Berdasarkan penjelasan dalam UFLPA, alasannya adalah karena pemerintah China terlibat dalam genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas warga Uighur yang mayoritas beragama Islam dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya di wilayah Xinjiang.
Sejak UFLPA berlaku hingga Juni 2024, Bea Cukai AS telah menghentikan lebih dari 9.000 pengiriman barang senilai lebih dari 3,4 miliar dolar AS.
Tuduhan kerja paksa di Xinjiang oleh AS merujuk pada bentuk-bentuk kerja paksa yang diberlakukan oleh otoritas negara, agen yang bertindak atas nama otoritas negara dan organisasi dengan kewenangan yang serupa dengan negara.
Washington menyebut pemerintah secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan utama program mobilisasi tenaga kerja wajib di Xinjiang adalah untuk tujuan pembangunan ekonomi tapi digagalkan oleh "ekstremisme" agama di komunitas Uighur, sehingga mobilisasi tenaga kerja dan kerja kamp (yang digambarkan oleh pemerintah China sebagai pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan) adalah untuk mengubah pandangan ideologis masyarakat.
Pemerintah AS menyebut pihaknya memiliki bukti hal tersebut terjadi terhadap etnis Uighur, Kazakh, Kirgistan, Tibet, dan kelompok minoritas lainnya sebagaimana disampaikan seorang antropolog bernama Adrian Zenz yang mempelajari "penganiayaan" terhadap warga Uighur yang menyebut Rencana Pembangunan Lima Tahun Xinjiang termasuk amanat agar "setiap orang yang mampu bekerja harus memperoleh pekerjaan".
Tuduhan itu juga menyebut bahwa pemerintah distrik di Xinjiang telah melakukan mobilisasi warga Uighur atau kelompok etnis lainnya sebanyak 12 juta pada periode 2020-2023 dari total populasi Xinjiang seluruhnya 25 juta. Meski pemerintah Xinjiang menyebut mobilisasi itu adalah sukarela, namun aturan pada 2017 mengatakan bahwa warga yang menolak berpartisipasi dalam program mobilisasi akan ditahan.
Perusahaan-perusahaan yang terkena sanksi mencakup perusahaan kapas, tomat, panel tenaga surya, industri kimia, pertambangan dan juga bio medis.
Tampak dari sanksi tersebut tentu merusak stabilitas rantai industri dan pasokan Xinjiang yang pada gilirannya juga berdampak pada ketersediaan lapangan kerja di Xinjiang karena berkurangnya permintaan produk (untuk ekspor).
Terorisme
Masalah lain di Xinjiang adalah kehadiran kelompok yang disebut sebagai "separatis" dan "ekstrimis agama" dari luar China dengan paham "Pan-Turkisme" dan "Pan-Islamisme" yang menyebut bahwa orang Uighur adalah satu-satunya penguasa Xinjiang.
Dalam pameran "Perjuangan Melawan Terorisme dan Ekstremisme di Xinjiang" yang sengaja dibuat pemerintah Xinjiang di Urumqi, ditunjukkan bahwa kelompok tersebut menghasut semua kelompok etnis yang dapat berbicara bahasa Turki dan beragama Islam untuk bergabung dalam menciptakan negara teokratis yang disebut "Turkistan Timur".
Kelompok tersebut menyangkal sejarah China yang merangkul semua kelompok etnis, dan menyerukan "perlawanan terhadap semua kelompok etnis selain Turki" dan berjuang untuk "melawan kaum pagan".
Dari awal abad ke-20 hingga akhir 1940-an, kelompok "Turkistan Timur", dalam upaya untuk memecah dan mengendalikan Xinjiang serta mendirikan negara mereka, mempromosikan dan menyebarkan gagasan "Pan-Turkisme", "Pan-Islamisme" dengan cara kekerasan dan terorisme. Mereka disebut mengorganisasi dan merencanakan serangkaian kegiatan separatis.
Tercatat pada dekade 1940-an dan 1950-an, Ayup Hoshurkary menyebarkan gagasan "Pan-Turkisme" dan "Pan-Islamisme" dan mengobarkan "jihad" (perang suci) saat ia memimpin Madris (madrasah) di kota Hangdi, kabupaten Shache. Pada 1958, saat sekolah itu dilarang, sekitar 4.000 talip (siswa sekolah agama) dari 28 kota dan kabupaten telah dilatih untuk menjadi tulang punggung dalam perencanaan dan pengorganisasian aksi separatis etnis.
Salah satu aksi pertama yang ditunjukkan ke publik oleh pemerintah Xinjiang adalah aksi di terminal bus di kabupaten Huocheng pada 1962 di mana kelompok tersebut menghasut massa untuk menghancurkan peralatan terminal, memukuli staf, dan menyerang personel. Mereka juga merebut senjata api dan menyerang kantor pusat pemerintah Prefektur Yili.
Setelah serangan 11 September 2001, kelompok "Turkistan Timur" meningkatkan kekuatannya dengan jaringan teroris di luar China dan melakukan berbagai aksi, sabotase, kerusakan sehingga menyebabkan ratusan korban jiwa baik masyarakat biasa maupun petugas kepolisian.
Dalam pameran itu pun ditunjukkan panel-panel aksi teroris sejak 1960 hingga 2016 yang mencakup 53 peristiwa terorisme baik berupa bom, penusukan, penabrakan mobil, ancaman ledakan pesawat yang terjadi di berbagai daerah di provinsi Xinjiang bahkan di Beijing dan Guangzhou yang disebut terkait dengan kelompok teroris.
Namun, pemerintah China menyebut sejak 2016 tidak ada lagi aksi terorisme di China. Apalagi dengan penerapan Peraturan Daerah Otonomi Uighur Xinjiang tentang De-ekstremisasi (Xinjiang Uyghur Autonomous Region Regulation on De-extremification) yang diberlakukan mulai 1 April 2017.
Dalam aturan tersebut dimuat pelarangan untuk menyebarkan ajaran ektremisme, hingga pelarangan fanatisme agama melalui jenggot yang tidak teratur maupun memaksa memakai burka atau simbol-simbol ekstremisme.
Jawaban Xinjiang
Atas sanksi AS tersebut, Juru Bicara Daerah Otonom Xinjiang Uighur Xu Guixiang mengatakan bahwa penerapan sanksi tersebut dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah datang ke Xinjiang, hanya mengandalkan beberapa laporan yang diklaim berasal dari ahli hukum dan rumor tidak benar yang beredar di internet sehingga menghasilkan kebohongan tentang kekerasan.
"Untuk menimbulkan apa yang mereka sebut sebagai dasar penerapan sanksi sepihak, padahal faktanya perusahaan-perusahaan di Xinjiang secara hukum memberikan hak bekerja kepada semua etnis di Xinjiang, artinya tidak ada masalah yang disebut dengan kerja paksa," kata Xu Guixiang dalam "media briefing" sebelum seminar "Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial di Xinjiang" yang berlangsung di Urumqi, Xinjiang pada pertengahan Sabtu (14/12).
Xu mengakui wilayah Xinjiang sebelah selatan memiliki kondisi alam yang menantang sehingga masyarakat di wilayah tersebut minim pekerjaan dan tidak bagus kondisi ekonominya.
Pemerintah Xinjiang kemudian membuat upaya tersistematisasi untuk menciptakan kesempatan kerja baru yang disebut bertujuan untuk membantu masyarakat bagian selatan Xinjiang pergi ke wilayah Xinjiang lain atau provinsi lain di China untuk mendapatkan tempat kerja baru.
"Langkah ini mendapat respons positif dari semua lapisan masyarakat karena sesuai dengan harapan mereka. Pemindahan tenaga kerja yang terorganisir dari berbagai etnis itu memberikan manfaat yang nyata," tambah Xu.
Direktur Utama Xinjiang Tianshan Wool Textile Co Liu Zhongbing, salah satu perusahaan yang terkena sanksi dari AS mulai September 2023 mengakui bahwa pesanan ekspor untuk perusahaannya turun signifikan.
"Awalnya proporsi ekspor kami adalah sekitar 80 persen dari produksi, tapi setelah mendapatkan sanksi maka pesanan berkurang tajam sehingga perusahaan mengalami kesulitan operasional. Pada 2017, karyawan kami hampir 700 orang, saat ini jumlahnya hanya sekitar 500 orang dan kami pun fokus ke pasar domestik," kata Liu.
Perusahaannya, ungkap Liu, melakukan perubahan dengan lebih banyak menggunakan mesin atau otomatisasi produksi.
"Kami juga memperkuat kerja sama dengan merek pakaian terkenal di dalam negeri. Awalnya kami hanya membuat sweater wol dan kasmir, sekarang kami juga membuat jas dan kemeja kasmir maupun sweater yang dapat dipakai di musim panas, jadi kami dapat menjual produk sepanjang tahun," tambah Liu.
Liu juga menjelaskan proporsi etnis minoritas yang bekerja di perusahaannya adalah sebanyak 20 persen dari total pekerja.
Salah satu pekerja dari etnis Uighur di Xinjiang Tianshan Wool Textile Co, Ayoub Halik, menyebut dalam timnya ada pekerja dari etnis Uighur, Han, Kazakh maupun Hui. Ia tidak merasakan ada pemaksaan atau ketidakadilan saat bekerja.
Gubernur Daerah Otonomi Xinjiang Uighur Erkin Tuniyaz mengatakan pemerintahnya berupaya untuk melakukan pemerataan pendapatan di kawasan utara maupun selatan Xinjiang. Produk Domestik Bruto (PDB) Xinjiang pada tiga kuartal pertama 2024 adalah sebesar 1,45 triliun yuan (sekitar Rp3.215 triliun) atau meningkat 5,5 persen dari periode sebelumnya.
Pendapatan per kapita penduduk di perkotaan Xinjiang adalah 40.578 yuan (sekitar Rp89,98 juta) sedangkan di pedesaan adalah 17.948 yuan (sekitar Rp39,8 juta).
"Tidak pernah, dan tidak akan pernah ada, diskriminasi berdasarkan etnis, wilayah, gender atau keyakinan agama. Kami secara ketat menerapkan sistem cuti dan liburan serta secara aktif melindungi hak-hak pekerja atas hari libur resmi maupun cuti sesuai dengan hukum," kata Erkin.
Hingga November 2024, Erkin menyebut 22,65 juta penduduk Xinjiang berpartisipasi dalam tiga asuransi sosial yaitu pensiun, jaminan kerja dan kecelakaan kerja.
"Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kekuatan anti-China mengabaikan hasil luar biasa Xinjiang dalam melindungi hak asasi manusia, mempraktikkan 'standar ganda' dan secara sengaja membesar-besarkan apa yang disebut 'kerja paksa' dan isu-isu lain di Xinjiang. Bahkan memberlakukan sanksi yang tidak masuk akal terhadap industri dan perusahaan di Xinjiang, yang secara serius melanggar hukum internasional, mengganggu kedaulatan dan urusan dalam negeri Xinjiang, maupun melanggar hak asasi manusia," tambah Erkin.
Sebagai upaya menghadirkan bukti objektif mengenai kondisi pekerja di Xinjiang, "Research Center for Basic Theory of Trade Unions" dari kampus "China Institute of Industrial Relations" membuat penelitian berjudul "The Blue Book on the Protection of Labor in Xinjiang".
Penelitian itu disebut dilakukan selama 6 bulan pada Maret-September 2024 di 14 distrik di Xinjiang dan mewawancari lebih dari 1.000 orang dari berbagai departemen di 100 perusahaan.
Peneliti dari penelitian tersebut, Wang Xin, menyebut gaji rata-rata karyawan di perusahaan swasta di perkotaan Xinjiang tumbuh rata-rata lebih dari 10 persen dari 2009 hingga 2022.
Perusahaan juga memberikan cuti tahunan berbayar bagi karyawan, hari libur resmi, hari libur nasional, dan cuti menstruasi khusus bagi pekerja perempuan serta secara efektif melindungi hak karyawan untuk beristirahat dan berlibur.
Selain hari libur resmi nasional, sejak 2012, karyawan dari semua kelompok etnis di Xinjiang mendapat satu hari libur setiap Idul Fitri dan Idul Adha, sehingga mendapat jatah libur lebih banyak dibanding libur nasional.
"Memang salah satu tujuan dari penelitian kami adalah untuk menjawab soal sanski dari AS, tapi selain itu kami berharap melalui penelitian ini, dapat mencerminkan secara nyata perlindungan terhadap hak-hak tenaga kerja di Xinjiang," kata Wang Xin.
Penelitian itu, menurut Wang Xin, juga termasuk wawancara dengan perusahaan-perusahaan yang terkena sanksi AS.
"Kami melakukan riset di sana, dan perusahaan-perusahaan itu bahkan menyediakan akomodasi gratis, makan siang dan makan malam gratis, sampai membantu pendidikan anak-anak pekerja. Namun setelah sanksi, pesanan dari luar negeri jauh berkurang sehingga operasional pun ada yang berhenti dan pendapatan bulanan berkurang, bahkan pekerja terancam keluar," tambah Wang Xin.
Pemerintah Xinjiang pun kini masih terus berupaya untuk terbebas dari tuduhan "kerja paksa" maupun terorisme.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024