Konsekuensi legitimasi pemerintahan yang lemah

5 days ago 13

Jakarta (ANTARA) - Isu sistem penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) di Bangladesh menjadi penyebab kerusuhan yang berdampak kejatuhan Kepala Pemerintahan, yaitu Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina.

Hal ini tentunya sangat mengherankan bagi sebagian kalangan di Indonesia. Apalagi sistem penerimaan tersebut diutamakan bagi keluarga veteran perang yang telah berjasa dalam perang dengan Pakistan tahun 1971, dengan mengalokasikan kuota sekitar 30 persen.

Kebijakan tersebut menimbulkan protes warga yang menuntut lapangan pekerjaan. Bentrokan aparat kepolisian dengan para pengunjuk rasa yang sebagian besar adalah mahasiswa kemudian memicu kerusuhan dan aksi pembakaran gedung-gedung pemerintahan mulai 16 Juli 2024 di Dhaka, Bangladesh.

Kerusuhan tersebut merenggut korban jiwa sekitar 115 orang dan lebih dari 400 orang terluka. Bentrokan sporadis di beberapa wilayah di Ibu Kota Dhaka dilaporkan terjadi pada Sabtu 20 Juli 2024.

Meskipun peraturan alokasi penerimaan PNS telah diubah oleh Mahkamah Agung Bangladesh dari alokasi 30 persen menjadi 5 persen, para pengunjuk rasa tetap melakukan aksi demonstrasi melawan pemerintah.

Sebesar 93 persen kuota PNS kini dialokasikan untuk masyarakat umum berdasarkan prestasi, satu persen ditujukan bagi anggota kelompok etnis minoritas, dan satu persen kuota terakhir untuk transgender dan penyandang disabilitas.

Para pengunjuk rasa tetap menuntut keadilan karena banyak pengunjuk rasa yang meninggal dalam kerusuhan beberapa hari terakhir. Mereka juga menuntut pembebasan para pemimpin protes yang ditahan, pemulihan layanan internet, dan pengunduran diri para menteri pemerintah.

Kerusuhan juga menyebabkan lebih dari 800 tahanan melarikan diri dari penjara dengan membawa 85 senjata api dan 10.000 butir amunisi dan baru 58 tahanan yang ditangkap.

Demonstrasi juga terjadi di negara-negara lain yang dihuni komunitas warga Bangladesh seperti London, Inggris dan New York, AS.

Gelombang protes tersebut merupakan tantangan paling serius bagi pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina sejak memenangkan masa jabatan keempat periode berturut-turut.

Sheikh Hasina adalah Perdana Menteri Bangladesh yang ke-10 yang memerintah dari tahun 1996 sampai 2001 dan dari 2009 sampai 2024. Ia adalah anak sulung dari Sheikh Mujibur Rahman, presiden pertama Bangladesh. Dalam pernyataannya, Sheikh Hasina mengundurkan diri agar tidak menimbulkan korban yang lebih banyak lagi.

Selanjutnya para mahasiswa yang memimpin aksi massa mengajukan Prof. Muhammad Yunus untuk memimpin pemerintahan sementara dan menolak pemerintahan pimpinan militer.

Muhammad Yunus merupakan simbol perlawanan pemerintah yang merupakan musuh politik mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. Ia ditunjuk sebagai pemimpin sementara negara itu.

Tokoh berusia 84 tahun itu pernah meraih Nobel Perdamaian dan dikenal sebagai pelopor keuangan mikro, yang membantu mengangkat sebagian masyarakat termiskin di negara itu keluar dari kemiskinan, sehingga ia kerap dijuluki “bankir kaum miskin”.

Meski Prof. Yunus dipuji banyak kalangan karena mempelopori penggunaan pinjaman mikro untuk kaum miskin, Perdana Menteri Sheikh Hasina yang berkuasa pada tahun 2008, menganggapnya sebagai musuh masyarakat dan menuduhnya sebagai “Penghisap darah" orang miskin melalui kegiatan bisnisnya.

Hasina melakukan serangkaian penyelidikan terhadap Prof. Yunus dan para pendukungnya yang dinilainya bermuatan politik. Prof. Yunus saat ini berstatus dibebaskan dengan jaminan sembari mengajukan banding atas hukuman penjara enam bulan.

Saat ini, setelah pemerintahan Sheikh Hasina berakhir, Prof Yunus-lah yang muncul sebagai tokoh yang disukai oleh para pemimpin protes mahasiswa untuk mengarahkan Bangladesh kembali ke stabilitas ekonomi. Para pengunjuk rasa menginginkannya menjadi penasihat utama bagi pemerintahan sementara.

Sheikh Hasina dalam wawancara ​​​​​​​dengan Economic Times menyatakan adanya keterlibatan pihak Amerika Serikat (AS) yang berada di balik kerusuhan tersebut untuk menjatuhkan pemerintahannya karena tidak mengijinkan pihak AS untuk membangun pangkalan militer di pulau Saint Martin.

Dijelaskan lebih lanjut seorang diplomat senior AS yang mengunjungi Dhaka pada bulan Mei 2024 berusaha menekan Hasina agar berinisiatif melawan China.

Rusia pun pernah memprediksi melalui Juru bicara Kementerian Luar Negerinya, Maria Zakharova dalam sebuah konferensi pers pada bulan Desember 2023 bahwa jika Hasina kembali berkuasa dalam pemilihan umum 2024, AS akan menggunakan semua kekuatannya untuk menggulingkan pemerintahannya.

AS akan menciptakan situasi seperti "Arab Spring" untuk membawa perubahan rezim tersebut. Di dalam laporan-laporan utama sering menyebutkan bahwa AS telah mengincar Pulau St. Martin selama bertahun-tahun untuk pangkalan angkatan udara keduanya di wilayah tersebut.

Pada Mei sebelum terjadinya kerusuhan, Sheikh Hasina juga mengeklaim bahwa AS mencoba mengambil alih pulau tersebut, dengan menjanjikan bahwa ia akan terpilih kembali dalam Pemilu tersebut tanpa hambatan jika ia mengizinkan AS mendirikan pangkalan angkatan udara di pulau tersebut.

Pada Juni 2023 Hasina mengatakan bahwa partai oposisinya yaitu Bangladesh Nationalist Party (BNP) ingin menjual Pulau St. Martin untuk merebut kekuasaan pemerintahan. Jika BNP berkuasa, mereka akan memberikan pulau Saint Martin kepada pihak asing dengan dalih memposisikan Bangladesh dalam Dialog Keamanan Quadrilateral/Quadrilateral Security Dialogue (Quad). Bahkan disinggungnya bahwa ada rencana pihak AS untuk membentuk negara kecil dengan mengambil bagian dari Bangladesh dan Myanmar, seperti yang terjadi di Timor Leste.

Penting untuk dicatat bahwa kudeta di Bangladesh secara luas dispekulasikan sebagai operasi pergantian rezim oleh AS. Protes di Bangladesh, kekerasan, dan kepergian Sheikh Hasina dari negara tersebut telah menimbulkan pertanyaan apakah ada AS di balik kudeta tersebut.

Perlu dicatat bahwa meskipun kuota, yang menjadi dasar protes, telah dihapuskan oleh Mahkamah Agung Bangladesh, aksi unjuk rasa tidak juga berhenti. Protes semakin intensif, sehingga Hasina memerintahkan penggunaan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa dan ratusan pengunjuk rasa tewas dalam prosesnya. Setelah kepergian Hasina dan Angkatan Darat mengambil alih negara tersebut, kekerasan tetap meningkat.

Peran kekuatan asing dalam menggulingkan pemerintahan Sheikh Hasina menjadi bahan pembicaraan sekaligus perhatian. Salah satu lembaga yang namanya kerap muncul adalah United State Agency for International Development (USAID). Tujuan utama USAID sangat jelas, yaitu untuk memajukan kepentingan AS di luar negeri. Pergantian rezim merupakan salah satu kepentingan AS, tentunya di belakangnya terdapat organisasi intelijen CIA milik pemerintah AS. Selain Bangladesh, USAID pernah dituduh juga terlibat langsung dalam pergantian rezim di Nikaragua dan Venezuela.

Pulau Saint Martin adalah pulau kecil yang terletak di dekat ujung Selatan Bangladesh, sekitar 9 km Selatan ujung semenanjung Cox's Bazar-Teknaf.

Pulau ini merupakan bagian paling Selatan Bangladesh, berjarak sekitar 8 kilometer di sebelah Barat pantai Barat Laut Myanmar di muara Sungai Naf yang dapat dicapai dengan kapal dan perahu.

Meskipun Bangladesh mengelola pulau tersebut, Myanmar juga mengklaimnya. Pasukan Myanmar terkadang menargetkan nelayan dari pulau tersebut di laut.

Pulau St. Martin telah menjadi hotspot geopolitik karena lokasinya yang strategis dekat dengan jalur laut vital yang penting untuk perdagangan global dan kedekatannya dengan sumber daya alam. Kondisi tersebut berfungsi sebagai pintu gerbang ke Samudra Hindia, menjadikannya penting bagi keamanan regional dan kepentingan ekonomi.

Lokasinya yang dekat dengan Selat Malaka, yaitu salah satu rute perdagangan maritim tersibuk di dunia, membuat Pulau St. Martin memiliki nilai strategis yang signifikan. Oleh karena itu, dengan keberadaan pangkalan militer di pulau itu akan memberi kemampuan pengawasan di Teluk Benggala yang tak tertandingi, termasuk pengawasan investasi dan kegiatan Tiongkok di wilayah sekitar Selat Malaka.

Pergantian rezim yang telah terjadi di Bangladesh ditandai mundurnya pemerintahan yang secara konstitusional berkuasa. Ini menjadi pengingat bahwa apabila tidak didukung legitimasi yang kuat maka penggulingan melalui aksi massa menjadi suatu keniscayaan.

Pemicu massa bisa bermacam-macam seperti krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 ataupun mungkin masalah yang menurut kita tidak terlalu signifikan sebagaimana masalah kuota rekrutmen yang terjadi di Bangladesh.

Pemerintah yang stabil memerlukan apa yang disebut Gaetano Mosca (1939) sebagai “respect” (penghormatan) terhadap segala kebijakannya untuk bisa dijalankan oleh sebagian besar masyarakatnya. Dalam situasi ini masyarakat Bangladesh benar-benar menuntut perbaikan kesejahteraan melalui penerimaan pegawai yang adil, lebih berdasarkan pada prestasi (merit system).

Kondisi legitimasi yang lemah lalu dimanfaatkan oleh negara adidaya untuk dapat menggunakan pulau Saint Martin yang memiliki posisi strategis dalam menempatkan dan menyusun kekuatan militernya di kawasan Asia.

Adanya isu upaya pembangunan pangkalan militer AS bahkan isu pembentukan negara kecil di pulau Saint Martin yang merupakan bagian dari wilayah Bangladesh dan Myanmar, tentunya sangat memberikan tantangan yang besar bagi kawasan Asia.

Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia perlu menyikapi masalah demokrasi internal di negaranya agar tidak menjadi titik lemah yang dapat dimanipulasi pihak asing yang memiliki kepentingan untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di negara tersebut.

Baca juga: Sekjen PBB dukung penuh reformasi pemerintah transisi Bangladesh

Baca juga: Bangladesh berencana gelar pemilu pada Desember

Baca juga: Bangladesh minta India ekstradisi mantan PM Hasina

*) Irjen Pol Chaidir adalah Tenaga Ahli Pengajar Lemhannas RI

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |