Gempa Myanmar menuntut manusia kritis tapi tetap menjaga solidaritas

2 days ago 11

Jakarta (ANTARA) - Jumlah korban gempa bumi Myanmar terus bertambah dan akan terus bertambah. Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menaksir jumlah korban bisa mencapai 10.000 - 100.000 orang.

Pemerintahan junta Myanmar sendiri mengungkapkan sudah 1.644 orang terkonfirmasi tewas akibat gempa pada 28 Maret 2025 itu.

Pemerintah bayangan bentukan oposisi Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), sampai menyatakan gencatan senjata sepihak demi memfasilitasi upaya pencarian korban dan pemulihan sejumlah wilayah akibat gempa bermagnitudo 7,7 itu.

Bencana mahadahsyat memang sering mempersatukan negeri atau mendorong pihak-pihak bersengketa untuk berdamai demi korban bencana.

Hal itu pernah terjadi di Aceh pada 2004 ketika gempa lebih dahsyat disusul tsunami, menghancurkan provinsi paling barat Indonesia itu.

Pemicu gempa Myanmar sendiri sama dengan pemicu gempa Aceh 2004. Keduanya dipicu oleh pergerakan Lempeng India dan Lempeng Eurasia, yang melintasi kedua negara. Indonesia masih ditambah Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik, selain Lempeng Filipina.

Sama dengan Indonesia, Myanmar juga salah satu wilayah aktif secara geologis, karena selain berada di atas dua lempeng benua itu, juga berada di atas lempeng lebih kecil, yakni Lempeng Sunda dan Lempeng Mikro Burma.

Tumbukan antara Lempeng India dan Lempeng Eurasia pula yang membentuk Pegunungan Himalaya di masa purba, jauh di sebelah barat laut Myanmar.

USGS mengungkapkan gempa bumi Myanmar terjadi karena "sesar geser" antara lempeng India dan Eurasia, yakni Patahan Sagaing, yang membelah Myanmar dari utara sampai selatan sampai sepanjang 1.200 km.

Lantas apa yang membuat gempa Myanmar itu demikian dahsyat?

Gempa bumi bisa terjadi pada kedalaman 700 km di bawah permukaan tanah, tapi gempa Myanmar memiliki kedalaman hanya 10 km. 2,5 km lebih dangkal dari Gempa Yogyakarta pada 2006 yang merenggut 6.000-an jiwa manusia dan kerusakan total senilai Rp29,2 triliun.

Dengan kedalaman gempa sedangkal itu dan berkekuatan lebih besar ketimbang Gempa Yogya, maka guncangan gempa Myanmar pasti jauh lebih besar dan mengerikan.

Baca juga: China beri bantuan kemanusiaan senilai 100 juta yuan kepada Myanmar


Perlunya prinsip antigempa

Menurut USGS, energi gempa berkekuatan 7,7 Magnitudo lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945, yang meratakan 70 persen bangunan dan menewaskan 140 ribu manusia.

Lebih parah lagi adalah jenis tanah yang didiami Myanmar dan Thailand adalah tanah lunak, khususnya Bangkok di Thailand. Padahal di tanah lunak, gelombang seismik menjadi melambat dan bertambah besar, sehingga guncangan gempa terasa semakin besar.

Tak heran, kerusakan pun amat fatal sehingga meruntuhkan sejumlah bangunan, termasuk gedung kantor auditor jenderal yang tengah dibangun di Distrik Chatuhak di Bangkok, yang viral ke seluruh dunia.

Gedung runtuh akibat gempa sendiri menyingkapkan persoalan lain seperti terjadi dalam gempa bumi Turki pada 6 Februari 2023, ketika kesalahan konstruksi membuat ratusan apartemen dan gedung ambruk hingga mengungkapkan praktik korup dalam dunia properti Turki.

Kini gempa Thailand dan terutama Myanmar, sepertinya menyingkapkan persoalan semacam itu.

Gedung ambruk memang selalu menimbulkan pertanyaan mengapa gedung bisa ambruk dan bagaimana bangunan didirikan. Ini akan menyangkut metode pengerjaan yang ujung-ujungnya berkaitan dengan proyek pembangunan dan uang.

Mengutip analisis Dr Christian Malaga-Chuquitay, akademi teknik gempa pada Imperial College London, seperti dilaporkan BBC pada 28 Maret, sebelum 2009 Thailand tak memiliki standard keselamatan pembangunan gedung tinggi yang tahan gempa. Artinya, gedung-gedung yang dibangun sebelum 2009 rentan terhadap gempa.

Mengapa sebelum 2009 Thailand terlihat tak mempedulikan kebutuhan prinsip antigempa dalam membangun gedung?

Salah satu jawabannya adalah karena Thailand jarang sekali diguncang gempa dan membangun gedung tahan gempa lebih mahal.

Karena lebih murah dan jarang diguncang gempa, maka proses konstruksi memakai apa yang disebut dengan "flat slab" atau "pelat datar". Padahal metode ini sudah tak lagi direkomendasikan untuk daerah-daerah rawan gempa.

Sistem 'pelat datar' adalah cara membangun gedung di mana lantai dibuat agar bertumpu langsung pada kolom, tanpa menggunakan balok.

Sistem dengan balok sudah umum dilakukan Jepang, yang langganan diguncang gempa. Perbandingan bangunan di Thailand dan Jepang itu viral di media sosial, termasuk TikTok.

Berbagai kalangan di Thailand sendiri meragukan negerinya abai dengan ketentuan antigempa.

Baca juga: Trump: AS akan bantu Myanmar tangani dampak gempa bumi

Baca juga: ASEAN nyatakan siap bantu pemulihan pascagempa Myanmar-Thailand


Siap hadapi dampak bencana

Masih meminjam laporan BBC, menurut Prof Amorn Pimarnmas dari Structural Engineers Association di Thailand, regulasi bangunan antigempa memang sudah diterapkan di 43 provinsi di Thailand, tapi hanya 10 persen bangunan di negara itu yang benar-benar tahan gempa.

Meskipun demikian, dibandingkan dengan Myanmar yang menjadi pusat gempa 28 Maret itu, situasi Thailand tetap jauh lebih baik ketimbang Myanmar, di mana dampak gempa jauh lebih fatal, khususnya Mandalay dan Sagaing.

Kedua daerah ini berada di jalur Patahan Sagaing, seperti Cianjur barat laut dan utara yang berada di sepanjang Patahan Cugenang. Bagian kota Cianjur itu pula yang mengalami kerusakan terparah akibat gempa November 2022 yang dipicu oleh pergerakan Patahan Cugenang.

Myanmar sebenarnya jauh lebih sering diguncang gempa bumi ketimbang Thailand, tapi di sini banyak gedung yang dibangun dengan mengindahkan ketentuan tahan gempa.

"Kemiskinan, pergolakan politik, di samping bencana alam besar lainnya, termasuk tsunami 2004, telah mengalihkan perhatian negara itu dari fokus kepada risiko gempa bumi yang tak pernah bisa diprediksi," kata Dr Ian Watkinson dari Royal Holloway University seperti dikutip BBC.

Tak hanya bangunan antigempa, sistem layanan sosial, termasuk sistem kesehatan dan tanggap darurat bencana, tidak hadir dengan benar di Myanmar.

Akibatnya, dampak gempa 28 Maret menjadi jauh lebih fatal, terutama di Mandalay. Di kota terbesar kedua di Myanmar itu bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah dan jalan raya, hancur atau binasa.

Seluruh sudut kota ini terdampak gempa bumi. Pada saat yang sama tim penyelamat dan berbagai rumah sakit sudah kewalahan menangani korban, karena sumber daya yang minim.

Pemimpin Junta Myanmar, Min Aung Hlaing, sampai meminta bantuan internasional. Sebelum ini penguasa Myanmar itu nyaris tak pernah memohon bantuan dari luar negeri.

Apa yang dilakukan Min Aung Hlaing melukiskan sangat dahsyatnya dampak gempa bumi 28 Maret itu sehingga negara itu sudah tak sanggup menanganinya sendirian. Junta juga sudah menerapkan keadaan darurat di enam wilayah yang terparah terdampak gempa itu.

Sejumlah negara seperti Malaysia, Rusia, dan China, sigap merespons permohonan Myanmar dengan mengirimkan bantuan dan tim penyelamat ke sana. Sepertinya pada hari-hari berikutnya akan semakin banyak negara yang mengulurkan tangan kepada Myanmar.

Satu hal dari bencana itu tersingkap sebuah pelajaran bahwa manusia tak boleh berhenti mengenali alam sehingga siap menghadapi dampak bencana. Kesiapan seperti ini membutuhkan kesatuan sikap dan juga stabilitas sehingga semua bisa bergerak bersama mengatasi dampak bencana.

Di sisi lain, apa yang ditunjukkan Malaysia, Rusia, dan China membuktikan solidaritas kemanusiaan global tak pernah terhalang oleh perbedaan apa pun dan rasa apa pun, termasuk rasa benci kepada rezim lalim di Myanmar.

Baca juga: Prabowo: Indonesia siap dukung pemulihan gempa Thailand dan Myanmar

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |