TEMPO.CO, Jakarta - Mantan presiden Joko Widodo menanggapi kembali mencuatnya polemik ijazah palsu pekan-pekan ini, dengan menyebutnya sebagai fitnah yang tidak berdasar.
Untuk memastikan keaslian sebuah ijazah, terdapat beberapa ciri fisik yang dapat diperhatikan. Berikut adalah beberapa ciri fisik ijazah asli yang perlu diketahui:
- Jenis kertas: Ijazah asli menggunakan jenis kertas khusus yang memiliki tekstur tebal dan berbeda dari kertas biasa. Jenis kertas ini hanya diproduksi oleh Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) yang merupakan lembaga resmi.
- Hologram permanen: Ijazah asli dilengkapi dengan hologram permanen yang telah menyatu dengan kertas ijazah. Hologram ini biasanya berisi logo institusi pendidikan atau lambang resmi yang tidak dapat dilepas atau diganti dengan mudah.
- Nomor seri: Setiap ijazah asli memiliki nomor seri khusus yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan yang bersangkutan. Nomor seri ini unik dan tidak bisa diterbitkan oleh pihak lain. Anda dapat memverifikasi nomor seri dengan pihak institusi pendidikan untuk memastikan keaslian ijazah.
Dengan memperhatikan ciri-ciri fisik tersebut, kita dapat melakukan pengecekan sederhana terhadap keaslian sebuah ijazah.
Bagaimana dengan uji karbon? Uji karbon bisa melacak atau memperkirakan usia benda hidup hingga sisa makanan berumur ribuan tahun.
Uji karbon, atau lebih dikenal sebagai penanggalan radiokarbon, merupakan salah satu teknik penting dalam ilmu pengetahuan modern. Metode ini digunakan untuk memperkirakan usia benda-benda yang pernah hidup, mulai dari tulang manusia purba, artefak arkeologi, hingga sisa makanan berumur ribuan tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara kerja penanggalan karbon sederhana secara konsep: mengukur kadar karbon-14 (C-14), isotop radioaktif dari karbon, yang tersisa dalam suatu sampel. Ketika makhluk hidup mati, tubuhnya berhenti menyerap karbon, dan sejak saat itu, karbon-14 dalam jaringan tubuhnya mulai meluruh secara perlahan. Melalui peluruhan inilah usia sampel bisa dihitung.
Dilansir dari Uchicago, penanggalan radiokarbon pertama kali dikembangkan pada akhir 1940-an oleh ilmuwan Amerika, Willard Libby, di Universitas Chicago. Penemuan ini membuka jalan baru dalam studi arkeologi, sejarah, hingga ilmu atmosfer. Sejak saat itu, metode ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam revolusi ilmu pengetahuan abad ke-20.
Prosedur
Berdasarkan informasi dari Radiocarbon.com, terdapat tiga metode utama dalam uji karbon: penghitungan proporsional gas, penghitungan sintilasi cair, dan metode terkini yaitu accelerator mass spectrometry (AMS).
Dua metode pertama merupakan teknik konvensional yang menghitung partikel beta—produk peluruhan karbon-14. Sebelum diuji, sampel harus melalui tahap pembersihan fisik dan kimia untuk menghindari kontaminasi. Sementara AMS, yang tergolong modern, bekerja dengan menghitung langsung jumlah atom karbon-14 dalam sampel. Metode ini lebih sensitif dan dapat digunakan pada sampel yang sangat kecil.
Ribet atau Gampang?
Meski terlihat teknis dan kompleks, bagi kalangan peneliti, prosedur uji karbon adalah rutinitas laboratorium yang sudah terstandarisasi. Tantangan terbesarnya justru terletak pada kualitas sampel. Sampel harus dalam kondisi bersih dan tidak terkontaminasi. Sebab, bahkan jejak karbon tambahan sekecil apapun bisa mengganggu hasil akhir secara drastis.
Penanggalan karbon biasanya berlaku untuk bahan organik yang usianya hingga sekitar 60.000 tahun. Material yang dapat diuji antara lain kayu, arang, tulang, kain, hingga residu darah. Namun, tidak semua bahan bisa diperiksa—hanya yang pernah menyerap karbon dari atmosfer selama masa hidupnya.
Jumlah sampel yang dibutuhkan bervariasi tergantung metode. Untuk metode konvensional, diperlukan sekitar 10–100 gram material. Sedangkan dengan AMS, cukup 20–50 miligram saja. Sayangnya, pengujian ini bersifat destruktif—material akan hancur selama proses berlangsung.
Akurasi dan Standar Internasional
Untuk menjaga keakuratan hasil, laboratorium menggunakan standar internasional seperti Asam Oksalat I dan II. Selain itu, juga dilakukan koreksi isotop dan pengukuran terhadap karbon latar belakang dari bahan geologi tua seperti batu kapur atau batu bara.
Hasil akhir biasanya dilaporkan dalam satuan “tahun sebelum sekarang” (Before Present/BP), dengan tahun 1950 sebagai patokan awal. Nilai ini dilengkapi dengan toleransi kesalahan (±) yang dihitung secara statistik.
Jejak Karbon dalam Sejarah
Penemuan metode uji karbon telah mengubah cara ilmuwan membaca sejarah. Tak hanya penting bagi arkeolog, teknik ini juga digunakan dalam studi paleoklimatologi, oseanografi, hingga kedokteran. Lewat jejak karbon, kita bisa mengetahui kapan sebuah peradaban tumbuh, atau kapan iklim bumi mengalami perubahan besar.
Meski prosedurnya tampak rumit, hasil dari uji karbon ini justru membantu menyederhanakan misteri-misteri besar dalam sejarah manusia.
Putri Safira Pitaloka, Septia Ryanthie turut berkontribusoi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Penanggalan Karbon dan Kontroversi Situs Gunung Padang