Mengenal fenomena incel: Ancaman gender di serial "Adolescence"

5 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Serial terbaru Netflix berjudul "Adolescence" tidak hanya menyuguhkan cerita seputar kehidupan remaja, tetapi juga mengangkat isu fenomena incel atau involuntary celibacy. Serial ini membongkar sisi gelap dunia maya lewat karakter Jamie dalam sebuah komunitas yang menyimpan kebencian terhadap perempaun dan berpotensi mendorong kekerasan.

Isu ini muncul dalam karakter Jamie, seorang remaja laki-laki yang melakukan tindakan kekerasan terhadap teman perempuannya, Katie, dan diyakini dilatari oleh pemikiran khas komunitas incel.

Fenomena incel dan manosphere yang turut disebutkan dalam serial ini membuka perbincangan penting terkait dinamika maskulinitas toxic, kesepian, hingga potensi kekerasan berbasis kebencian gender. Lantas, apa sebenarnya arti incel, dan mengapa kemunculannya dianggap sebagai ancaman baru di dunia maya maupun dunia nyata? Berikut penjelasannya, merangkum dari berbagai sumber:

Baca juga: DPR: Kekerasan berbasis gender di media sosial harus dihentikan

Apa itu incel?

Incel merupakan singkatan dari involuntary celibate, yaitu istilah untuk menyebut laki-laki yang merasa tidak mampu menjalin hubungan seksual atau romantis, bukan karena pilihan mereka sendiri, tetapi karena merasa ditolak oleh perempuan atau sistem sosial. Mereka biasanya menyalahkan perempuan sebagai penyebab penderitaan mereka.

Awalnya, istilah ini diciptakan pada 1997 oleh seorang perempuan bernama Alana yang membuat situs daring sebagai wadah saling dukung bagi laki-laki dan perempuan yang merasa kesepian. Komunitas ini pada awalnya bersifat inklusif dan netral. Namun, seiring waktu, sebagian kelompok dalam komunitas tersebut berubah menjadi ruang yang penuh kebencian terhadap perempuan, teori konspirasi, hingga glorifikasi kekerasan.

Penulis dan aktivis perempuan Kalis Mardiasih menyebut bahwa incel pada dasarnya adalah laki-laki jomblo yang merasa tidak nyaman dengan statusnya, lalu menyalahkan perempuan karena dianggap hanya tertarik pada laki-laki tertentu yang dominan secara fisik, ekonomi, atau status sosial.

Manosphere dan dunia maya yang toxic

Fenomena incel merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas bernama manosphere, yakni komunitas daring yang dihuni oleh berbagai kelompok laki-laki dengan pandangan misoginis, seperti men's rights activists (MRA), pickup artists (PUA), dan men going their own way (MGTOW). Dalam ruang-ruang ini, sering kali perempuan diposisikan sebagai objek semata dan dijadikan kambing hitam atas segala perasaan frustrasi atau kegagalan dalam relasi.

Penelitian Ging (2019) dalam jurnal Alphas, Betas, and Incels mencatat bahwa manosphere berkembang menjadi tempat reproduksi ideologi ekstrem. Retorika yang ditemukan dalam berbagai forum incel menunjukkan glorifikasi kekerasan, dehumanisasi perempuan, hingga pembenaran terhadap tindakan kriminal sebagai bentuk “balas dendam” terhadap sistem sosial yang dianggap tidak adil.

Baca juga: Kompolnas: Persamaan persepsi modal cegah kekerasan berbasis gender

Dari dunia maya ke tindak kekerasan nyata

Fenomena ini bukan sekadar wacana daring. Sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di berbagai negara dikaitkan dengan pelaku yang mengidentifikasi dirinya sebagai incel. Studi Hoffman et al. (2020) dalam Journal of Strategic Security menyebutkan kasus penembakan di Toronto (2018) dan California (2014) sebagai contoh konkret bagaimana ideologi incel dapat bermetamorfosis menjadi bentuk terorisme domestik.

Penelitian Baele, Brace, dan Coan (2021) juga menggarisbawahi bahwa sebagian besar pelaku memiliki latar belakang isolasi sosial, perasaan inferior, dan kesulitan menjalin hubungan interpersonal yang sehat. Mereka terjebak dalam algoritma dunia maya yang memperkuat narasi kebencian dan mengarahkan frustrasi mereka ke arah ekstremisme misoginis.

Ancaman nyata dan perlunya intervensi

Data dari berbagai lembaga internasional menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam penyebaran konten-konten misoginis di forum-forum incel. Akademisi dari University of Exeter, Lewys Brace, mencatat bahwa pada tahun 2016 terdapat rata-rata 112 unggahan per hari yang mengandung kata-kata kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini meningkat drastis menjadi sekitar 849 unggahan per hari dalam beberapa tahun terakhir.

Baca juga: Perlindungan perempuan: masyarakat butuh contoh baik pemimpin

Southern Poverty Law Center (SPLC) bahkan memperingatkan bahwa budaya incel dapat berkembang menjadi bentuk supremasi maskulin yang toksik, yang jika tidak diatasi, berpotensi mendorong kekerasan terhadap perempuan dan minoritas lainnya.

Upaya pemblokiran forum incel saja tidak cukup untuk menghentikan penyebaran ideologi berbahaya ini. Diperlukan strategi komprehensif yang mencakup edukasi digital, literasi gender, peningkatan kesadaran kesehatan mental, serta pengawasan lebih ketat terhadap konten daring yang berpotensi mengarah pada kekerasan.

Serial "Adolescence" membuka ruang diskusi yang penting tentang bagaimana dunia maya, khususnya media sosial dan forum daring, dapat membentuk pola pikir dan perilaku remaja. Fenomena incel bukan sekadar masalah “jomblo kesepian”, tetapi gejala sosial yang kompleks dan memerlukan perhatian dari berbagai pihak.

Memahami akar permasalahan incel dan memperkuat nilai-nilai empati, kesetaraan gender, serta dukungan psikososial bagi remaja adalah langkah awal untuk mencegah radikalisasi berbasis gender yang kini makin marak di era digital.

Baca juga: Hari Perempuan Internasional momentum gaungkan hapus kekerasan gender

Baca juga: Kemendukbangga: Sinergi K/L dan swasta hapus kekerasan gender

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |