HSBC Summit 2025: Arah Ekonomi Indonesia Saat Perang Tarif

11 hours ago 3

INFO NASIONAL Ketika Donald Trump kembali ke Gedung Putih dengan kebijakan tarif yang lebih agresif, ekonomi dunia terguncang. Namun di tengah hiruk pikuk ini, Indonesia justru berdiri dengan pijakan yang relatif kokoh.

Berdasarkan analisis HSBC, dampak langsung kebijakan tarif baru terhadap ekonomi Indonesia hanya sekitar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan Vietnam yang terancam kehilangan hingga 5 persen PDB-nya karena ketergantungan yang tinggi pada pasar Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Managing Director dan Co-Head Asian Economic Research HSBC, Frederic Neumann mengatakan, Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat. “Dengan begitu, dampaknya lebih bisa dikelola,” kata Neumann dalam HSBC Summit 2025 di Jakarta, pada Selasa, 22 April 2025.

Managing Director and Co-Head, Asian Economic Research, Frederic Neumann dalam HSBC Summit 2025 di Ritz-Carlton, Jakarta, pada Selasa, 22 April 2025. TEMPO/Abdul Karim

Meski demikian, Indonesia tak sepenuhnya bisa bernapas lega. Ancaman datang bukan dari Washington, melainkan Beijing. Ketika ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat tertekan, efek dominonya bisa menjalar ke negara mitra seperti Indonesia, yang selama ini memasok bahan baku dan komoditas untuk industri manufaktur Tiongkok. “Kalau ekonomi Tiongkok melambat karena tekanan tarif, permintaan terhadap komoditas Indonesia juga bisa turun,” ujarnya.

Di balik ancaman tersebut, Neumann mengungkapkan masih ada peluang strategis. Pemerintah Tiongkok diperkirakan bakal merespons dengan stimulus ekonomi untuk menggairahkan konsumsi domestiknya. Jika skenario itu terjadi, permintaan dari dalam negeri Tiongkok bisa meningkat dan justru menciptakan permintaan baru terhadap produk-produk dari Indonesia. "Perang dagang ini mungkin saja menjadi berkah terselubung bagi Indonesia," ucap Neumann.

Ternyata ada lagi yang lebih mengkhawatirkan dari besaran tarif. Kata Neumann, hal itu adalah ketidakpastian kebijakan. Ketika pelaku industri tak mampu memprediksi langkah berikutnya, ekspansi dan investasi bisa tertunda. "Kita bisa menerima tarif, asalkan tahu berapa besarannya. Yang sulit adalah kalau kebijakan berubah-ubah," ujarnya.

Dalam lanskap perdagangan global yang kian bergejolak, Indonesia memperlihatkan resiliensi yang menarik. Dengan struktur ekspor yang tidak terpusat pada satu pasar dan permintaan domestik yang relatif stabil, Indonesia berpotensi menjadi salah satu titik keseimbangan baru di tengah ekonomi dunia yang semakin rapuh.

Menangkap Peluang dari Pergeseran Rantai Pasok Global

China yang jadi pabrik dunia selama dua dekade terakhir, mulai ditinggalkan secara perlahan. Asia Tenggara menjadi magnet baru -dan Indonesia, jika mampu membaca arah angin, bisa menjadi simpul penting berikutnya.

Salah satu sektor yang paling menjanjikan untuk digarap adalah perakitan elektronik ringan. Perakitan elektronik konsumen dan alat rumah tangga, kini mulai berpindah dari Tiongkok ke negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia. “Ketika produk-produk itu dikenai tarif tinggi di Amerika Serikat, perusahaan akan mencari tempat baru untuk merakit,” kata Neumann.

Vietnam sejauh ini menjadi bintang. Tetapi kini negara itu mulai kewalahan. Kapasitas produksinya terbatas, jumlah tenaga kerja tak sebanyak Indonesia, dan upah mulai naik. Di sisi lain, Indonesia punya modal: tenaga kerja yang banyak, pasar domestik yang luas, dan industri dasar yang sudah terbentuk.

Terlihat seperti potensi yang manis, kendati tantangan besar menanti. Neumann menjelaskan, industri elektronik bukan sekadar soal merakit barang. Sektor ini sangat bergantung pada rantai pasok global yang rumit. Komponen bisa datang dari Jepang, Korea, Malaysia, lalu dirakit di satu tempat dan dikirim ke pasar dunia. Masalahnya, Indonesia belum benar-benar terintegrasi dalam rantai pasok regional. “Kita bisa memproduksi sesuatu dan mengirimnya keluar, namun belum mahir menarik komponen dari luar, merakitnya, lalu mengekspornya kembali,” ujar Neumann.

Tantangan utama terletak pada dua hal: logistik fisik dan peraturan perdagangan. Barang-barang elektronik bersifat sangat sensitif terhadap waktu. Keterlambatan beberapa hari bisa berarti kehilangan pasar. Maka, pelabuhan, jalan, listrik, dan layanan logistik harus andal. Di sisi lain, prosedur bea cukai dan regulasi ekspor-impor harus cepat dan prediktif.

Solusi atas berbagai tantangan itu adalah digitalisasi proses kepabeanan dan penguatan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ). “Kita butuh kawasan yang besar dan efisien, seperti yang dulu dikembangkan Tiongkok di Shenzhen,” kata Neumann. Indonesia memang sudah memiliki FTZ seperti di Batam. Hanya saja, skalanya belum memadai. Dia menyarankan pemerintah membuka zona baru di luar Jawa, seperti Sulawesi atau Kalimantan, agar pertumbuhan ekonomi lebih merata.

Pemerintah juga perlu belajar dari cara negara-negara tetangga dalam menarik investasi. Malaysia, Thailand, Filipina, hingga India dan Meksiko kini berlomba menawarkan insentif, reformasi kebijakan, dan promosi investasi secara agresif. “Indonesia punya lembaga promosi investasi, namun selama ini fokusnya lebih banyak pada sektor sumber daya alam,” ujar Neumann. “Kalau ingin menarik industri manufaktur teknologi, pendekatannya harus berbeda.”

Menata Ulang Strategi: Stabilitas, Digitalisasi, dan Bonus Demografi

Di tengah gejolak global, kekuatan Indonesia mungkin bukan terletak pada apa yang bisa ditawarkan hari ini, melainkan pada bagaimana negara ini menata strategi untuk masa depan. Frederic Neumann menyebut Indonesia sebagai negara dengan ‘struktur yang cukup tahan banting’. Bukan karena tanpa masalah, melainkan masih punya ruang untuk memilih.

“Indonesia bisa belanja lebih banyak, tetapi harus menunjukkan bahwa ada strategi jangka panjang dalam membiayainya,” ujarnya. Dunia usaha, menurut Neumann, tidak alergi terhadap belanja negara. Justru yang dicari adalah disiplin dalam mengatur pengeluaran dan ketegasan dalam memungut pajak.

Beberapa program sosial yang tengah dirancang pemerintah, seperti makan siang gratis untuk anak sekolah, bisa berdampak positif pada konsumsi dalam jangka pendek. Namun demikian, keberhasilannya akan sangat tergantung pada bagaimana program itu dibiayai dan dievaluasi. “Jadi, bukan soal perlu atau tidak, melainkan soal apakah kita bisa membiayainya tanpa mengorbankan belanja investasi seperti pendidikan, logistik, atau digitalisasi,” ujarnya.

Digitalisasi, dalam pandangan Neumann, adalah salah satu pengungkit pertumbuhan yang paling menjanjikan dan realistis. Bukan sekadar tentang kecerdasan buatan atau pusat data bernilai miliaran dolar, tetapi soal hal-hal sederhana, seperti mempercepat proses bea cukai, meningkatkan transparansi tender pemerintah, hingga mempermudah transaksi keuangan. “Kita sering kali terobsesi dengan teknologi canggih, padahal produktivitas bisa naik hanya dengan memperbaiki prosedur dasar,” katanya.

Neumann mencontohkan India yang berhasil menghemat miliaran dolar hanya dengan mendigitalisasi layanan dasar pemerintah. Efisiensi itu menular ke seluruh sistem perekonomian. Dan Indonesia, dengan pasar dan populasi yang besar, berpotensi mendapatkan manfaat serupa, asalkan berani melakukan reformasi teknis yang konsisten.

Kekuatan besar lainnya adalah struktur demografi. Dalam dua dekade ke depan, Indonesia akan menghasilkan tambahan PDB setara Prancis atau Turki setiap tahun, hanya dari pertumbuhan populasi usia kerja. Namun bonus demografi tidak menjamin hasil yang baik, apabila tidak diiringi kebijakan yang cerdas. Neumann menyarankan Indonesia meniru pendekatan Vietnam yang sukses memaksimalkan pendidikan, menjalin perjanjian dagang bebas (FTA) secara agresif, dan mengarahkan industrialisasi pada sektor-sektor strategis, seperti semikonduktor dan elektronik.

Dalam konteks ini, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga memegang peran penting ditunjang dengan pendekatan yang cermat. Proteksi berlebihan justru bisa membuat sektor ini mandek. “Jangan dibangun tembok di sekelilingnya, cukup pagar yang bisa dibuka-tutup sesuai kebutuhan,” ujar Neumann. (*)

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |