Daftar Undang-Undang yang akan Dibahas DPR setelah Lebaran

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat akan melanjutkan pembahasan sejumlah revisi undang-undang pada masa persidangan ketiga 2024-2025. Terdapat sejumlah poin-poin perubahan dalam revisi undang-undang yang mendapat sorotan dari publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini DPR sedang berada dalam masa reses hingga 16 April 2025. Rapat paripurna pembukaan masa persidangan ketiga dijadwalkan pada Kamis, 17 April 2025.

Setelah itu parlemen akan kembali membahas sejumlah revisi UU. Salah satunya yakni UU Penyiaran di Komisi I DPR.

UU Penyiaran

Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno Laksono telah mengonfirmasi revisi UU Penyiaran akan dibahas pada masa persidangan ketiga. Politikus Golkar ini mengaku pihaknya tidak ingin terlalu terburu-buru.

"Kami terus belanja masalah sembari membuat satu formulasi yang bisa diterima dan bermanfaat," kata Dave saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Rabu, 19 Maret 2025.

Revisi UU Penyiaran sempat dibahas di DPR periode 2019-2024 namun mengalami penundaan. Saat itu, usulan pelarangan tayangan ekslusif jurnalisme investigasi dalam draf, menjadi sorotan dan kritikan pelbagai kalangan.

Dave mengatakan legislator Senayan sedang mengkaji sejumlah opsi regulasi baru, termasuk menambah kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI di ranah media sosial dan platform over the top (OTT).

OTT merupakan layanan streaming yang menayangkan konten melalui internet. “Ya memang disampaikan (opsi penambahan kewenangan KPI). Tapi kami belum memutuskan apa-apa. Baru mau akan dibahas secara lebih lanjut,” kata Dave kepada Tempo.

UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

DPR melalui Komisi III juga akan segera membahas RUU KUHAP. DPR sebelumnya telah menerima surat presiden atau surpres untuk membahas RUU KUHAP dalam rapat paripurna, Selasa, 25 Maret 2025. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memastikan RUU KUHAP akan dibahas lewat komisinya.

Habiburokhman mengatakan pembahasan RUU itu ditargetkan rampung dalam waktu yang tidak terlalu lama karena pasal yang termuat tidak terlalu banyak. “Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” ucapnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025.

Koalisi Masyarakat Sipil mencatat setidaknya sembilan masalah utama yang perlu diperbaiki dalam RUU KUHAP, antara lain:

1.    Pelaporan Tindak Pidana: Perlu mekanisme akuntabel bagi korban untuk meminta penuntut umum atau hakim menindaklanjuti laporan yang diabaikan penyidik.

2.      Pengawasan Penegakan Hukum: Diperlukan mekanisme pengadilan (judicial scrutiny) agar upaya paksa dan tindakan penyelidikan dapat diuji secara substansial di pengadilan.

3.      Standar Proses Penangkapan dan Penyitaan: Harus berdasarkan izin pengadilan, kecuali dalam kondisi mendesak yang diatur secara ketat.

4.      Peran Advokat: Penguatan hak advokat dalam mengakses dokumen penyidikan serta jaminan bantuan hukum bagi terdakwa tanpa pembatasan.

5.      Investigasi Khusus: Kewenangan teknik investigasi khusus seperti undercover buy dan controlled delivery harus mendapat izin pengadilan dan tidak boleh dilakukan pada tahap penyelidikan.

6.      Sistem Pembuktian: Perlu definisi yang jelas tentang bukti. Perlu ada jaminan "alasan yang cukup” dalam setiap tindakan agar tidak hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus dijadikan alasan menangkap, menggeledah, dan lainnya.

7.      Sidang Elektronik: Harus ada batasan mengenai "situasi tertentu" yang mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengorbankan transparansi dan hak publik.

8.      Restorative Justice: Mekanisme penyelesaian perkara di luar pengadilan harus akuntabel agar tidak menjadi alat transaksional atau penyalahgunaan kekuasaan.

9.      Perlindungan Hak Tersangka, Saksi, dan Korban: Perlu kejelasan sistem restitusi bagi korban serta mekanisme pengaduan jika hak-hak tersangka atau saksi dilanggar.

UU Polri

Selain itu, DPR juga dikabarkan bakal segera membahas revisi UU Polri. Kendati begitu, pimpinan DPR membantah sudah ada surpres.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan revisi UU Polri belum akan dibahas dalam waktu dekat. “DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri,” kata Dasco saat dihubungi Tempo pada Senin, 24 Maret 2025.

Adapun revisi UU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai NasDem Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan pihaknya siap membahas revisi UU Polri jika dianggap mendesak.

Namun, kata dia, saat ini Komisi III DPR masih memprioritaskan pembahasan RUU KUHAP yang ditargetkan rampung Oktober 2025. “Saat ini Komisi III masih KUHAP, tentu kalau dipandang mendesak juga dibahas RUU Kejaksaan, RUU Kepolisian, kami siap saja di Komisi III untuk membahas itu,” kata Rudianto pada 20 Maret 2025 dilansir dari keterangan resminya.

Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri yang diperoleh Tempo. Misalnya yang tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, bahwa Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.

Usulan perubahan yang menuai polemik dalam draf RUU Polri terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan, bahwa Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.

Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu 16 A, yang mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.

Usulan penambahan batas usia pensiun bagi anggota Polri juga ditentang oleh masyarakat sipil. Usulan ini tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 30 ayat 2. Dalam beleid itu, batas usia pensiun polisi diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk anggota Polri, 62 tahun untuk anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan dalam tugas, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.

Paket UU Politik

DPR melalui Komisi II dan Badan Legislasi (Baleg) juga akan membahas rancangan paket UU tentang perpolitikan. Sejumlah UU politik masih menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025 usulan dari Baleg.

Kendati begitu, Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengatakan komisinya ingin komisinya bisa mengambil alih pembahasan UU Politik. "Yang jelas inisiasinya (dari) Baleg. Komisi II juga minta, tapi kami belum bisa melaksanakan perubahan prolegnas. Jadi sementara ini sesuai prolegnas dulu," kata Zulfikar kepada Tempo di Kompleks Parlemen Senayan pada Kamis, 27 Februari 2025.

Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan pihaknya akan mulai membahas RUU Politik. Awalnya, dia mengatakan Badan Legislasi akan menggelar RDP pada 3 Maret 2025 mendatang. Namun rapat yang sedianya telah diagendakan saat itu batal.

Novali Panji berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |