Jakarta, CNN Indonesia --
Kepala junta militer Myanmar Min Aung Hlaing meminta bantuan komunitas internasional saat negara tersebut diguncang gempa dengan magnitudo 7,7 pada Jumat (28/3).
Seperti diberitakan CNN, permintaan bantuan itu merupakan langkah yang langka dari junta sejak mereka mengambil alih kekuasaan di Myanmar pada 2021.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingin menyampaikan undangan terbuka ke organisasi dan negara mana pun yang bersedia datang dan membantu orang-orang yang membutuhkan di negara kita," kata Min Aung Hlaing dalam pidato yang disiarkan di televisi pada Jumat (28/3).
Korban tewas imbas gempa di Myanmar mencapai 114 orang. Namun, jumlah orang meninggal akibat bencana ini diprediksi mencapai 10 ribu jiwa.
Lalu, kenapa seruan Min Aung Hlaing dianggap langka?
Sejak merebut kekuasaan, junta melakukan serangkaian tindakan keras ke warga sipil termasuk jurnalis. Pada masa awal kudeta, pasukan junta bahkan tak segan menangkap hingga membunuh siapa saja yang menentang kekuasaannya.
Laporan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) per Januari 2025 yang dikutip PBB mencatat korban tewas di tangan junta sebanyak 6.231. Dari jumlah ini, 1.144 di antaranya merupakan perempuan dan 709 anak-anak.
Setelah kudeta perang sipil terjadi. Warga ramai-ramai belajar angkat senjata di hutan. Selain itu, di Myanmar terdapat beberapa milisi yang ikut menolak junta.
Selama menguasai Myanmar, junta juga sangat membatasi internet dan akses bantuan yang masuk ke sana. Padahal, warga sangat butuh bantuan.
Junta juga tertutup dan jarang bekerja sama dengan komunitas internasional. Mereka hanya membuka tangan ke negara-negara yang pasti sudah mendukungnya seperti Rusia, China, atau Korea Utara.
ICC buru Min Aung Hlaing
Sejak 2019, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyelidiki dugaan kejahatan yang dilakukan Jenderal Senior sekaligus panglima tertinggi dan Penjabat Presiden saat itu, Min Aung Hlaing.
Dia bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa deportasi dan penganiayaan terhadap warga Rohingya, yang dilakukan di Myanmar, dan sebagian di Bangladesh, demikian dikutip situs resmi ICC.
ICC menyebut kejahatan tersebut dilakukan antara tanggal 25 Agustus 2017 dan 31 Desember 2017 oleh angkatan bersenjata Myanmar yang didukung polisi nasional, polisi penjaga perbatasan, serta warga sipil non-Rohingya.
Jaksa ICC kemudian mengajukan surat perintah penangkapan untuk Min Aung Hlaing pada 2024.
(isa/end)