TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen mencatat ada 3,9 juta anak yang tak bersekolah saat ini. Rinciannya sebanyak 881.168 anak tidak bersekolah karena putus sekolah, 1.027.014 anak sudah lulus tapi tidak melanjutkan sekolah, dan 2.077.596 anak belum pernah bersekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen Tatang Muttaqin menyampaikan data tersebut dalam rapat dengar pendapat bersama panitia kerja pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) dan daerah marginal bersama Komisi X DPR.
Tatang menyatakan faktor ekonomi merupakan penyebab utama anak-anak tidak bersekolah. “Kalau kami lihat kondisi di faktualnya, faktor ekonomi dan bekerja menjadi penyumbang terbesar dari anak-anak kita yang tidak sekolah,” ujar Tatang di kompleks parlemen, Jakarta, pada Senin, 19 Mei 2025.
Tatang memaparkan faktor utama putus sekolah tersebut terjadi pada usia yang semakin tinggi. Semakin tinggi usianya, maka probabilitas untuk tidak bersekolah juga menjadi lebih tinggi. Selain faktor biaya dan mencari nafkah, mengurus rumah tangga serta menikah juga menjadi faktor paling banyak yang membuat anak tidak sekolah.
Menurut catatan Kemendikdasmen, faktor penyebab anak tidak sekolah adalah tidak ada biaya (25,55 persen), mencari nafkah atau bekerja (21,64 persen), menikah atau mengurus rumah tangga (14,56 persen), merasa pendidikan sudah cukup (9,77 persen), disabilitas (3,64 persen), sekolah jauh (2,61 persen), dan mengalami perundungan (0,48 persen).
Tatang menyebut Kementerian melihat kesenjangan pendidikan masih cukup besar, khususnya perihal kemampuan keluarga miskin untuk mendapatkan akses pendidikan. “Kami melihat berbagai intervensi yang dilakukan, baik BOS (Bantuan Operasional Sekolah), KIP (Kartu Indonesia Pintar), berkontribusi cukup baik, namun tentu masih ada selisih yang terus kami pertajam,” ujar dia.
Kendati begitu, Tatang menjelaskan tren sepanjang 2022-2024 menunjukkan perbandingan antara terkaya dan termiskin semakin mengecil, terutama di usia-usia awal sekolah seperti sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. “Masih menonjol antara termiskin dan terkaya di tingkat sekolah menengah atas. Jadi challenge buat kami fokus di area beberapa yang menjadi tantangan tersendiri pada angka tidak sekolah,” kata Tatang.