Dosen Murdoch University Jelaskan Fenomena Premanisme Ikut Dipelihara Negara

1 day ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Departemen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) mengadakan Kuliah Tamu dengan tema Ormas, Preman, dan Negara yang Tak Hadir Utuh di Aula Prof Syukur Abdullah Lt 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas pada Rabu, 28 Mei 2025. Kegiatan tersebut menghadirkan penulis buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, Ian Douglas Wilson.

Kuliah Tamu itu dimulai pada pukul 14.00 dan dibuka langsung oleh Dekan FISIP Unhas Phil Sukri. Saat itu, Ian Douglas hadir dengan menggunakan batik khas Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kesempatannya, Ian menjelaskan ketertarikannya dengan isu premanisme disebabkan adanya interaksi antara kekuatan formal dan kekuatan informal negara dalam menciptakan sebuah sistem politik. Menurutnya, premanisme dalam bukunya bukanlah sesuatu kekuatan yang berada di luar negara.

“Membangun negara di Indonesia punya jalur sendiri yang punya relasi tertentu antara institusi-institusi negara dan aktor-aktor informal seperti yang sekarang disebut preman,” kata dia. Relasi ini, Ian menyebut sebagai relasi yang otoriter karena tidak didasarkan kontrak sosial atau legitimasi. Legitimasi itu semu karena dianggap ada jika memiliki backingan atau dukungan tertentu dari kekuasaan formal.

Ia tidak mengartikan premanisme ke dalam konteks normatif sebagai tindakan kriminal, seperti pemerasan. Namun, premanisme sebagai sistem terstruktur politik. Ian memaknakan sistem tersebut ke dalam analisis Horkeimer dalam teori The Racket Society. “proteksi melindungi menjadi sebuah komoditas politik yang juga yang tertanam di dalamnya adalah relasi kekuasaan,” ujar Ian.

Dosen Murdoch University itu menyebut saat peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, terdapat proses kekuasaan ekstrem antara berbagai golongan di masyarakat, di mana peran tersebut dimainkan oleh centeng-centeng, jago-jagoan, dan orang yang punya wibawa kuat. Orang-orang tersebut akhirnya dilembagakan dalam bentuk organisasi yang punya kekuatan di jalanan, kampung-kampung, dan kota.

“Industri yang hadir saat Orde Baru itu menjadi tempat bisa cari uang, dan ada berbagai kelompok, ada berbagai geng, banyak yang sudah punya relasi dekat karena mereka pernah penjara bersama, misalnya, yang mulai bikin perusahaan security, atau bahkan geng saja, mereka memeras untuk dapat sesuatu,” ujarnya.

Usaha Negara Untuk Mendisiplinkan Kelompok Premanisme

Pada masa Orde Baru, kelompok preman dianggap negara sebagai suatu perkumpulan yang mengancam. Masyarakat juga merasakan ancaman tersebut, terlebih pada kelas menengah. “Biasanya kelas menengah sangat sensitif terhadap ancaman kriminalitas,” kata Ian saat wawancara dengan Tempo.co di Unhas.

Kemudian, rezim Orde Baru menganggap fenomena geng-geng preman tersebut sebagai kekuatan, tetapi belum didisiplinkan. Ia menambahkan, munculnya penembakan misterius atau yang dikenal sebagai Petrus yang diduga merupakan kekerasan strategis yang diperuntukkan untuk mendisiplinkan unsur kekuatan tersebut. Selain itu, negara juga membuat kelompok tersebut dapat mengkoordinir diri mereka ke dalam organisasi-organisasi yang disahkan oleh negara.

Ormas Sebagai Modal Politik

Politik transaksional yang hidup di masyarakat berupa organisasi masyarakat atau ormas. Ormas bisa memaksakan dalam mendapatkan keuntungan atas dalih membela agama, kesukuan, identitas budaya, dan alasan lainnya.

“Ormas menjadi salah satu bentuk untuk berkontestasi uang, pengaruh, dan lain-lain. Dan di dalam konteks demokrasi Indonesia pasca reformasi yang sangat transaksional, itu juga menjadi modal politik,” tutur Ian. Lebih lanjut, ia menjelaskan “Emang dari zaman dulu, kalau orang yang pintar untuk bisa mengorganisasi masyarakat, mengorganisasi anak muda, itu modal politik yang ampuh. Dan jumlah anggota DPR yang latar belakang yang disebut dulu OPP, Organisasi Kepemudaan itu, banyak sekali. Karena itu di zaman dulu modal politik”.

Premanisme Ikut Dipelihara Negara

Dosen Murdoch University itu menyampaikan jika premanisme tidak mungkin ada tanpa dibiarkan oleh negara. Menurutnya negara sadar akan ancaman struktural dari perkumpulan preman sehingga dikendalikan. Organisasi tersebut bisa kerja sama dengan negara karena kepentingannya tidak jauh beda, tetapi mereka juga bisa menjadi kompetitor.

“Waktu saat dianggap kompetitor di Indonesia, negara bertindak dengan segala kemampuan yang kita punya untuk membongkar itu dan merangkulnya menjadi sesuatu yang bisa dikendalikan,” katanya.

Maka dari itu, tindakan premanisme tidak bisa benar-benar mengancam negara. “Tidak ada intervensi yang pernah ada di sini. Jadi ya diperlihara, dikooptasi, dan dikendalikan, dan menjadi bagian dari apa yang diperlihara,” kata Ian Douglas.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |