Cerita Tersangka Suap Hakim Bertemu di Rumah Makan Untuk Urus Korupsi CPO

2 days ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Fakta baru terungkap dalam dugaan kasus suap hakim penanganan perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebutkan bahwa para tersangka bertemu di sebuah rumah makan untuk membahas kasus yang melibatkan tiga korporasi besar tersebut, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar mengatakan bahwa dugaan suap terhadap hakim ini berawal dari pertemuan antara Wahyu Gunawan (WG), panitera muda perdata PN Jakarta Utara, dan Ariyanto (AR) selaku advokat dari pihak korporasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, 15 April 2025, seperti dikutip Antara.

Meskipun Wahyu bertugas di PN Jakarta Utara, ia bisa menjadi perantara dalam kasus korupsi CPO ini karena kedekatannya dengan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu. Ariyanto kemudian menyampaikan informasi dari Wahyu kepada Marcella Santoso (MS), rekan advokat dalam perkara tersebut. 

Marcella lalu bertemu dengan Syafei, Kepala Legal Wilmar Group, di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan. dan menyampaikan bahwa pengurusan perkara tersebut bisa dibantu oleh Wahyu. “Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” ujar Qohar.

Dua pekan berselang, Wahyu kembali menghubungi Ariyanto agar segera mengurus kasus tersebut. Informasi ini lalu diteruskan Ariyanto ke Marcella, yang kemudian kembali bertemu dengan Syafei di rumah makan yang sama. 

Dalam pertemuan itu, Syafei menyebut perusahaan telah menyiapkan dana sebesar Rp 20 miliar. Tak lama kemudian, Wahyu, Ariyanto, dan Arif bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur. Arif pun menyampaikan bahwa perkara tersebut tidak bisa diputus bebas, tapi bisa diputus lepas (ontslag). Dia lalu meminta agar uang Rp 20 miliar itu dinaikkan menjadi Rp 60 miliar.

Setelah pertemuan itu, Wahyu Gunawan meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp 60 miliar. Permintaan tersebut diteruskan kepada Marcella untuk disampaikan kepada Syafei. “MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” ungkap Qohar.

Tiga hari setelahnya, Syarief mengatakan uang yang diminta sudah siap dan Ariyanto pun mengambilnya di area parkir kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Dia pun menyerahkan uang itu ke rumah Wahyu untuk diteruskan ke Arif.

Setelah dana diterima, Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom untuk menangani perkara korupsi tersebut. Pada 19 Maret 2024, majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat pun memutuskan ketiga perusahaan secara ontslag, menyatakan mereka terbukti melakukan perbuatan, namun tidak dianggap sebagai tindak pidana.

 Jihan Ristiyanti dan Yudono Yanuar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |