Mengapa Donald Trump Memilih Bernegosiasi dengan Iran?

12 hours ago 3

PEKAN lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa tindakan militer terhadap Iran "mutlak" mungkin dilakukan jika perundingan gagal menghasilkan kesepakatan. Ia juga menambahkan bahwa "tidak ada banyak waktu" untuk mencapai kesepakatan mengenai program nuklir Iran.

Ditanya wartawan tentang apakah aksi militer merupakan sebuah pilihan, Trump mengatakan, “jika perlu, tentu saja.” Ia juga menambahkan bahwa Israel akan terlibat menjadi pemimpin dalam hal itu jika dibutuhkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, laporan New York Times terbaru menyebutkan bahwa Trump telah menolak rencana Israel untuk menyerang Iran dan memilih untuk bernegosiasi. Informasi yang didapat dari para pejabat pemerintah yang mengetahui pembicaraan tersebut menyebutkan bahwa bahwa perpecahan telah muncul dalam tim Trump mengenai bagaimana cara mendekati Republik Islam tersebut.

Menurut New York Times, perdebatan di dalam pemerintahan Trump antara para hawkish anti-Iran dan mereka yang mencari jalur yang lebih diplomatis mengarah pada "konsensus mayoritas" yang menentang aksi militer untuk saat ini.

Mengapa Trump Memilih Negosiasi Dibanding Operasi Militer?

Presiden Trump mengadakan pertemuan pada Selasa pagi, 15 April 2025, di ruang rapat Gedung Putih mengenai negosiasi kesepakatan nuklir yang sedang berlangsung dengan Iran, dua sumber yang mengetahui hal ini mengatakan kepada Axios.

Pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri oleh semua pejabat tinggi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri pemerintahan Trump ini difokuskan untuk membahas posisi AS dalam putaran perundingan berikutnya yang direncanakan pada Sabtu, kata kedua sumber tersebut.

Menjelang pertemuan tersebut, Trump berbicara melalui telepon dengan Sultan Oman Haitham bin Tariq dan mendiskusikan mediasi Oman antara AS dan Iran. "Kedua pemimpin membahas cara-cara untuk mendukung negosiasi ini untuk mencapai hasil yang diinginkan," kata kantor berita negara Oman.

Sekretaris pers Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan bahwa Trump "menekankan kepada Sultan Oman tentang perlunya Iran mengakhiri program nuklirnya melalui negosiasi."

Keinginan Trump untuk berbicara langsung dengan Iran juga ditegaskannya di depan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Saat kunjungan Netanyahu ke Washington baru-baru ini, ia mengatakan bahwa ia pikir semua orang setuju bahwa kesepakatan akan lebih baik daripada melakukan hal yang sudah jelas. "Dan hal yang sudah jelas bukanlah sesuatu yang saya ingin terlibat di dalamnya atau terus terang saja Israel ingin terlibat di dalamnya jika mereka bisa menghindarinya," katanya yang kemungkinan mengacu pada serangan militer terhadap program nuklir Iran.

Pembicaraan semacam itu akan menandai keterlibatan diplomatik yang signifikan pertama antara pemerintahan Trump yang baru dan Iran karena Washington dan sekutunya semakin khawatir akan prospek Iran untuk mengembangkan program senjata nuklir.

Trump, seperti dikutip Politico, mengungkapkan bulan lalu bahwa ia mengirim surat kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang menawarkan pembicaraan langsung mengenai program nuklir negara tersebut. Iran secara terbuka bereaksi terhadap surat tersebut dengan "terima kasih, tapi tidak terima kasih".

Bagaimana Pertentangan Internal dalam Pemerintahan Trump?

Trump kerap menekan Iran dengan ancaman-ancaman serangan. Bulan lalu, Trump mengatakan bahwa Iran akan dibom jika mereka tidak menyetujui kesepakatan untuk menghentikan program nuklirnya. "Jika mereka tidak membuat kesepakatan, akan ada pengeboman," kata Trump kepada NBC News. Ia menjanjikan, “Ini akan menjadi pengeboman yang belum pernah mereka lihat sebelumnya."

Dilansir Middle East Eye, pemerintahan Trump telah lama terpecah antara sekutu-sekutu yang lebih hawkish seperti Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan mereka yang menentang intervensi militer AS yang lebih luas seperti direktur intelijen nasional Tulsi Gabbard.

Selasa, 15 April 2025, Wakil Presiden JD Vance, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Menteri Pertahanan Pete Hegseth, penasihat keamanan nasional Gedung Putih Mike Waltz, utusan Trump, Steve Witkoff, direktur CIA John Ratcliffe, dan para pejabat tinggi lainnya hadir dalam pertemuan di situation room pada Selasa.

Axios melaporkan pertemuan tersebut berlangsung di tengah perdebatan sengit di dalam pemerintahan mengenai langkah ke depan dalam negosiasi dan kompromi yang harus atau tidak harus dilakukan oleh AS.

Vance dan Witkoff berpendapat bahwa diplomasi dapat menghasilkan kesepakatan nuklir dan berpikir bahwa AS harus siap untuk melakukan beberapa kompromi untuk mendapatkannya. Anggota senior pemerintahan lainnya, termasuk Rubio dan Waltz, sangat skeptis dan mendukung pendekatan maksimalis terhadap negosiasi.

Dalam sebuah pertemuan bulan ini, Gabbard dilaporkan mempresentasikan sebuah penilaian intelijen yang mengatakan bahwa penumpukan persenjataan Amerika berpotensi memicu konflik yang lebih luas dengan Iran.

Susie Wiles, kepala staf Gedung Putih, Menteri Pertahanan Pete Hegseth, dan Wakil Presiden JD Vance juga menyuarakan keraguan tentang serangan itu, menurut New York Times.

Para pejabat mengatakan kepada surat kabar tersebut bahwa Vance mengatakan Trump memiliki kesempatan unik untuk membuat kesepakatan dengan Iran, tetapi mereka dapat mendukung serangan Israel jika perundingan gagal.

Apakah Israel Memang Telah Merencanakan Serangan?

The Jerusalem Post melansir bahwa Israel telah serius mempertimbangkan untuk menyerang program nuklir Iran beberapa kali sejak Oktober 2024.

Menurut The Post, setelah serangan Iran dengan sekitar 200 rudal balistik Israel pada 1 Oktober, Yerusalem secara serius mempertimbangkan untuk melumpuhkan program nuklir Teheran pada saat itu. Pada saat itu, Donald Trump yang masih menjadi kandidat presiden bahkan meminta Israel untuk melenyapkan program nuklir Iran.

Israel secara teoritis terbuka dengan gagasan tersebut. Angkatan udara Israel lebih percaya diri setelah keberhasilan serangan terhadap Iran pada April 2024 dan terhadap Yaman yang letaknya lebih jauh daripada Iran. Namun, para pejabat tinggi Israel tidak siap untuk melakukan operasi semacam itu tanpa persetujuan AS, termasuk perlindungan Amerika dari pembalasan rudal balistik yang lebih besar yang diantisipasi oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

Karena mendapat tentangan dari pemerintahan Biden, Israel memilih untuk melenyapkan pertahanan udara S-300 Iran dan sebagian besar kemampuan produksi rudal balistiknya.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |