Pekan ini tim Ekonomi dan Bisnis Tempo menurunkan laporan dengan judul besar "Sinyal Darurat Ekonomi Indonesia". Ini adalah hasil kolaborasi kami dengan Center of Economic and Law Studies (Celios), lembaga think-thank yang bermarkas di Yogyakarta dan Jakarta.
Kami berupaya memotret apa yang terjadi dengan ekonomi Indonesia dalam satu kuartal terakhir. Dan rencananya kolaborasi ini akan berlanjut pada kuartal-kuartal berikutnya, dengan tema berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk laporan kolaborasi edisi pertama ini, kami memilih topik utama soal kondisi makro ekonomi kita yang, harus diakui, sedang terpuruk. Ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2024 yang melambat jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan negara seret pada awal tahun. Hal ini tak lepas dari kekacauan sistem baru bernama Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax.
Sistem administrasi pajak yang diluncurkan Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 lalu ini "sukses" membuat para administratur pajak lembur setiap hari. Lantaran sering eror, penerbitan faktur pajak tertunda. Ini salah satu yang menghambat setoran pajak di awal tahun.
Dari sisi belanja ada persoalan lain. Anggaran pemerintah dipangkas, berdampak pada bisnis perhotelan dan industri lain yang selama ini bergantung pada belanja kementerian dan lembaga negara.
Di lain pihak konsumsi masyarakat lesu, bahkan pada Ramadhan dan Idul Fitri yang biasanya memberikan daya ungkit pada perekonomian. Ditambah lagi dengan tekanan eksternal seperti ancaman pungutan tarif tambahan oleh presiden Amerika Serikat Donald Trump yang bakal menghambat ekspor Indonesia.
Gejala di pasar keuangan juga menunjukkan ekonomi kita sedang demam tinggi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia anjlok, sementara nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah semakin tinggi.
Kondisi ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia berada di titik rendah, meski harus diakui jika ada juga faktor spekulasi yang berpengaruh di sini. Yang jelas, kita seharusnya awas dengan sinyal-sinyal tersebut. Setidaknya bersiap jika kita mesti terjun lagi ke jurang resesi--seperti yang terjadi pada masa Covid-19.
Pilihan editor: