TEMPO.CO, Jakarta -Presiden Senat Kerajaan Kamboja, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, mengungkap strateginya dalam memulihkan perekonomian Kamboja usai konflik pada era 1970-1990.
Hun Sen menuturkan bahwa pada 1980-an dan 1990-an perekonomian Kamboja masih lemah. Pada masa tersebut, pembangunan ekonomi serta infrastruktur Kamboja sangat bergantung pada bantuan asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"(Ketika itu) kami terus-menerus mengerahkan upaya yang cukup besar untuk mendorong reformasi domestik, sementara pada saat yang sama berjuang untuk integrasi Kamboja ke dalam ekonomi regional dan global," kata Hun Sen saat memberi kuliah umum di Sekolah Pemerintahan ERIA, Jakarta, pada Selasa, 6 Mei 2025.
Pada masa itu, Hun Sen yang menjabat sebagai perdana menteri meluncurkan Strategi Segitiga dari 1998 hingga 2003, diikuti oleh empat fase Strategi Persegi Panjang dari tahun 2003 hingga 2023.
Hun Sen menuturkan bahwa Strategi Segitiga menekankan tiga prioritas utama. Pertama, Hun Sen mendorong pasifikasi dengan tujuan untuk menjaga ketertiban, stabilitas, keamanan, dan pembangunan perdamaian di dalam negeri.
Kedua, Hun Sen mendukung integrasi Kamboja ke dalam komunitas regional dan internasional, termasuk lembaga keuangan internasional. Dia juga menginginkan normalisasi hubungan Kamboja dengan negara lain untuk meningkatkan pertukaran perdagangan dan investasi.
Ketiga, Hun Sen mengatakan bahwa dia mendorong pembangunan sosial-ekonomi, pengurangan kemiskinan, tata kelola, reformasi kelembagaan dan peradilan, dan manajemen sektor publik.
"Untuk mencapai keberhasilan, strategi dan reformasi ekonomi kami dirancang untuk berpusat pada masyarakat, dengan memperluas kelas menengah sekaligus mengurangi kemiskinan," ujar perdana menteri yang menjabat pada periode 1985-2023 itu.
Selanjutnya, Hun Sen mengatakan bahwa pada periode ketiga hingga keenamnya, Pemerintah Kerajaan Kamboja mengadopsi dan menerapkan Strategi Persegi Panjang untuk mengubah perannya sebagai "Pemerintah Kerajaan Ekonomi" dengan motto: "Pemerintah Kerajaan Pertumbuhan, Ketenagakerjaan, Kesetaraan, dan Efisiensi".
Strategi ini, Hun Sen menyampaikan, telah melibatkan pelaksanaan agenda ekonomi yang komprehensif untuk meningkatkan dan membangun kapasitas lembaga publik.
Selain itu, agenda juga ditujukan untuk memperkuat tata kelola yang baik, dan memodernisasi infrastruktur ekonomi nasional seperti jalan raya, rel kereta api, dan konektivitas udara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja bagi semua warga negara.
Hun Sen mengatakan bahwa pemerintahannya pada saat itu ingin memastikan kesetaraan sosial, dan meningkatkan efisiensi sektor publik.
Selain promosi pembangunan internal, Hun Sen mengatakan bahwa pemerintahannya saat itu juga telah memajukan integrasi regional dan internasional untuk menciptakan peluang baru bagi hubungan diplomatik, kerja sama ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan.
Hun Sen saat itu memimpin keanggotaan Kamboja di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 1999 dan menjabat sebagai ketua bergilir ASEAN tiga kali pada 2002, 2012, dan 2022.
"Melalui ASEAN, Kamboja telah memperoleh manfaat luar biasa dengan berbagai mitra internasional, dan kami telah menjalin hubungan yang saling terkait melalui berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral dan multilateral," tuturnya.
Adapun pada masa itu Kamboja berhasil dalam upayanya untuk bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2004.
Konflik di Kamboja merupakan serangkaian konflik militer yang terjadi selama beberapa dekade, dimulai dengan Perang Saudara Kamboja (1970-1975) dan dilanjutkan dengan Perang Kamboja-Vietnam (1979-1989).
Polemik di negara tersebut meliputi perebutan kekuasaan, intervensi asing, dan dampak kebijakan rezim Khmer Merah. Adapun Perang Kamboja-Vietnam, yang dipicu oleh invasi Vietnam untuk menggulingkan rezim Khmer Merah, menyebabkan genosida dan runtuhnya rezim Pol Pot.