TEMPO.CO, Jakarta - PT Tata Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) buka suara ihwal pagar laut di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang belum dibongkar sepenuhnya. Mereka menilai belum tuntasnya pencopotan pagar laut di Bekasi tersebut akibat dari proses penyidikan oleh pihak Bareskrim Polri.
“Ya nunggu selesai penyelidikan dari Bareskrim Polri, kan sudah ada penetapan tersangka, itu kan barang bukti, barang bukti kan enggak bisa dihilangkan,“ Kuasa hukum PT TRPN, Deolipa Yumara di Bekasi pada Sabtu, 12 April 2025, dikutip Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deolipa menegaskan, pagar laut di Bekasi itu menjadi salah satu barang bukti dalam penyidikan kepolisian yang tengah berlangsung. Pihaknya juga memastikan pihaknya akan melanjutkan pembongkaran pagar laut Bekasi, dengan syarat proses hukum terkait masalah tersebut tuntas.
“Itu tunggu hasil investigasi dari Bareskrim Polri, jadi rencana nanti sekali bongkar, tapi tunggu proses hukum,” kata dia
Lantas bagaimana kelanjutan dari proses hukum kasus pagar laut di Bekasi ini?
Sebagai informasi, PT TRPN dinyatakan bersalah karena membangun pagar laut di Bekasi tanpa izin dan diminta bertanggung jawab untuk pembongkarannya. Pagar laut sepanjang 3,3 kilometer itu mulai pada Selasa, 11 Februari 2025. Pembongkaran ini dilakukan secara mandiri oleh PT TRPN dan ditargetkan rampung dalam 10 hari.
Belakangan pagar laut tersebut kembali mendapatkan sorotan setelah dikeluhkan oleh nelayan setempat. Pasalnya, deretan batang bambu milik PT TRPN dan PT Mega Agung Nusantara (MAN) itu masih membentang di lautan, belum dibongkar sepenuhnya sehingga membatasi akses nelayan tradisional mencari ikan.
“Pembongkaran waktu itu cuma di bagian dekat daratan reklamasi saja. Itu juga cuma seremonial, setelah itu berhenti,” kata nelayan setempat Muhammad Ramli (42) di Paljaya, Kabupaten Bekasi, Ahad, 13 April 2025, dikutip Antara. “Meski ada bagian pagar yang sudah dibongkar, namun sebagian besar masih berdiri kokoh.”
Kasus ini tak berhenti pada pelanggaran administrasi yang dilakukan PT TRPN. Diduga ada pemalsuan surat dan/atau pemalsuan akte otentik dan/atau penempatan keterangan palsu ke dalam akte otentik dalam 93 SHM di Desa Segarajaya sekitar tahun 2022. Perkara ini dilaporkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Rabu, 12 Februari 2025.
“Kami baru menerima laporan. Kemudian, laporannya juga ada terlapornya,” kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Brigjen Pol. Djuhandhani mengatakan, dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi, penyidik menemukan dugaan modus operandi yang digunakan oleh pelaku, yakni mengubah data 93 sertifikat hak milik (SHM). Diduga para pelaku mengubah data nama pemegang hak dan data lokasi yang sebelumnya berada di darat, menjadi di laut dengan jumlah lebih luas dari aslinya.
Diubahnya data tersebut dilakukan setelah sertifikat asli atas nama pemegang hak yang sah, diubah menjadi nama pemegang hak baru yang tidak sah. Selain nama, terduga pelaku juga mengubah data luas tanah dan lokasi objek sertifikat. Perubahan luas tanah secara ilegal itu menyebabkan adanya pergeseran wilayah yang sebelumnya di darat, menjadi di laut.
“Jadi, sebelumnya sudah ada sertifikat. Kemudian, diubah dengan alasan revisi di mana dimasukkan, baik itu perubahan koordinat dan nama, sehingga ada pergeseran tempat dari yang tadinya di darat bergeser ke laut dengan luasan yang lebih luas,” terangnya.
Sepekan lebih berselang, Dittipidum Bareskrim Polri mengumumkan bahwa kepolisian menduga bahwa beberapa SHM pada wilayah pagar laut di Bekasi diagunkan ke bank. Terkait siapa pelakunya, Djuhandhani tidak mengungkapkannya. Namun, ia menduga bahwa pelaku telah mendapatkan keuntungan dari mengagunkan SHM.
“Kami juga sedikit mendapatkan temuan terkait beberapa sertifikat yang ada ini. Ini juga akan terus kami dalami karena info yang kami dapatkan, sertifikat ini pun sekarang ada beberapa yang diagunkan di beberapa bank swasta,” katanya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat, 21 Februari 2025.
Adapun dugaan itu disimpulkan setelah penyidik Dittipidum Bareskrim Polri memeriksa 19 saksi dalam kasus ini, di antaranya adalah pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi, perangkat RT/RW Desa Segarajaya, mantan Kepala Desa (Kades) Segarajaya, dan Kades Segarajaya yang saat ini menjabat, Abdul Rosyid.
Djuhandhani juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah turun langsung ke lokasi pagar laut di Desa Segarajaya untuk mengecek kondisi fisik pagar. Untuk langkah selanjutnya, kata dia, penyidik akan memeriksa beberapa pihak dari kementerian/lembaga serta instansi pemerintah untuk mengetahui soal penerbitan sertifikat kepada masyarakat.
Sepekan kemudian, Jumat, 28 Februari 2025, Dittipidum Bareskrim Polri meningkatkan status kasus ini ke penyidikan. Djuhandhani mengungkapkan bahwa penyidik telah memiliki suspek tersangka dalam kasus ini. Kendati demikian, penyidik tetap menerapkan asas praduga tak bersalah dalam proses pemeriksaan.
“Kemarin sore, beberapa penyidik madya maupun penyidik utama Direktorat Tindak Pidana Umum telah melaksanakan gelar perkara. Kami semua sepakat meningkatkan status LP (laporan polisi) tersebut dari penyelidikan menjadi penyidikan,” kata Jenderal bintang satu itu, Jumat.
Teranyar, Dittipidum Bareskrim Polri akhirnya menetapkan sembilan orang tersangka sebagaimana diumumkan pada Kamis, 10 April 2025. Tersangka pertama adalah MS selaku mantan Kepala Desa (Kades) Segarajaya yang menandatangani PM 1 dalam proses Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Kemudian tersangka kedua adalah AR (Abdul Rosyid) selaku Kades Segarajaya sejak 2023 sampai sekarang, yang menjual lokasi bidang tanah di laut kepada Saudara YS dan BL. Tersangka berikutnya adalah JM selaku Kasi Pemerintahan di Kantor Desa Segarajaya serta Y dan S selaku staf di Kantor Desa Segarajaya.
“Tersangka selanjutnya adalah AP selaku ketua tim support PTSL, GG selaku petugas ukur pada tim support PTSL, MJ selaku operator komputer, serta HS selaku tenaga pembantu pada tim tersebut,” kata Djuhandhani di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.
Djuhandhani mengatakan, tersangka MS dikenakan Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP. Sedangkan tersangka dari tim support PTSL dikenakan Pasal 26 ayat (1) KUHP. Untuk langkah selanjutnya, penyidik akan melaksanakan upaya-upaya paksa, yaitu dengan pemanggilan, pemeriksaan, dan lain sebagainya terhadap sembilan tersangka.
“Dalam (waktu) secepatnya agar segera dapat kami berkaskan dan untuk selanjutnya kami teruskan ke jaksa penuntut umum,” katanya.
Adi Warsono dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.