TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo menyoroti regulasi ganti rugi terhadap kehilangan maupun kerusakan barang yang hanya diganti sebesar 10 kali dari biaya pengiriman. Menurut dia, kebijakan ini merugikan konsumen yang memakai jasa ekspedisi karena bisa saja harga barang tersebut melebihi 10 kali biaya pengiriman.
Adapun regulasi ganti rugi itu diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos dan Logistik. Rio mengatakan peraturan ini belum menjawab keluhan konsumen yang selama ini menggunakan jasa ekspedisi ketika berbelanja via online. “Padahal keluhan ini harus dijawab oleh pemerintah dengan regulasi bisnis dan proses yang fair,” kata Rio kepada Tempo, Senin, 19 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam peraturan itu, persoalan ganti rugi termuat dalam pasal 73 hingga pasal 76. Besaran yang diberikan kepada konsumen paling tinggi mencapai 10 kali dari biaya pengiriman, kecuali jika barang tersebut diasuransikan. Kalau sudah diasuransikan, kompensasi yang diberikan mengacu pada perjanjian asuransi yang berlaku antara pengguna dan perusahaan asuransi.
Peraturan ini juga berbunyi kalau penyelenggara pos tidak berkewajiban memberikan kompensasi dalam kondisi tertentu, seperti jika kerusakan atau kehilangan disebabkan oleh bencana alam, keadaan darurat, sifat alami barang yang dikirim, kelalaian pengguna, informasi yang tidak akurat mengenai isi kiriman, atau hal-hal lain di luar kemampuan manusia.
Rio menggarisbawahi soal pernyataan asuransi dalam peraturan itu yang menurutnya tidak mewadahi hak perlindungan konsumen. Padahal, kata dia, asuransi barang ini seharusnya bisa dilakukan oleh pihak ekspedisi dan bukan tanggung jawab dan konsumen. “Jika barang hilang, maka menjadi tanggung jawab pihak ekspedisi dengan menanggung penuh biaya barang,” ujar Rio.
Menteri Komdigi Meutya Viada Hafid sebelumnya menyebut peraturan ini sebagai bagian dari upaya strategis membangun sistem distribusi yang merata dan inklusif. “Industri pos dan logistik bukan hanya soal kirim barang, tapi juga mengirimkan harapan, mempererat konektivitas, dan membuka peluang ekonomi yang lebih luas,” ujar Meutya di kantornya, Jumat, 16 Mei 2025.
Regulasi ini, kata Meutya, juga mendorong penerapan infrastructure sharing atau pemanfaatan bersama infrastruktur seperti jaringan distribusi, gudang, dan titik layanan. Dengan pendekatan ini, kata dia, pelaku usaha kecil di daerah tidak perlu membangun sistem dari awal dan bisa lebih efisien dalam beroperasi.
Dia berharap kehadiran regulasi anyar ini bisa menjadi salah satu langkah konkret pemerintah dalam membangun kemandirian ekonomi melalui penguatan sistem distribusi nasional yang menyentuh seluruh wilayah. "Komitmen kami adalah memastikan industri ini tumbuh secara sehat dan memberikan manfaat yang merata,” ucap Meutya.
Nandito Putra, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.