KEPEMIMPINAN baru Suriah membuat langkah yang mengejutkan. Presiden Ahmed al-Sharaa telah mengindikasikan kesediaan untuk mempertimbangkan normalisasi hubungan dengan Israel. Ini adalah sebuah perubahan signifikan dari posisi Damaskus yang sudah berlangsung lama, seperti dilaporkan Al-Monitor.
Keterbukaan ini muncul di tengah perubahan besar di kawasan, termasuk melemahnya pengaruh Iran, tekanan terhadap proksi-proksi Iran seperti Hizbullah, dan akibat dari perang saudara Suriah, yang telah membuat Suriah hancur secara ekonomi dan terisolasi secara diplomatik.
Tantangan Suriah Pasca-Assad
Middle East Eye melaporkan bahwa sejak jatuhnya Assad, Suriah telah mengalami serangan udara Israel yang sering terjadi. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga telah mengerahkan pasukan untuk menduduki wilayah pegunungan di barat daya Suriah, yang memberi Israel sudut pandang strategis di dekat Damaskus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendudukan Israel ini merupakan salah satu dari beberapa masalah mendesak yang dihadapi Sharaa. Perekonomian Suriah hancur, dengan kemiskinan yang meluas dan biaya rekonstruksi dari perang saudara yang diperkirakan mencapai $400 miliar.
Sanksi-sanksi AS dan Eropa, yang diberlakukan sebagai tanggapan atas tindakan brutal Assad terhadap protes, sebagian besar masih berlaku. Sanksi-sanksi ini telah menjadi hambatan utama, menghalangi investasi asing, terutama dari negara-negara Teluk dan Turki, yang diharapkan dapat memainkan peran utama dalam upaya pembangunan kembali Suriah. Beberapa sanksi, seperti penetapan Suriah sebagai negara sponsor terorisme, telah diberlakukan sejak tahun 1979.
Fakta-fakta ini menjadi pendorong utama di balik sinyal al-Sharaa menormalisasi hubungan dengan Israel.
Pemerintah al-Sharaa telah menjelaskan kepada para anggota parlemen AS yang berkunjung bahwa pencabutan sanksi-sanksi tersebut merupakan prioritas utama, dan normalisasi dengan Israel sedang diupayakan sebagai jalan yang memungkinkan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan ekonomi dari Barat.
Untuk memenuhi tuntutan AS demi melonggarkan sanksi, kepemimpinan Suriah juga telah mengambil langkah-langkah, seperti menahan para pejabat senior Jihad Islam Palestina.
Syarat Normalisasi
Keterbukaan Al-Sharaa bukan tanpa syarat. Dia telah menekankan bahwa setiap normalisasi harus menjaga persatuan dan kedaulatan Suriah, dan secara eksplisit menolak segala bentuk kesepakatan yang dapat menyebabkan perpecahan di negara tersebut.
Ia juga menuntut diakhirinya operasi militer Israel di dalam Suriah dan penghentian perambahan Israel, terutama di dekat Dataran Tinggi Golan – sebuah isu inti dalam hubungan Suriah-Israel sejak 1967. Selain itu, ada harapan bahwa Suriah akan menangani masalah-masalah yang masih ada seperti keberadaan pejuang asing dan senjata kimia, dan memberikan jaminan keamanan kepada Israel.
Terlepas dari sinyal-sinyal ini, para analis memperingatkan bahwa pernyataan-pernyataan al-Sharaa dikalibrasi dengan hati-hati. Pemerintahannya tampaknya sedang menguji coba, berusaha untuk menyenangkan publik domestik dan internasional tanpa membuat komitmen tegas yang dapat memicu reaksi keras atau mengancam kedaulatan Suriah. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Damaskus—seperti tuntutan integritas wilayah dan penghentian serangan udara Israel—merupakan hambatan yang signifikan, dan para pejabat Israel tidak menunjukkan keinginan untuk memenuhinya.
Tuntutan AS
Pekan lalu, anggota Kongres dari Partai Republik Cory Mills, sekutu mantan Presiden Donald Trump, menghabiskan waktu selama 90 menit di Damaskus untuk bertemu dengan Sharaa dalam sebuah misi pencarian fakta yang disponsori oleh kelompok-kelompok Suriah-Amerika. Mills kemudian mengatakan kepada Bloomberg bahwa diskusi mereka berfokus pada langkah-langkah yang diperlukan agar Suriah mendapatkan keringanan sanksi.
Mills menguraikan tuntutan utama yang ia sampaikan kepada Sharaa, termasuk penghancuran persediaan senjata kimia yang ditinggalkan oleh rezim Assad sebelumnya, kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam upaya kontraterorisme, dan mengambil tindakan terhadap para pejuang asing yang berafiliasi dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok militan Islam yang telah menggulingkan Assad dan pernah dipimpin oleh Sharaa. Selain itu, Mills menekankan bahwa Suriah harus memberikan jaminan kepada Israel.
Sejarah Konflik Suriah dan Israel
Konflik antara Suriah dan Israel berawal dari Perang Arab-Israel 1948, di mana Suriah berpartisipasi bersama negara-negara Arab lainnya melawan Negara Israel yang baru saja didirikan. Kedua negara ini telah bentrok beberapa kali, terutama pada Perang Enam Hari 1967, di mana Israel merebut Dataran Tinggi Golan-wilayah yang dianggap Suriah sebagai bagian penting dari kedaulatan nasionalnya dan menjadi titik tolak utama dalam perundingan perdamaian, menurut Jerusalem Post.
Meskipun permusuhan terus berlanjut, tahun 1990-an menyaksikan upaya rekonsiliasi yang tenang, terutama setelah Konferensi Madrid dan selama era Presiden Hafez al-Assad. Upaya-upaya ini terus berlanjut secara sporadis di bawah pemerintahan Bashar al-Assad, terutama setelah Konferensi Annapolis 2007, tetapi akhirnya goyah karena penolakan Israel untuk sepenuhnya mundur dari Dataran Tinggi Golan.
Nir Boms, ketua Forum Penelitian Suriah di Moshe Dayan Center Universitas Tel Aviv, menyoroti bagaimana perkembangan regional baru-baru ini membentuk kembali pendekatan Damaskus. Dia mencatat bahwa setelah serangan 7 Oktober, melemahnya pengaruh Iran, dan berkurangnya kekuatan Hizbullah telah mengubah lanskap strategis. Selain itu, kelompok-kelompok oposisi di Suriah, yang telah lama terpinggirkan, kini mulai bersuara dan berkontribusi pada dinamika baru.
Pandangan Warga Suriah
Pandangan publik Suriah tentang kemungkinan normalisasi hubungan dengan Israel masih sangat terpecah dan sebagian besar skeptis, yang dibentuk oleh konflik selama beberapa dekade dan pendudukan Dataran Tinggi Golan yang sedang berlangsung.
Keterbukaan Suriah di bawah al-Sharaa terhadap normalisasi hubungan dengan Israel tidak tercermin secara luas dalam opini publik.
Banyak warga Suriah terus melihat Israel sebagai penjajah dan musuh, terutama karena status Dataran Tinggi Golan yang belum terselesaikan, yang tetap menjadi simbol utama kedaulatan dan kebanggaan nasional Suriah. Permusuhan yang telah berlangsung selama beberapa dekade, termasuk beberapa perang dan operasi militer Israel di dalam Suriah, telah menanamkan ketidakpercayaan dan kebencian di antara penduduk.
Pada saat yang sama, ada pengakuan pragmatis yang berkembang di antara beberapa segmen masyarakat Suriah tentang potensi manfaat normalisasi, terutama dalam hal pemulihan ekonomi dan mengakhiri isolasi internasional Suriah. Konflik berkepanjangan dan krisis kemanusiaan telah membuat beberapa warga Suriah mempertimbangkan bahwa keterlibatan dengan Israel dan wilayah yang lebih luas dapat membuka jalan menuju rekonstruksi, investasi asing, dan keringanan sanksi yang melumpuhkan.
Namun, pragmatisme ini bersifat hati-hati dan bersyarat. Banyak warga Suriah menuntut agar setiap normalisasi harus menghormati kedaulatan Suriah, memastikan kembalinya Dataran Tinggi Golan, dan mengakhiri aksi militer Israel di tanah Suriah. Opini publik juga dipengaruhi oleh sikap dunia Arab yang lebih luas dan masalah Palestina yang belum terselesaikan, yang tetap menjadi hambatan signifikan bagi penerimaan masyarakat terhadap normalisasi.