TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan perbedaan data pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menjadi tantangan pemerintah. Namun, ia meminta publik tidak hanya berfokus pada jumlah PHK yang terjadi selama ini. Menurut dia, serapan tenaga kerja juga perlu menjadi catatan.
“Teman-teman jangan hanya bicara PHK berapa banyak," kata Yassierli dalam konferensi pers di kantornya pada Rabu, 28 Mei 2025. "Pak Wamen (Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer) keliling kemana-mana, ada perusahaan manufaktur X merekrut sekian ribu orang, perusahaan sepatu X merekrut sekian puluh ribu orang."
Yassierli berujar, Kementerian Ketenagakerjaan sedang mengumpulkan data penyerapan tenaga kerja tersebut. “Sehingga, informasi yang disampaikan kepada masyarakat bisa lebih utuh,” ucapnya.
Lebih lanjut terkait dengan kasus PHK, Yassierli mengklaim pemerintah sedang memproses integrasi data. Pasalnya, ia mengakui, ada perbedaan data PHK yang tercatat di Kemnaker dengan lembaga lain. Adapun selama ini, kementeriannya menggunakan data PHK dari laporan dinas ketenagakerjaan yang bersifat bottom up. Namun, mulai awal Juni nanti, Kementerian Ketenagakerjaan akan menggunakan data baru.
“Data baru basisnya itu adalah dari pusat data dan informasi dari Kemnaker dan data dari BPJS Ketenagakerjaan yang teringerasi dengan Kemnaker,” ujar Yassierli. “Itu hasil integrasi data selama ini yang kami bangun.”
Kepastian data PHK yang melanda sejumlah industri di Indonesia masih simpang siur. Sebelumnya, pada 20 Mei 2025, Kemnaker mengungkapkan jumlah PHK tercatat sebanyak 26.455 kasus. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHI-JSK) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan penumpang kasus tertinggi, yakni sebanyak 10.695 kasus. Kemudian, ada Jakarta sebanyak 6.279 kasus dan Riau sebanyak 3.570 kasus.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut jumlah PHK sejak Rabu, 1 Januari 2025 hingga Senin, 10 Maret 2025 telah mencapai 73.992 kasus. Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengatakan perbedaan angka itu berasal dari metode pengumpulan data yang tidak sama. “Kalau pemerintah kan sudah jelas, dia mengambil data memang melalui dinas ketenagakerjaan, ada sistem pelaporannya, perusahaan yang melapor,” kata Shinta di Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025.
Dia menuturkan bahwa Apindo mengacu pada data klaim manfaat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan. “Data itu bisa diperdebatkan seperti apa pun. Kami kan melihat kenyataan di lapangan,” ucap Shinta.
Melynda Dwi Puspita berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini