Jakarta (ANTARA) - Presiden AS Donald Trump, yang disebut para pendukungnya sebagai "kandidat perdamaian" selama kampanye pilpres, ternyata pada akhir Maret lalu sempat mengancam Iran dengan potensi serangan udara militer AS.
Dalam wawancara dengan NBC News pada 30 Maret 2025, Trump melalui sambungan telepon menyatakan bahwa bila Iran tidak membuat kesepakatan, maka akan ada pemboman. "Itu akan menjadi pemboman yang belum pernah mereka (Iran) lihat sebelumnya," katanya.
Kesepakatan yang dimaksud oleh Trump adalah terkait dengan program nuklir yang dimiliki oleh Iran.
Sebelumnya, emerintah Negeri Para Mullah itu telah berulang kali menyatakan bahwa program nuklir yang dimilikinya hanya untuk tujuan sipil, tetapi banyak pihak yang skeptis sehingga Iran diberi sanksi yang berujung kepada Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plant of Action/JCPOA).
JCPOA yang pada 2015 disepakati Iran dan beragam pihak negara besar lainnya (AS, China, Inggris, Jerman, Prancis, dan Rusia), merupakan perjanjian yang membatasi program nuklir Iran, serta adanya pengawasan dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk mengakses dan menginspeksi nuklir negara tersebut.
Sebagai gantinya, berbagai negara itu setuju untuk mencabut sanksi terhadap Iran. Namun, ketika Trump menjabat sebagai Presiden AS pada 2018 atau periode pertama kepresidenannya, pemerintahannya secara sepihak menarik diri dari JCPOA, dengan menilainya sebagai "kesepakatan buruk".
Pada saat ini atau masa kedua kepresidenannya, Trump mendesak Iran untuk menerima kesepakatan baru terkait program nuklirnya, di bawah ancaman pengeboman. Keinginan Trump untuk bernegosiasi dengan Iran membuat Israel terkejut.
Selama ini, Israel menuding bahwa Iran menjalankan program senjata nuklir rahasia, serta menuduh bahwa bentuk keringanan sanksi yang diterima Iran selama ini digunakan untuk memperkuat kegiatan militer Iran dan proksinya.
Untuk itu, pengumuman dari Trump pada Senin (7/4) bahwa akan ada pembicaraan langsung tingkat tinggi antara AS dan Iran terkait program nuklir Iran juga menyentak pemimpin Israel Benjamin Netanyahu.
Desakan Israel
Menurut BBC, setelah pengumuman Trump, Netanyahu menyatakan satu-satunya kesepakatan yang dapat diterima adalah Iran setuju untuk menghapus program nuklirnya.
Hal itu, ujar Netanyahu seperti dikutip BBC, harus dilakukan dengan pihak Israel yang akan "masuk, meledakkan fasilitas, dan membongkar semua peralatan, di bawah pengawasan dan eksekusi AS."
Kantor berita Amerika Serikat, AP memberitakan bahwa Trump pada Rabu (9/4) mengatakan bahwa Israel akan menjadi "pemimpin" bila ada potensi serangan militer terhadap Iran jika Teheran tidak menghentikan program senjata nuklirnya.
Sementara itu, seorang pejabat AS juga telah mengatakan kepada CBS News bahwa pertengahan April akan ada dua kelompok kapal induk Angkatan Laut AS yang beroperasi di dalam wilayah tanggung jawab US Central Command atau Komando Pusat AS.
Wilayah yang dimaksud itu meliputi Teluk Persia, Iran, Yaman, dan seluruh kawasan Timur Tengah.
Selain itu, terungkap pula bahwa ada enam pesawat bomber B-2 milik AS yang sudah dikerahkan ke pangkalan gabungan AS-Inggris di Diego Garcia, yang merupakan sebuah pulau strategis di tengah Samudra Hindia, sebuah kawasan perairan luas yang berjarak dekat dengan Iran.
Bila Iran diserang, media Newsweek memberitakan bahwa Moskow melalui Wakil Menlu Rusia Andre Rudenko menyatakan bahwa Rusia tidak berkewajiban membantu Iran secara militer, tetapi akan menawarkan bantuan dalam bentuk negosiasi antara Teheran dan Washington.
Pertemuan di Oman
Sementara itu, pertemuan pembicaraan terkait program nuklir Iran antara Washington dan Teheran itu dijadwalkan akan berlangsung di Oman pada Sabtu (12/4).
Namun, meski Trump menyebut akan ada "pembicaraan langsung", Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan negosiasi di Oman itu akan bersifat tidak langsung. Selain itu, Menlu Iran menyatakan pula pihaknya ingin Trump terlebih dahulu harus menyetujui bahwa tidak boleh ada "opsi militer".
"Opsi militer" merupakan hal yang tidak dikesampingkan oleh Trump. Ini karena bila Iran diserang, ada sejumlah keuntungan yang dapat diterima Trump, antara lain memperkuat aliansi regional yaitu dengan sejumlah negara sekutu AS di Timur Tengah.
Sejumlah negara seperti Israel dan beberapa negara Teluk kerap menganggap Iran sebagai ancaman yang signifikan, sehingga adanya aktivitas militer terhadap Iran dapat meningkatkan pengaturan keamanan kolektif yang memerlukan koordinasi dengan AS.
Selain itu, pengeboman terhadap infrastruktur militer Iran dinilai akan dapat mengganggu jaringan proksinya di seluruh Timur Tengah, sehingga pada gilirannya juga akan membatasi pengaruh Iran di negara-negara seperti Suriah, Irak, dan Yaman.
Sedangkan secara historis, peningkatan keterlibatan militer AS akan dapat menjadi faktor yang mempersatukan Negeri Paman Sam akan adanya "musuh bersama", sehingga juga bakal membuat pemerintahan Trump dapat mengalihkan perhatian warga AS dari permasalahan memburuknya perekonomian domestik.
Tensi global
Namun, jangan dilupakan bahwa serangan terhadap Iran dipastikan akan meningkatkan ketegangan global serta mengganggu pengiriman sejumlah komoditas yang signifikan terhadap kondisi perekonomian global, atau dengan kata lain akan membuat "dunia menjadi buntung".
Ketegangan global yang akan dapat timbul itu juga dipastikan dapat berlarut-larut mengingat kemampuan militer Iran yang mumpuni dan memiliki aliansi dengan sejumlah milisi di kawasan, sehingga berpotensi mengakibatkan arah konflik dapat meledak ke arah yang tidak dapat diprediksi.
Jangan lupa pula bahwa Iran memiliki posisi yang strategis, termasuk kendali atas sejumlah rute pengiriman minyak bumi yang merupakan komoditas vital sektor energi, sehingga tindakan militer yang berupa serangan ke Negeri Para Mullah itu dipastikan mengganggu pasokan dan volatilitas harga.
Iran adalah salah satu produsen minyak utama di dunia, serta mengendalikan akses ke Selat Hormuz yang dilalui sekitar 20 persen minyak global. Untuk itu, gangguan terhadap rute ini dapat menyebabkan harga minyak mentah berpotensi melonjak drastis.
Bila harga minyak meroket, juga akan berdampak kepada melesatnya komponen biaya transportasi serta faktor penting produksi yang akan meningkat lebih tinggi biayanya secara global, sehingga bisa meningkatkan inflasi.
Selain itu, karena investor yang cenderung panik dalam periode kekacauan geopolitik atau masa perang, maka pasar global diperkirakan akan menukik tajam, serta mata uang pasar negara-negara berkembang kemungkinan akan terpukul, terutama di negara-negara pengimpor minyak.
Di luar faktor minyak, serangan terhadap Iran juga dapat mengacaukan rute perdagangan global dan meningkatkan biaya pengiriman di tingkat internasional, karena perusahaan pelayaran kemungkinan akan mengubah rute di sekitar Teluk Persia, sehingga memperlambat kinerja logistik global.
Untuk itu, sejumlah pihak yang terlibat dalam retorika ancaman serangan ke Iran juga harus menyadari konsekuensi dari langkah agresif tersebut.
Harus diingat bahwa dalam sebuah bentuk kepemimpinan yang bijaksana, langkah menghindari perang bukanlah kelemahan, tetapi merupakan strategi jangka panjang dalam rangka memilih dialog daripada kehancuran, serta membangun stabilitas yang selaras dengan kepentingan ekonomi global dan membawa manfaat bagi semua pihak di kawasan.
Copyright © ANTARA 2025