Pro Kontra Penangguhan Penahanan Mahasiswa ITB Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi

6 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal Polri tengah menangguhkan penahanan terhadap mahasiswa Institut Teknologi Bandung atau ITB berinisial SSS yang jadi tersangka karena mengunggah meme Presiden Prabowo Subianto berciuman dengan mantan presiden Joko Widodo. Penangguhan penahanan itu menuai pro kontra dari beragam kalangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut beragam tanggapan atas penangguhan penahanan mahasiswa ITB yang dijerat dengan pasal kesusilaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Amnesty International Indonesia sebut keputusan Polri keliru

Ketua Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut tindakan polisi yang menangguhkan penahanan mahasiswa ITB tidaklah tepat. "Penangguhan itu jelas masih mengandung pesan dan kesan bahwa perbuatan mahasiswi ITB tersebut salah secara hukum namun karena memicu kontroversi maka proses hukumnya ditangguhkan," ujar Usman saat dihubungi pada Senin, 12 Mei 2025.

Usman meyakini kritik lewat meme yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan itu bukan merupakan tindak pidana. Sehingga penangkapan terhadap mahasiswa perempuan dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) juga tak berlandasarkan hukum.

Dengan demikian, bila polisi menangguhkan proses hukum mahasiswa SSS, Usman menilai itu merupakan respons atas desakan publik saja. "Jadi itu lebih mencerminkan cara menutupi kesalahan," ujarnya. Menurut Usman, tindakan yang harus dilakukan oleh polisi ialah membebaskan mahasiswa SSS tanpa syarat apapun

YLBHI minta polisi hentikan penyelidikan kasus

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan polisi seharusnya menyudahi penyelidikan kasus tersebut. “Kami mendesak polisi menghentikan. Segera bikin SP3 alih-alih hanya penangguhan penahanan," ujar Isnur saat dihubungi pada Senin, 12 Mei 2025.

Menurut Isnur penahanan terhadap SSS merupakan bentuk kriminalisasi terhadap orang yang menyampaikan kritik yang dijerat dengan pasal UU ITE.

Isnur berujar meme yang menggambarkan Prabowo-Jokowi berciuman tidak memenuhi unsur kesusilaan yang ditetapkan, yaitu hubungan seksual, ketelanjangan, hingga menunjukkan alat kelamin. "Dalam konteks kritik, gambar ciuman antar kepala negara itu sangat banyak dilakukan oleh banyak aktivis di berbagai dunia," ucapnya.

Alasan lain desakan penghentian kasus itu adalah polisi dinilai tidak menggunakan pendekatan yang diatur di Surat Keputusan Bersama UU ITE yang disetujui oleh Polri, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Komunikasi dan Digital. 

"Tidak ada pemanggilan, tidak ada klarifikasi, langsung penangkapan dan penahanan. Jelas di sini kita melihat ada tindakan yang berlebihan, tindakan yang semena-mena dari Bareskrim Polri," kata Isnur. 

Ahli hukum pidana dukung penghentian penyelidikan kasus

Kalangan akademikus pun menilai polisi harus menyudahi penyelidikan terhadap SSS. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, meyakini penangguhan penahanan terhadap SSS tidak tepat. "Harus dibebaskan tanpa syarat. Prosedurnya bisa melalui SP3," katanya saat dihubungi pada Senin. 

Ia meyakini penahanan mahasiswa SSS yang dijerat dengan pasal kesusilaan UU ITE itu tidak memiliki alasan memadai. Herdiansyah juga mendorong penegak hukum untuk melihat meme Prabowo-Jokowi berciuman itu sebagai bentuk karya seni.

Mengingat SSS merupakan mahasiswa Fakultas Seni Fupa dan Desain (FSRD) ITB, Herdiansyah mendesak agar polisi menelisik intensi yang dimaksud SSS alih-alih mengenakan pasal kesusilaan yang dinilai melanggar UU ITE. 

"Ciuman Jokowi dan Prabowo dalam konteks karya seni adalah buah dari kebebasan berespresi dan niatnya memberikan pesan kepada publik bahwa ada keintiman yang berlebih dan tidak wajar," ucapnya memberi analisis.

Tak hanya Herdriansyah, Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) M. Fatahillah Akbar juga mempermasalahkan penggunaan UU ITE. Ia menyebut pasal kesusilaan dalam Pasal 27 ayat 1 juncto pasal 45 ayat 1 UU ITE tidak bisa digunakan untuk menjerat pengunggah meme Prabowo-Jokowi berciuman. 

Fatahilah menjelaskan dalam pasal itu diatur kriteria yang melanggar kesusilaan adalah ketelanjangan, alat kelamin atau aktivitas seksual. "Nah meme itu adalah bentuk kritik atau bukan sebuah aktivitas seksual. Makanya tidak bisa memenuhi," ujarnya kepada Tempo, Senin. 

Lebih lanjut, pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 105/PUU-XXII/202, Fatahilah menegaskan pasal pencemaran nama baik tidak bisa digunakan untuk mempidanakan pelontar kritik terhadap penyelenggara negara. 

Sehingga menurut Fatahilah polisi akan kesulitan menemukan pasal yang sesuai untuk mempidanakan mahasiswa ITB. "Kritik terhadap pejabat tidak bisa dijerat untuk menjaga iklim demokrasi. Jadi saya rasa sebaiknya dilakukan perbaikan demokrasi ketimbang pemidanaan," katanya.

DPR apresiasi Polri karena menangguhkan penahanan mahasiswa ITB

Anggota Komisi III DPR Hasbiallah Ilyas menilai penangguhan penahanan terhadap SSS sudah tepat. “Meskipun masih berstatus penangguhan, saya optimistis masalah ini akan selesai tanpa harus ke meja pengadilan,” kata Ilyas saat dihubungi pada Senin. Ia menyebut iktikad baik dari mahasiswa yang menyesali perbuatannya menjadi pendorong untuk penyelesaian kasus.

Dalam hal ini Ilyas menyebut penerapan terhadap putusan MK soal ujaran kebencian dan pencemaran nama baik masih menemui kendala di lapangan. Kendati begitu, ia mangatakan kritik kepada presiden harus terus dijalankan sebagai bagian dari perkembangan demokrasi.

Terhadap Polri, Ilyas menyebut lembaga itu lebih menunjukkan wajah lebih demokratis dan lebih komunikatif dalam menampung aspirasi masyarakat. “Saya optimistis Polri mampu terus memerankan fungsinya dengan baik sebagai aparatur eksekutif pemerintah namun tetap menjaga independensinya,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangs aitu.

Anggota Komisi III DPR dari fraksi partai Demokrat, Hinca Panjaitan, juga menyambut baik penangguhan penahanan mahasiswa ITB. Keputusan Polri itu ia anggap mencerminkan adanya kesadaran politik. “Bahwa legitimasi rezim bergantung pada kemampuannya merawat ruang kritik, bukan mensterilkannya,” kata Hinca kepada Tempo, Senin. Ia menyatakan sepakat dengan Polri, yang ke depannya tidak menggunakan pendekatan pidana dalam menangani kasus yang menimbulkan kegaduhan di ruang siber.

“Saya rasa Polri harus paham bahwa Pelajaran politik yang paling berharga bagi generasi muda bukanlah ketakutan pada seragam aparat. Melainkan kesadaran bahwa kebebasan berekspresi menuntut tanggung jawab etik yang setara,” katanya.

Sebelumnya Bareskrim Polri menangkap mahasiswa SSS di tempat kosnya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa, 6 Mei 2025. Polisi lalu menahannya sejak 7 Mei 2025 dengan menjerat dengan pasal kesusilaan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi (UU ITE). Polisi mengenakan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1). 

Bareskrim kemudian menangguhkan penahanan itu pada 11 Mei 2025 atas dasar permohonan dari SSS, orang tua, kuasa hukum, serta ITB. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman juga mengajukan diri menjadi penjamin agar SSS tidak lagi ditahan. 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan tersangka menyesal dan memiliki iktikad baik untuk tidak mengulangi tindakan serupa. 

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |