TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK mengagendakan sidang pemeriksaan pendahuluan atau sidang perdana gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI atau UU TNI yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Berdasarkan jadwal sidang yang tertera pada situs mkri.id, gugatan perkara yang teregister dengan nomor 81/PUU-XIII/2025 ini akan disidangkan Mahkamah pada Rabu, 14 Mei 2025, esok hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pukul 10.00 WIB," seperti dilihat Tempo pada situs mkri.id pada Selasa, 13 Mei 2025.
Pemeriksaan pendahuluan merupakan sidang pertama Mahkamah dalam rangka memeriksa kejelasan permohonan dan memberikan nasihat kepada pemohon terkait permohonan yang diajukan. Nantinya, sidang akan diikuti oleh panel hakim yang terdiri paling sedikit tiga dari sembilan hakim konstitusi.
Gugatan ini dimohonkan koalisi atas nama putri bungsu mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yaitu Inayah Wulandari Wahid; mantan Koordinator Kontras Fatiah Maulidiyanty; dan seorang mahasiswi Eva Nurcahyani.
Adapun, gugatan dimohonkan kepada Mahkamah pada Rabu, 7 Mei 2025. Koalisi ini terdiri dari lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu kemiliteran seperti YLBHI, Kontras, dan Imparsial.
Perwakilan Koalisi Hussein Ahmad mengatakan, UU TNI yang disahkan DPR pada 20 Maret lalu menghidupkan kembali dwifungsi militer, misalnya pada Pasal 7 yang mengatur penambahan tugas prajurit pada Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Menurut dia Koalisi tak memasalahkan prajurit aktif masuk ke ranah sipil, tetapi pelibatan TNI dalam ruang sipil harus diatur dengan baik agar tak meregresi supremasi sipil sebagaimana amanat Reformasi.
Kuasa hukum Koalisi Viola Reininda mengatakan, revisi UU TNI melanggar janji politik dan hukum dari Reformasi, yaitu menghapus dwifungsi militer. Padahal, kata dia, Reformasi mengamanatkan militer tidak ikut campur dalam politik. "Sehingga, militer bisa lebih profesional," ujar Viola.
Manajer Program Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini menyebutkan, pembahasan revisi UU TNI melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan dengan baik.
Dalam proses pembahasannya, kata dia, surat presiden membahas revisi UU TNI keluar lebih dahulu sebelum didaftarkan dalam Program legislasi nasional atau Prolegnas 2025.
Pembahasan revisi UU TNI juga tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Masyarakat tidak dilibatkan memberikan masukan. Bahkan, pembahasan dilakukan secara tertutup. "Rapat justru dilakukan dalam hotel," katanya
Sedangkan pemohon gugatan Fatiah Maulidiyanti mengatakan, UU TNI melanggar tuntutan Reformasi untuk menghapus dwifungsi. Dia khawatir, masuknya prajurit aktif ke ranah sipil akan membahayakan supremasi sipil saat ini. Misalnya, pelibatan militer dalam proyek strategis nasional dan konflik Papua.
"Kami takut bila terus dilaksanakan, situasi akan semakin buruk," kata dia.
Novali Panji Nugroho berkontribusi dalam penulisan artikel ini