Petugas Keamanan UGM Larang Mahasiswa Kemah di Depan Gedung Rektorat

3 hours ago 3

TEMPO.CO, Yogyakarta - Petugas Keamanan, Ketertiban, dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melarang Aliansi Mahasiswa UGM berkemah di depan Balairung atau Gedung Rektorat UGM pada Rabu, 14 Mei 2025. Mahasiswa berencana berkemah untuk memprotes karut marutnya penanganan kekerasan seksual dan adanya kekhawatiran masuknya militerisme di kampus UGM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas keamanan meminta agar mahasiswa tak berkemah di depan Balairung dengan alasan tempat tersebut harus steril dan sedang banyak kegiatan. “Petugas meminta kami berkemah di depan Grha Sabha Pramana atau GSP. Kami tidak mau karena rektorat simbol kekuasaan yang kami protes,” kata perwakilan aliansi, Halimah, kepada Tempo di Balairung UGM.

Terjadi tarik menarik berbagai properti tenda seperti besi, tali, dan terpal tenda antara mahasiswa dan petugas keamanan pada sore ini. Pada saat yang sama, mahasiswa juga menggelar diskusi yang mengundang dua dosen UGM yang bergabung dalam Serikat Pekerja Universitas Gadjah Mada atau Sejagad.

Sebagian mahasiswa mengalami luka ringan di tangannya. Puluhan mahasiswa mempertahankan properti tersebut dan tetap membawanya ke depan Balairung. Mahasiswa tetap memasang tenda berukuran besar di depan Balairung pada malam hari di tengah guyuran hujan deras.

Aliansi yang beranggotakan mahasiswa dari berbagai fakultas menuntut rektorat untuk berpihak kepada rakyat dan mahasiswa dengan cara menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga negara dan menolak militerisme di kampus.

Halimah bukan nama sebenarnya mahasiswa tersebut. Anggota Aliansi Mahasiswa UGM tersebut meminta nama aslinya tidak menulis karena khawatir terhadap tekanan pejabat kampus dan intel polisi atas kritik yang mereka lontarkan.

Aliansi, menurut Halimah, juga memprotes relokasi anggaran pendidikan oleh pemerintah pusat dan mendesak rektorat mewujudkan ruang publik inklusif untuk seluruh mahasiswa dari berbagai latar belakang. Ihwal kekerasan seksual, aliansi menuntut rektorat menindak tegas pelaku kekerasan seksual di lingkungan UGM.

“Kondisi politik di kampus yang berakar dari kebijakan pemerintah pusat dan kasus pelecehan seksual yang jadi fokus protes,” kata Halimah saat dihubungi pada Rabu, 14 Mei 2025.

Aksi mendirikan tenda sebagai protes yang damai ini kali kedua mereka lakukan. Mereka akan mengisi demonstrasi dengan berbagai orasi. Setahun yang lalu pada bulan yang sama, mereka mendirikan tenda untuk memprotes iuran pengembangan institusi (IPI) atau uang pangkal.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni Universitas Gadjah Mada Arie Sujito dan Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius belum merespon alasan UGM melarang mahasiswa berkemah di depan Balairung. Tempo juga mengirimkan foto tarik menarik properti kemah antar-petugas keamanan dan mahasiswa untuk mengkonfirmasi alasan rektorat melarang mahasiswa memasang tenda di depan gedung rektorat. 

Sore hari sebelum aksi mahasiswa, Wakil Rektor Arie Sujito menyebutkan aksi kemah Aliansi Mahasiswa di depan gedung rektorat sebagai sikap kritis mahasiswa. Arie menyebutkan UGM berkomitmen menciptakan kampus yang aman dan nyaman dalam pembelajaran di kampus. UGM berupaya menangani kekerasan seksual sesuai koridor aturan yang transparan, akuntabel, memegang prinsip keadilan, dan humanis.

Ihwal situasi politik nasional, termasuk kekhawatiran munculnya gejala remiliterisasi, kata dia, merupakan hal yang wajar. “Itu bagian dari sikap kritis mahasiswa dalam merespon masalah dengan perspektif mahasiswa,” kata Arie dihubungi, Rabu, 14 Mei 2025.

Menurut dia, semua kalangan, termasuk mahasiswa sudah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap situasi demokrasi agar tidak merosot. Apalagi goncangan ekonomi global dan risiko krisis ekonomi politik nasional juga bisa menimpa rakyat.

Arie mencontohkan banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja dan kemiskinan yang semakin terasa. Situasi itu berdampak terhadap kelompok rentan. “Pemerintah saya rasa perlu memberi perhatian serius soal itu,” kata Arie.

UGM, kata Arie saat ini tidak memiliki kerja sama atau MoU dengan Tentara Nasional Indonesia seperti di Universitas Udayana yang menimbulkan penolakan keras mahasiswa. UGM saat ini sedang mengurus kerja sama dengan Kementerian Transmigrasi ihwal kuliah kerja nyata mahasiswa di daerah pinggiran.

“Saya hari ini di Jakarta untuk mengurus MoU itu sehingga tidak bisa menemui mahasiswa yang kemah,” kata Arie.

Tentang militerisme, UGM belum lama ini menggelar diskusi bertajuk “Kembalinya Sejarah Berseragam: Menggugat Negara Kemiliteran dan Kepolisian Republik Indonesia” di Auditorium Mandiri Fisipol UGM pada Rabu, 30 April 2025.

Berdasarkan informasi yang diunggah UGM, diskusi tersebut merupakan hasil kerja sama Departemen Sosiologi UGM, Departemen Sosiologi Universitas Indonesia (UI), dan Social Research Center (SOREC) untuk menggali isu menguatnya peran militer dan kepolisian di ranah publik dan pemerintahan sipil.

Arie Sujito yang juga Dosen Departemen Sosiologi UGM datang dalam diskusi tersebut. Dia mengatakan perjalanan reformasi Indonesia telah menghapus dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI dan melarang militer ikut serta dalam agenda politik hingga bisnis.

“Larangan TNI ini dan Polri untuk berbisnis karena sering terjadi abuse of power karena berdampak pada kemerosotan legitimasi institusi organisasi TNI dan Polri. Itu tidak boleh dilupakan,” katanya.

Menurut Arie, memburuknya demokrasi pascareformasi terjadi karena reformasi pada sektor pertahanan dan keamanan secara parsial masih sulit diwujudkan, bahkan mengalami kondisi stagnan. “Tak hanya itu, pengaruh informal yang terus ada dan juga pengawasan sipil yang lemah pun menjadi faktor penyebabnya,” ujarnya.

Arie menyatakan bila demokrasi memerlukan peran serta dari seluruh pihak untuk berpartisipasi di dalamnya sehingga peristiwa masa lampau tidak perlu diulang kembali agar dapat terselamatkan. Untuk itu, Arie berharap bila akademisi dan aktivis dapat senantiasa berpikir, berbicara, dan bertindak dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia.

“Ini pekerjaan rumah bagi siapa pun masyarakat sipil di Indonesia. Kita perlu jernih berpikir, tindakan aktif,  emansipasi sosial, membangun konsolidasi politik yang solid, memperbaiki demokrasi Indonesia, agar tidak makin hancur. Sebaliknya wujudkan kembali demokrasi yang kuat dan bermakna,” kata dia.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |