London (ANTARA) - Pasar tenaga kerja Inggris terus menunjukkan tanda-tanda pelemahan yang jelas, dengan tingkat pengangguran yang meningkat dan perekrutan yang stagnan di tengah kenaikan biaya tenaga kerja serta tekanan ekonomi eksternal.
Para ahli telah memperingatkan bahwa ketidakpastian akibat tarif dari Amerika Serikat (AS) semakin memperburuk situasi.
Data yang dirilis oleh Kantor Statistik Nasional (Office for National Statistics/ONS) Inggris pada Kamis (17/7) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di negara tersebut untuk kelompok usia 16 tahun ke atas mencapai 4,7 persen selama periode Maret-Mei 2025.
Angka ini menandai peningkatan yang signifikan baik secara tahunan (year-on-year/yoy) maupun kuartalan (quarter-on-quarter), sehingga mendorong tingkat pengangguran ke level tertinggi dalam hampir empat tahun terakhir.
Data ONS juga menunjukkan bahwa jumlah lowongan pekerjaan meningkat ke rekor tertinggi baru, mengindikasikan bahwa meski jumlah pengangguran terus meningkat, para pelaku usaha masih kesulitan untuk mengisi posisi-posisi yang tersedia.
"Kenaikan pajak oleh pemerintah, peningkatan upah minimum, dan perang dagang AS berdampak terhadap pasar tenaga kerja," lapor Financial Times.
David Bharier, kepala penelitian di Kamar Dagang Inggris (British Chambers of Commerce/BCC), mengatakan kepada Xinhua bahwa lonjakan tajam dalam iuran asuransi nasional dan upah minimum nasional memberikan dampak signifikan terhadap data ketenagakerjaan terbaru.
"Penelitian BCC menunjukkan bahwa proses perekrutan tetap menjadi tantangan, dan para pelaku usaha menyebutkan biaya tenaga kerja sebagai tekanan terbesar," papar Bharier.
"Tekanan keuangan yang terus meningkat ini, ditambah dengan kelangkaan keterampilan yang meluas, tetap menjadi tantangan besar bagi kalangan usaha, yang menimbulkan risiko besar terhadap investasi dan produktivitas," tambahnya.

Menurut Bharier, proyeksi ekonomi terbaru BCC menunjukkan bahwa perekrutan akan tetap lesu dan tingkat pengangguran diperkirakan akan tetap relatif statis. "Saat ini, kami memperkirakan tingkat pengangguran sebesar 4,6 persen pada akhir 2027," ujarnya.
Tina McKenzie, kepala kebijakan Federasi Usaha Kecil (Federation of Small Businesses/FSB), menekankan bahwa tren terbaru itu menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan bagi sektor usaha kecil di Inggris.
"Hasil penelitian terbaru FSB menunjukkan bahwa pada kuartal kedua (Q2) 2025, sebanyak 20 persen usaha kecil melakukan pengurangan karyawan, dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan yang melakukan penambahan jumlah karyawan," paparnya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah 15 tahun Indeks Usaha Kecil kuartalan FSB, lebih banyak usaha kecil yang diprediksi akan menyusut atau tutup dalam 12 bulan ke depan dibandingkan dengan yang diperkirakan akan berkembang.
"Hal itu lebih dari sekadar mengkhawatirkan bagi perekonomian dan komunitas di seluruh Inggris di mana usaha-usaha kecil ini beroperasi," katanya, menjelaskan bahwa usaha kecil saat ini menyediakan lebih dari 16 juta lapangan kerja di Inggris, yang merupakan lebih dari setengah dari total lapangan pekerjaan di sektor swasta.
Para ahli juga meyakini bahwa ancaman tarif AS yang terus berlanjut turut berkontribusi terhadap data negatif dan akan terus memengaruhi pasar tenaga kerja serta perekonomian Inggris dalam jangka panjang, meskipun ada perjanjian dagang yang berlaku.
William Bain, kepala kebijakan di BCC, mengatakan survei mereka pada April menunjukkan bahwa 62 persen perusahaan yang mengekspor ke AS telah terdampak oleh kenaikan biaya dan ketidakseimbangan antara likuiditas jual dan beli akibat tarif AS yang lebih tinggi.
Sentimen ini dinilai sejalan dengan meningkatnya jumlah angka pengangguran yang dilaporkan oleh ONS.
David Bailey, profesor ekonomi bisnis di Universitas Birmingham, menyebutkan bahwa tarif yang diberlakukan AS mulai menghantam sektor-sektor yang dipacu ekspor di Inggris, yang pada akhirnya turut berdampak terhadap kondisi pasar tenaga kerja nasional.

"Meskipun Inggris telah mencapai kesepakatan terkait tarif dengan Trump, tarif tersebut tetap akan naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Memang tidak mencapai 25 persen, tetapi kenaikan ini tetap akan memengaruhi ekspor dari Inggris dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi," ujar Bailey.
Lebih lanjut dia menambahkan bahwa ketidakpastian yang dihadapi perusahaan-perusahaan Inggris, ditambah dengan "kesalahan" pemerintah dalam menaikkan iuran asuransi nasional bersamaan dengan kenaikan upah minimum, telah berkontribusi terhadap kondisi ketenagakerjaan yang lesu saat ini.
Pewarta: Xinhua
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.