Gelombong anti-imigran warnai London hingga menyentuh Australia

1 day ago 6

Jakarta (ANTARA) - Dunia kembali diwarnai oleh sejumlah aksi unjuk rasa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, kali ini berfokus kepada isu imigran.

London menjadi salah satunya dengan lebih dari 110.000 demonstran turun ke jalan pada Sabtu (13/9) menyuarakan agar pemerintah Inggris memperketat aturan imigrasi. Aksi tersebut berakhir rusuh karena aparat kepolisian menyerbu pendemo untuk segera membubarkan diri.

Begitu di Jepang. Ribuan warga di Osaka, baru-baru ini, juga meminta agar pemerintah menutup keran bagi para imigran, terutama yang berasal dari Afrika.

Berikut ini sejumlah aksi unjuk rasa menentang kebijakan migrasi di sejumlah negara yang terjadi baru-baru ini.

Pemimpin aksi London klaim demo diikuti jutaan, bukan ratusan ribu

Aktivis sayap kanan Inggris Tommy Robinson memimpin aksi unjuk rasa bertajuk Unite the Kingdom di Russell Square, London, Sabtu pagi.

Membawa bendera nasional Inggris St George serta bendera Union Jack, demonstran tidak hanya mengkritik kebijakan migrasi pemerintah serta apa yang mereka anggap sebagai pembatasan terhadap kebebasan berbicara.

Robinson mengklaim bahwa lebih dari tiga juta orang memadati pusat kota London dalam patriotisme yang belum terlihat sebelumnya. Namun, Kepolisian Metropolitan melaporkan bahwa jumlah demonstran di jalanan London sekitar 110.000 orang.

Isu imigrasi kini menjadi topik politik paling dominan di Inggris. Warga menilai Pemerintah Keir Starmer terlalu lunak terhadap imigrasi sehingga terjadi lonjakan jumlah migran, terutama yang datang melalui perahu kecil di Selat Inggris.

Data dari pemerintah Inggris mencatat 44.000 kedatangan ilegal per Maret 2024 melebihi jumlah 2023 yang sebanyak 36.000 lebih imigran. Kenaikan drastis migrasi tersebut dijadikan alasan bagi demonstran sebagai bukti bahwa kebijakan pemerintah tidak mampu mengendalikan perbatasan.

Mengutip hasil sensus Kantor Statistik Nasional, meningkatnya kepekaan terhadap isu imigrasi disebabkan oleh pandangan bahwa kedatangan migran memberikan beban tambahan pada layanan kesehatan (NHS), perumahan, dan sektor pendidikan, sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait kualitas layanan yang diterima oleh warga lokal.

Sebagian masyarakat merasa bahwa imigrasn dalam jumlah besar dapat mengancam identitas budaya dan sosial Inggris. Perjuangan merebut budaya yang dinilai tergerus akibat kehadiran imigran itu direpresentasikan melalui bendera nasional yang dibawa pendemo.

Sementara itu, sekitar 5.000 demonstran mendukung kebijakan Starmer melalui aksi unjuk rasa Stand Up To Racism. Mereka membawa slogan yang bertulisan "Pengungsi diterima" dan "Hentikan ekstrem kanan".

Menurut pernyataan kepolisian, lebih dari 1.600 petugas telah dikerahkan sebagai bagian dari keseluruhan operasi kepolisian ketertiban umum, termasuk 500 petugas yang didatangkan dari kepolisian lain. Sekitar 1.000 petugas bertanggung jawab untuk memastikan dua demonstrasi di London pusat berlangsung dengan aman.

Kendati mengerahkan ribuan personil, aksi unjuk rasa berakhir dengan kekerasan saat petugas berupaya membubarkan massa. Kepolisan London menuturkan bahwa petugas diserang dengan tendangan dan pukulan. Botol, suar, dan benda-benda lainnya dilemparkan. Sekitar 25 orang ditahan dan 26 petugas kepolisian terluka.

Massa Jepang bergerak lewat slogan Japanese First

Protes anti-imigrasi sudah terlebih dahulu terjadi di Osaka. Rekaman video protes yang beredar di media sosial pada 30 Oktober menunjukkan ribuan orang Jepang yang membawa bendera dan spanduk bertuliskan “Jangan jadikan Jepang Afrika!”.

Senada dengan Inggris, peningkatan pekerja asing memicu keresahan publik. Sentimen semakin menguat setelah beredarnya informasi minggu lalu bahwa Pemerintah Jepang mendukung imigrasi dari Afrika.

Sentimen terhadap pekerja asing, tidak meletus begitu saja. Melonjaknya jumlah wisatawan mancanegara ke Jepang sementara populasinya menyusut, negara tersebut menyaksikan kebangkitan partai-partai populis sayap kanan dengan posisi ekstremis terkait kontrol imigrasi sebagai landasan utama ideologi konservatif mereka.

Di media sosial, kelompok ultranasionalis Jepang telah lama menyerang warga asing dengan ujaran kebencian. Di kota-kota Jepang, kelompok-kelompok ultranasionalis menyebarkan ujaran kebencian melalui pengeras suara.

Kini, partai-partai politik baru membawa pesan serupa ke politik arus utama dan mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat Liberal (LDP) konservatif yang telah lama mendominasi panggung politik.

Sanseito, sebuah partai populis sayap kanan ekstrem, mengejutkan dunia politik Jepang bulan lalu dengan meraih 15 kursi dalam pemilu Majelis Tinggi Juli 2022, menjadikannya peraih suara terbanyak ketiga dan menghancurkan anggapan lama bahwa Jepang modern kebal terhadap populisme.

Platform Japanese First atau “Utamakan Jepang” yang diusung partai ini mencakup pengendalian imigrasi yang lebih ketat, penghentian tunjangan kesejahteraan bagi warga asing, bahkan usulan untuk “memeriksa kesetiaan” para pendatang.

Sanseito berhasil membingkai isu imigrasi sebagai bentuk “invasi diam-diam,” meskipun Jepang merupakan salah satu negara maju dengan proporsi penduduk asing terendah di dunia.

Pada tahun 2024, jumlah penduduk asing di Jepang meningkat lebih dari 10 persen menjadi 3,76 juta—rekor baru untuk tahun ketiga berturut-turut—dan kini mencakup lebih dari tiga persen dari total populasi.

Pemerintah Jepang pada 26 Agustus, sebelum protes di Osaka meletus, telah membantah bahwa mereka sedang mempromosikan imigrasi dari Afrika,

Setelah Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) pada minggu sebelumnya menetapkan empat kota di Jepang untuk memperkuat hubungan dengan benua Afrika, pemerintah kota setempat dibanjiri panggilan dan email protes, termasuk tuduhan bahwa peningkatan jumlah migran dari Afrika akan memperburuk ketertiban umum.

Kementerian Luar Negeri kemudian menyatakan bahwa Tokyo tidak memiliki rencana untuk mengambil langkah-langkah guna mempromosikan penerimaan imigran atau mengeluarkan visa khusus bagi warga negara Afrika.

“Telah beredar laporan dan pernyataan, baik di dalam maupun luar negeri, yang berisi informasi yang tidak sesuai dengan fakta,” kata kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan, sambil menekankan bahwa JICA hanya berencana untuk mempromosikan pertukaran melalui berbagai kegiatan.

Australia tuntut penghentian "imigrasi massal"

Gelombang protes anti-imigrasi juga menyentuh Melbourne dan Sydney, Australia pada 31 Agustus.

Tak jauh berbeda dengan Jepang — di mana gerakan anti-imigrasi dipimpin oleh kelompok partai, kelompok sayap kanan ekstrem Australia memimpin aksi yang menuntut penghentian apa yang mereka sebut imigrasi massal.

Sekitar 5.000 orang beraksi di Melbourne membawa membawa bendera Australia dalam aksi yang mereka beri nama unjuk rasa anti-imigran “March for Australia”.

Anggota jaringan neo-Nazi bernama National Socialist Network turut berpidato dalam beberapa aksi, menggunakan slogan seperti Hail White Australia atau “Hidup Australia Putih”.

“Migrasi massal telah merusak ikatan yang menyatukan komunitas kita,” kata kelompok tersebut melalui webnya.

Sehari sebelum demo, kelompok itu juga menulis di platform X bahwa unjuk rasa itu bertujuan untuk melakukan apa yang tidak pernah berani dilakukan oleh para politisi arus utama: menuntut diakhirinya imigrasi massal.

Menanggapi tuntutan demo, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menyatakan keberpihakannya kepada para pendatang dengan mengatakan bahwa imigrasi telah membawa “banyak manfaat” bagi negara itu.

“Selalu ada sekelompok orang yang menggunakan isu imigrasi sebagai platform politik. Tapi migrasi, tentu saja, telah membawa banyak manfaat bagi negara kita,” kata Albanese.

Albanese menilai demonstran menyuarakan kekhawatiran yang sah, namun ia menekankan bahwa kaum neo-Nazi diberi panggung. Menurutnya, “nada” pada unjuk rasa tersebut mengandung penuh kebencian—yang tidak mencerminkan pandangan mayoritas warga Australia,

“Gagasan bahwa seorang neo-Nazi secara terbuka bisa menyampaikan pidato di tangga Parlemen Victoria adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Australia,” tambahnya.

Petinggi Australia itu kembali menegaskan bahwa Australia adalah negara modern yang telah diuntungkan oleh multikulturalismenya, di mana mayoritas penduduk hidup rukun dengan berbagai etnis, agama, dan latar belakang yang berbeda, dan Australia diperkaya oleh keberagaman tersebut.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |