Beirut (ANTARA) - Sebuah kamar sempit tanpa tempat tidur, dengan dinding berjamur dan plafon yang terus meneteskan air secara perlahan. Seperti itulah kondisi tempat yang menjadi rumah Ramadan Abdallah al Ahmad dan keempat anaknya.
Saya melangkah dengan hati-hati, berjinjit menghindari genangan air dari atap yang bocor dan kasur tipis yang digelar di lantai tempat Ahmad dan anak-anaknya biasa tidur, sebelum akhirnya duduk di sebuah kursi di pojok ruangan.
Ahmad bersandar pada kosen pintu, rambutnya yang mulai memutih tampak lembap dalam cahaya temaram, wajahnya dipenuhi garis-garis yang dalam akibat 11 tahun hidup sebagai pengungsi.
"Ini adalah kali kedua saya merasa dunia benar-benar meninggalkan saya," gumamnya, matanya tertuju pada satu-satunya perangkat listrik milik keluarga itu, yakni sebuah generator kecil di luar pintu, meletup dan mendesis karena arus listrik yang tak stabil.
Sebelas tahun lalu, ketika Suriah terjerumus dalam perang saudara, Ahmad melarikan diri. Dia mengembara bersama keluarganya melewati negara yang porak-poranda sebelum akhirnya tiba di Lebanon, bersama lebih dari 1 juta warga Suriah lainnya.
Di desa terpencil ini, memulai kembali hidup di pengasingan berarti membangun dari nol. Meski penuh tantangan, perlahan-lahan terbentuk juga jaring pengaman yang rapuh.
Para tetangga yang berasal dari Lebanon, yang juga sedang berjuang menghadapi krisis keuangan mereka sendiri, menemukan cara untuk menawarkan pekerjaan dan upah yang kecil, sementara organisasi internasional seperti Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) menyediakan layanan kesehatan bagi para pengungsi.
"Ketika kami berpikir bahwa kehidupan akhirnya mulai stabil, hambatan itu datang," kenang Ahmad sambil merentangkan tangannya dengan pasrah. "Kami tiba-tiba diberi tahu bahwa bantuan yang kami andalkan untuk bertahan hidup akan segera dihentikan."
Karena saya tinggal di Lebanon, saya memahami betapa pentingnya bantuan dari pihak luar bagi para pengungsi ini. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki sumber penghasilan tetap.
Bertahun-tahun hidup mengungsi telah menguras semua tabungan yang mereka miliki. Rumah mereka hanyalah kamar-kamar sempit di permukiman kumuh kota, atau tenda-tenda darurat di ladang-ladang pedesaan.
Bagi mereka, bantuan dari organisasi internasional, terutama UNHCR, adalah satu-satunya jaminan untuk bisa bertahan hidup

"Sembilan dari 10 pengungsi Suriah di Lebanon membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka," kata juru bicara UNHCR Lisa Abou Khaled kepada saya.
Namun, sejak awal tahun ini, seiring Amerika Serikat (AS), dengan slogan "membuat bantuan luar negeri hebat kembali" (making foreign aid great again), membekukan sebagian besar program bantuannya, pendanaan UNHCR mengalami pemangkasan drastis.
Hingga pertengahan 2025, UNHCR baru mengumpulkan 22 persen dari total target pendanaannya untuk tahun ini.
"Karena pemangkasan dana yang signifikan, UNHCR terpaksa sepenuhnya menghentikan dukungan biaya rawat inap bagi para pengungsi per akhir 2025," ujar Khaled. "Kami sangat sedih harus mengambil keputusan sulit ini. Namun, tanpa pendanaan yang berkelanjutan dan memadai, kami tidak punya pilihan lain."
UNHCR bukanlah organisasi internasional pertama yang merasakan dampak dari pemangkasan bantuan luar negeri oleh AS dan negara-negara Barat lainnya.
Sejak 2024, AS dan sekutunya telah membekukan pendanaan untuk Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina di Kawasan Timur Tengah (UNRWA), lembaga PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina.
Bagi warga sipil di Gaza, yang saat ini terus menghadapi serangan Israel, penghentian dukungan dari lembaga ini berarti kehilangan satu-satunya harapan kecil untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Tentu saja, tidak ada satu pun pihak, termasuk pengungsi Suriah maupun warga Gaza, yang boleh menganggap bantuan luar negeri sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya diterima. Namun, ketika negara terkuat di dunia memperlakukan bantuan kepada mereka yang paling rentan di kawasan ini sebagai beban atau hambatan dalam jalannya menuju "kejayaan," muncul satu pertanyaan besar, yaitu apakah negara itu pernah berhenti sejenak untuk mempertimbangkan perannya sendiri dalam memperparah krisis Timur Tengah saat ini, dalam situasi Ahmad sebagai pengungsi, dan dalam banyaknya orang di kawasan itu yang kehilangan tempat tinggal dan rasa aman?
"Di balik kekuatan besar, ada tanggung jawab yang besar pula." Dalam film "Spider-Man" produksi Marvel, Paman Ben mengucapkan kalimat ini kepada Peter Parker, mendorongnya untuk menolong mereka yang lemah, sebuah adegan yang telah membentuk imajinasi banyak orang di seluruh dunia tentang idealisme AS.
Namun, kenyataan di luar layar bioskop sangatlah berbeda. Negara yang dijadikan panutan itu kini tampak lebih mirip dengan karakter Green Goblin yang egois, alih-alih Spider-Man.
Saat percakapan kami berakhir, senja telah tiba. Ahmad mengantar saya keluar dari desa kecil itu. "Saya tidak mengerti kenapa hidup harus seberat ini," katanya. "Apa salah kami sampai harus hidup seperti ini?"
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.