Mengapa Amerika Serikat selalu terlibat dalam konflik militer dunia

2 months ago 42

Jakarta (ANTARA) - Keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam berbagai konflik bersenjata di dunia kerap menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa negara adidaya tersebut seolah tak pernah absen dalam setiap gejolak besar yang terjadi, baik di Timur Tengah maupun wilayah lainnya?

Pertanyaan ini kembali mencuat setelah serangan militer AS terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/6) malam di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Serangan tersebut diklaim oleh Presiden Donald Trump sebagai upaya untuk membatasi kemampuan nuklir Iran dan memaksa negara itu mengakhiri “perang 12 hari” dengan Israel. Meski AS telah menginformasikan bahwa serangan hanya dilakukan sekali dan bukan awal dari perang besar, banyak pihak melihat keterlibatan tersebut sebagai bagian dari pola intervensi militer yang sudah berlangsung lama.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, AS tercatat hampir selalu terlibat dalam konflik bersenjata di berbagai belahan dunia. Mulai dari Korea, Vietnam, Irak, Afghanistan, hingga kini Iran dan Ukraina. Namun, tidak satu pun dari konflik tersebut menghasilkan kemenangan yang jelas dan tuntas bagi AS, kendati negara itu memiliki angkatan bersenjata paling canggih dan terlatih di dunia.

Sebuah diskusi di Akademi Militer AS West Point yang dilaporkan oleh Harper’s Magazine mengungkapkan pandangan para veteran militer atas kecenderungan AS yang terus menerus berperang. Beberapa peserta menyebutkan bahwa sistem militer sukarela, kepentingan politik dalam mendukung pasukan, dan ketidaktahuan publik terhadap anggaran pertahanan turut berperan dalam siklus perang yang berulang.

Baca juga: Aktivis AS sebut NATO pemicu utama konflik global

Veteran Danny Sjursen menyebut bahwa jika militer AS masih berbasis wajib militer seperti saat Perang Vietnam, maka akan sulit bagi pemerintah untuk terus memperpanjang perang. Sementara itu, Gregory Daddis menambahkan bahwa bagi sebagian anak muda dari kelas ekonomi menengah ke bawah, menjadi tentara merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh pengakuan sosial dan stabilitas ekonomi.

Namun alasan yang lebih mendalam dari keterlibatan AS dalam banyak perang adalah kekuatan industri militer itu sendiri. Sejumlah analis menilai bahwa kompleks industri pertahanan AS, yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar produsen senjata, memiliki peran besar dalam mendorong kebijakan luar negeri yang agresif.

Pemerintah AS mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar 886 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2025—angka yang empat kali lipat lebih besar dibandingkan Tiongkok dan 10 kali lipat dari Rusia. Anggaran ini sebagian besar dinikmati oleh perusahaan seperti Lockheed Martin, Boeing, Raytheon, dan General Dynamics.

Perusahaan-perusahaan ini disebut-sebut mendapatkan keuntungan besar dari perang dan instabilitas global. Mereka memproduksi alat perang yang dirancang untuk digunakan, bukan disimpan. Dengan demikian, perdamaian global bukanlah hal yang menguntungkan bagi industri tersebut.

Baca juga: Iran ingin perkuat hubungan dengan Qatar usai serangan ke pangkalan AS

Dalam pidatonya tahun 1963, Presiden Dwight D. Eisenhower yang juga mantan jenderal Perang Dunia II pernah memperingatkan, "Setiap senjata yang dibuat, setiap kapal perang yang diluncurkan, dan setiap roket yang ditembakkan adalah pencurian terhadap mereka yang lapar dan tidak diberi makan."

Buku The United States of War karya David Vine juga menunjukkan bahwa sejak masa kolonial, AS telah menempuh jalur ekspansi militer yang konsisten. Dengan lebih dari 800 pangkalan militer di lebih dari 70 negara, struktur ini menciptakan kondisi ideal bagi intervensi militer AS di mana pun dan kapan pun.

Vine berargumen bahwa militerisme telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga AS dan turut membentuk budaya politik negeri tersebut, termasuk dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.

Keterlibatan AS dalam konflik global tidak semata-mata dipicu oleh kepentingan moral atau keamanan internasional, melainkan merupakan perpaduan dari faktor ekonomi, politik, dan militer yang sangat kompleks. Dalam sistem yang terus menggulirkan roda perang demi keuntungan segelintir pihak, dunia pun tetap berada dalam bayang-bayang konflik tanpa akhir.

Sebagaimana diungkapkan dalam peringatan Eisenhower lebih dari 60 tahun lalu, "Di bawah bayang-bayang ancaman perang, umat manusia tergantung pada salib besi."

Baca juga: Iran siap atasi perselisihan dengan AS dalam kerangka internasional

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |