Jakarta (ANTARA) - Sudah hampir 11 dekade atau satu abad lebih, sejak pengesahan Deklarasi Balfour 1917 hingga kini, konflik antara Palestina dan Israel tak kunjung selesai.
Deklarasi Balfour, janji Inggris untuk mendukung pendirian "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di negara Palestina, menciptakan nakba (bencana) bagi bangsa Palestina pada 1948 dan 1967.
Ratusan ribu orang Palestina terpaksa angkat kaki dari tanah air mereka di kawasan Timur Tengah (Israel sekarang), mengungsi dan menjadi diaspora tanpa kejelasan dapat pulang kembali, hingga kini.
Kendati sudah ditengahi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai upaya internasional guna mencapai perdamaian melalui solusi dua negara, konflik Palestina dan Israel nampaknya masih akan melalui jalan berliku.
Bahkan, pernyataan dan kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyebabkan pendekatan solusi dua negara itu seolah-olah "ambyar".
Saat ini, dunia tengah menyaksikan "pembalikan" keputusan PBB, yang sejak 1947 mendorong solusi dua negara terhadap Palestina dan Israel, agar hidup berdampingan di kawasan Timur Tengah, menjadi "sesuatu yang lain".
Pernyataan Trump justru menantang kesabaran organisasi pemersatu negara di seluruh dunia itu, masyarakat dan kelompok internasional, serta negara-negara Arab.
Awal Februari 2025, Trump mengusulkan agar Israel menyerahkan Jalur Gaza kepada AS setelah pertempuran usai, dengan tujuan mengembangkan wilayah tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah".
Ia menyebut Gaza sebagai "situs kehancuran" dan menyarankan agar warga Palestina pindah ke negara-negara tetangga seperti Yordania atau Mesir, bahkan Arab Saudi.
Trump juga tidak menutup kemungkinan mengirim pasukan AS ke Gaza, dan berjanji untuk mengunjungi wilayah tersebut secara langsung.
Trump mengingatkan kembali masyarakat internasional akan sikap dan kebijakannya terhadap solusi dua negara pada periode pertama menjabat (2017-2020), yakni dukungan yang tidak konsisten.
Baca juga: Trump bilang akan bersikap "sangat tegas" soal Gaza
Baca juga: Mayoritas warga AS menentang rencana Trump kuasai Gaza
Dukungan yang tidak konsisten
Pada September 2017, Trump pertama kali menyatakan bahwa dirinya "senang" dengan solusi dua negara, tetapi juga mengatakan bahwa ia mendukung "apa pun yang disetujui oleh kedua belah pihak" (Palestina dan Israel).
Pada September 2018, dalam Sidang Umum PBB, Trump menyatakan secara lebih eksplisit bahwa dirinya mendukung solusi dua negara sebagai "solusi terbaik." Namun, tidak ada langkah konkret untuk mewujudkannya.
Di sisi lain, pemerintahan Trump membuat kebijakan yang justru merugikan Palestina, seperti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel (2017) dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem (2018).
Dalam rencana Damai "Deal of the Century/Kesepakatan Abad ini" pada Januari 2020, Trump meluncurkan rencana perdamaian yang disebut "Peace to Prosperity" atau "Deal of the Century" bersama Pemimpin Otorita Israel Benjamin Netanyahu.
Rencana itu mencakup proposal solusi dua negara, tapi dengan syarat yang sangat menguntungkan Israel, semisal, Palestina akan memperoleh negara, tapi dengan wilayah yang terpisah-pisah dan tidak memiliki kontrol penuh atas perbatasan, keamanan, serta sumber daya air.
Yerusalem tetap menjadi ibu kota Israel, sementara Palestina hanya mendapat ibu kota di bagian timur Yerusalem yakni Abu Dis, bukan di Kota Tua Yerusalem dan Israel juga diizinkan mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan.
Selain itu, pengungsi Palestina yang terusir sejak 1948 (peristiwa Nakba Palestina) tidak diizinkan kembali ke Israel. Mereka hanya bisa kembali ke negara Palestina yang baru, tinggal di negara lain, atau menerima kompensasi finansial.
Rencana Trump itu juga menjanjikan investasi senilai 50 miliar dolar AS (sekitar Rp818,35 triliun) untuk meningkatkan perekonomian Palestina selama 10 tahun. Pendanaan tersebut bergantung pada penerimaan Palestina terhadap semua ketentuan yang telah disusun.
Alih-alih menciptakan perdamaian, pengumuman proposal itu justru memperburuk situasi di Palestina.
Kemudian, Joe Biden menggantikan Trump pada 2021. Pemerintahan AS pun tidak lagi mendorong rencana itu. Biden lebih fokus pada solusi diplomatik yang tidak sepenuhnya mengacu pada Deal of the Century.
Baca juga: Utusan AS coba bantah rencana Trump untuk Gaza adalah bukan pengusiran
Baca juga: Spanyol kecam Trump: Tak ada real estat bisa tutupi kejahatan di Gaza
Muncul rencana baru
Setelah meninggalkan Gedung Putih pada 2021, Trump jarang membahas solusi dua negara.
Dalam sejumlah pernyataan terbarunya, terutama selama perang Gaza 2023-2024, Trump lebih banyak mendukung Israel secara penuh dan tidak lagi menyinggung solusi dua negara.
Trump bahkan memilih melontarkan gagasan kontroversial, yakni mengambil alih Jalur Gaza dan mengubahnya menjadi proyek real estate serta memindahkan warga Palestina keluar dari wilayah tersebut seperti ke Yordania dan Mesir.
Usulan Trump itu menuai penolakan keras dari berbagai negara dan organisasi Arab. Mesir, Yordania, Aljazair, Irak, Libya, Liga Arab, Dewan Kerjasama Teluk, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan kelompok Palestina Hamas secara tegas menolak rencana tersebut.
Aljazair mengecam setiap rencana untuk mengusir warga Gaza, dengan memperingatkan bahwa skema semacam itu "mengancam inti perjuangan nasional Palestina."
Baik Irak maupun Libya menyatakan penolakan keras terhadap setiap usulan atau upaya pemindahan paksa warga Palestina, serta menyerukan komunitas internasional untuk mengambil sikap tegas terhadap tindakan tersebut.
Selain itu, lima negara Arab lainnya, yaitu Arab Saudi, Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Qatar, juga menolak segala bentuk pemindahan paksa warga Palestina di Jalur Gaza.
Mereka menegaskan penolakan terhadap segala bentuk "pelanggaran hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat" dari warga Palestina, termasuk melalui alasan "pembangunan permukiman, pengusiran, penghancuran rumah, aneksasi, pengosongan tanah dari penduduknya melalui pemindahan paksa, pemindahan yang didorong, atau pencabutan hak warga Palestina atas tanah mereka".
Baca juga: Malaysia, Mesir tolak rencana Trump pindahkan warga Palestina di Gaza
Baca juga: Legislator Jerman: Rencana Gaza Trump adalah kejahatan perang besar
Melanggar hukum internasional
Para pakar hukum internasional menilai bahwa rencana Presiden Trump, untuk "mengambil alih" Jalur Gaza dan mengusir paksa warga Palestina merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Menurut mereka, hal itu adalah kelanjutan dari kebijakan pemindahan paksa yang telah berlangsung sejak 1948 dan dikategorikan sebagai kejahatan perang berdasarkan Konvensi Jenewa dan Statuta Roma.
Profesor hukum dari Universitas Negeri Ohio, John Quigley, menegaskan bahwa mayoritas penduduk Gaza adalah keturunan dari warga Palestina yang terusir sejak 1948 dan memiliki hak untuk kembali ke tanah mereka.
"Trump berencana mengambil alih Gaza secara sepihak tanpa persetujuan rakyat Palestina, yang jelas melanggar hukum internasional," ujarnya seperti dikutip Anadolu.
Ia juga menyoroti kemiripan retorika Trump dengan pernyataan para pejabat Israel yang mendukung pengusiran massal warga Palestina.
Susan M. Akram, profesor hukum di Universitas Boston, menekankan bahwa pemindahan paksa warga Palestina merupakan kejahatan perang yang dilarang oleh Konvensi Jenewa Keempat dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pasal 45 dan 49 Konvensi Jenewa melarang deportasi dari wilayah pendudukan, sementara Pasal 147 menyebut pemindahan paksa sebagai pelanggaran berat yang termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.
Dosen Universitas Otago, Selandia Baru, Nijmeh Ali, menambahkan bahwa pejabat AS yang mendukung rencana ini dapat diperiksa berdasarkan hukum internasional.
Negara-negara dengan yurisdiksi universal, seperti Belgia dan Spanyol, dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap mereka yang terlibat dalam kejahatan perang.
Ali juga menyoroti bahwa pejabat Israel secara terbuka mendukung rencana Trump karena sejalan dengan kebijakan pemindahan massal warga Palestina yang telah mereka dorong sejak awal konflik.
Menurut Ali, pembersihan etnis yang dilakukan Israel bukanlah kebijakan yang terjadi secara spontan, melainkan bagian dari rencana jangka panjang.
"Penghancuran massal dan penciptaan kondisi yang tidak layak huni di Gaza dapat diinterpretasikan sebagai bukti adanya niat genosida," tegasnya.
Selain itu, kebijakan ini sering kali dikemas dengan dalih "kemakmuran" dan "bantuan kemanusiaan", sebagaimana disampaikan oleh Trump.
Para pakar sepakat bahwa rencana Trump bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan berpotensi memicu konsekuensi hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.
Pemindahan paksa, genosida, dan pendudukan ilegal merupakan kejahatan yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mengancam stabilitas kawasan Timur Tengah dan tatanan hukum global.
Di tengah gelombang penolakan pemindahan warga Gaza selama beberapa pekan terakhir, Utusan AS untuk Timur Tengah, Steven Witkoff, menegaskan rencana Presiden Trump terkait Jalur Gaza bukanlah bentuk pengusiran.
Menurut Witkoff, Trump ingin mendorong pemikiran baru tentang solusi terbaik bagi warga Palestina dan penduduk Gaza.
Witkoff menyebut bahwa rencana tersebut menawarkan pilihan bagi warga Gaza, apakah tetap tinggal atau pindah ke tempat dengan peluang ekonomi yang lebih baik.
Kendati demikian, apa pun logika Trump atas penyelesaian konflik Palestina dan Israel, komunitas internasional dihadapkan pada tantangan untuk menemukan jalan keluar yang adil dan damai bagi konflik tersebut.
Usulan-usulan yang mengabaikan hak-hak fundamental dan aspirasi rakyat Palestina tidak hanya memperburuk situasi, tetapi juga mengancam stabilitas kawasan secara keseluruhan.
Jika solusi dua negara benar-benar hendak ditegakkan, maka yang diperlukan bukanlah proposal transaksional yang menguntungkan satu pihak semata, melainkan komitmen nyata untuk menjamin keadilan dan hak-hak rakyat Palestina sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Tanpa itu, solusi dua negara hanya akan menjadi jargon diplomatik yang kehilangan makna, dan konflik ini akan terus menjadi lingkaran tak berujung; menjadi sebuah luka yang tak kunjung sembuh di Timur Tengah.
Baca juga: Apa yang kau cari Donald Trump?
Baca juga: Senator AS: Gaza dibangun untuk warga Palestina, bukan turis miliarder
Copyright © ANTARA 2025