TEMPO.CO, Jakarta - Kasus penganiayaan sesama santi di Pondok Pesantren Ora Aji Sleman yang diasuh Miftah Maulana Habiburrahman gagal menemui jalan damai.
Dalam kasus itu, sebanyak 13 santri dilaporkan seorang santri lain bernama KDR, 23 tahun, ke Polresta Sleman. Belasan santri itu dituduh telah mengeroyok KDR. Tindakan itu didasari kecurigaan bahwa korban telah mencuri uang usaha air minum yayasan. Para santri kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun polisi belum menahan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pelaku seluruhnya santri, tidak ada yang jadi pengurus pondok," kata Dwi Yudha Danu, selaku Ketua Yayasan Pondok Pesatren Ora Aji yang bertanggungjawab mengelola ponpes itu di Sleman Yogyakarta, Sabtu 31 Mei 2025.
Yudha mengatakan, upaya mediasi secara kekeluargaan sebenarnya sudah dilakukan beberapa kali. Namun menemui jalan buntu dan berujung saling lapor karena tingginya permintaan ganti rugi dari pihak korban.
"Mediasi berkali-kali sudah ditempuh, namun gagal karena tuntutan ganti rugi mencapai Rp 2 Miliar," kata Yudha.
Jumlah tuntutan ganti rugi itu dinilai berlebihan dan tidak masuk akal. Terlebih menurut pengelola pesantren yang sebenarnya terjadi bukan pengeroyokan. Tudingan bahwa korban diikat, dicambuk dengan selang hingga disetrum juga terlalu mendramatisir.
"Tidak ada penganiyaan yang mencederai KDR," katanya.
Menurut Yudha, yang terjadi adalah kontak fisik dengan tujuan untuk memberi pelajaran. Selama ini, kata dia, sejumlah santri mengaku menjadi korban pencurian, yang kecurigaannya mengarah kepada KDR sebagai pelaku. KDR, kata dia, juga tidak mengembalikan barang yang diduga dicuri.
Menurut yayasan pondok pesantren, keluarga KDR juga semestinya paham bahwa para anak didik di Ponpes Ora Aji berasal dari latar belakang yang beragam dan tidak ada yang dipungut biaya alias gratis.
"Saat kasus ini terjadi, yayasan juga tidak tinggal diam dan telah berupaya menempuh jalur kekeluargaan dengan permohonan maaf dan kesanggupan mengganti taliasih sebagai biaya pengobatan," kata dia.
Namun karena mediasi berkali-kali gagal, pihak ponpes akhirnya balik melaporkan kasus dugaan pencurian yang dilakukan KDR ke Polresta Sleman.
"Jikapun yayasan memiliki dana sebagaimana tuntutan korban, kiranya akan jauh memberi manfaat lebih bilamana digunakan untk kepentingan belajar mengajar dan kebutuhan menghidupi santri," kata Yudha.
Pengelola ponpes, kata Yudha, juga telah menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban karena lengah hingga kasus ini terjadi.
"Kami juga menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat, khususnya dunia pondok pesantren yang cemas akan fenomena kejadian pendidikan moral terapan di dunia pesantren dibawa-bawa ke ranah hukum formal," kata dia.
Kuasa hukum Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji Adi Susanto menuturkan para santri yang ditetapkan tersangka tidak ditahan karena semuanya adalah santri aktif.
"Empat santri diantaranya berstatus anak di bawah umur," kata Adi.
Adi menambahkan, akan menjadi preseden buruk bagi dunia pesantren jika bentuk pendidikan moral spontan ala santri di Ponpes Ora Aji itu kemudian berujung pada pelaporan pidana.
"Namun karena kasus ini masih bergulir, kami menghormati proses hukum, meski dari yayasan sudah melakukan mediasi dengan pihak korban untuk solusi terbaik dari perkara ini," kata dia.
Ayah santri korban penganiayaan melalui kuasa hukumnya, Heru Lestarianto, tak menampik adanya tawaran tali asih untuk membantu pengobatan korban yang kini telah pulang ke kampung halamannya di Kalimantan.
"Saat itu dari korban mengatakan ada tawaran tali asih sebesar Rp 20 juta dari pihak pondok, namun tidak diterima karena kondisi korban yang kini mengalami traumatik berat sehingga harus menjalani terapi psikiater," kata Heru.
Heru menuturkan seluruh dugaan tindak pidana lengeroyokan dan penganiayaan tersebut secara spesifik sudah dituangkan dalam berkas acara pemeriksaan di Polresta Sleman.
Dalam pengakuannya, korban mengatakan dikeroyok beramai-ramai dalam sebuah ruang atau kamar dengan cara disetrum dan dipukuli menggunakan selang oleh belasan santri secara bergantian atau bersama-sama di waktu dan tempat yang bersamaan.