Kontroversi Trump, aliansi trans-Atlantik dan keresahan pemimpin Eropa

1 week ago 8

Jakarta (ANTARA) - Donald John Trump, pengusaha papan atas, politikus tangguh, dan pembawa acara berbakat, kembali menjadi magnet politik global.

Setelah memenangkan kursi Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016, Trump tampil dengan gaya kepemimpinan yang khas, provokatif, berani, dan penuh kontroversi. Meski kerap diserang karena kebijakan dan ucapannya, daya tarik Trump tak bisa dipungkiri.

Bahkan kini, setelah melampaui masa jabatan yang penuh gejolak pada periode pertama 2017-2021, Trump kembali memegang kendali politik dengan terpilih sebagai presiden AS pada Pemilu 2024 dan dilantik menjadi presiden ke-47 AS pada Senin, 20 Januari 2025.

Kehadirannya sebagai pemimpin global membawa dampak besar, baik bagi masyarakat Amerika sendiri maupun dunia internasional, termasuk aliansi trans-Atlantik.

Dengan janji perubahan besar yang "mengguncang Amerika dan dunia", Trump berusaha membalikkan arah kebijakan luar negeri AS yang lebih terbuka dan berfokus pada multilateralisme, kembali mengedepankan pendekatan “America First” dan "Make America Great Again" (MAGA) yang menjadi ciri khasnya.

Setelah dilantik di Rotunda Capitol, Washington, DC, Trump gas pol dengan mengambil langkah-langkah eksekutif yang kontroversial.

Kebijakan luar negeri yang bertumpu pada prinsip "America First" kembali menegaskan posisi AS sebagai kekuatan utama, meskipun sering kali mengabaikan keseimbangan kerja sama internasional.

Salah satu langkah awal yang ia ambil adalah menyatakan “darurat energi nasional”, membatalkan kebijakan iklim yang lebih ramah lingkungan, dan menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris 2016, sebuah langkah yang memicu kritik tajam dari banyak negara di dunia, khususnya di Eropa dan lembaga-lembaga internasional.

Trump juga menghidupkan kembali kebijakan perdagangan proteksionisnya dengan mengenakan tarif tinggi, rencana hingga 60 persen untuk barang impor dari China, negara yang dia anggap sebagai ancaman ekonomi utama. Bahkan, tarif impor dari negara-negara lain juga diperkirakan akan naik 10-20 persen.

Keputusan itu berpotensi memicu ketegangan dagang yang lebih besar dan membentuk ulang struktur perdagangan global.

Selain itu, langkah Trump yang mendeklarasikan hanya ada dua jenis kelamin di AS yakni pria dan wanita, kebijakan imigrasi yang keras, seperti mengakhiri hak kewarganegaraan bagi anak-anak imigran yang tidak berdokumen, semakin menambah kontroversi arah pemerintahannya di mata dunia.

Salah satu langkah yang tak kalah menarik adalah pernyataan Trump yang mengklaim Kanada dan Greenland sebagai bagian dari wilayah AS. Klaim yang membuat pemimpin Denmark dan Kanada merespons dengan tegas klaim Trump tersebut.

Tidak hanya itu, Trump mengurangi komitmen pada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tidak memprioritaskan dukungan Ukraina, dan menekankan diplomasi transaksional untuk mengutamakan Amerika. Trump bahkan berniat mengambil alih Terusan Panama dan mengganti nama Teluk Meksiko menjadi Teluk Amerika.

Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum langsung merespons penamaan baru itu hanya berlaku untuk AS. "Bagi kami, hal tersebut (nama wilayah itu) masih merupakan Teluk Meksiko, sama seperti negara-negara lain di dunia," kata Sheinbaum tegas.

Meskipun sebagian besar langkah-langkah tersebut lebih bersifat simbolik, hal itu tetap mencerminkan kecenderungan Trump untuk memperkuat posisi AS dengan mengabaikan perasaan dan kepentingan negara-negara tetangga serta negara di jalur trans-Atlantik.

Keresahan Eropa

Tak dapat dipungkiri, rentetan kebijakan baru Trump itu telah memicu beragam reaksi dari para pemimpin dunia, terutama di Eropa.

Negara-negara Eropa, yang telah lama bekerja sama dengan AS dalam banyak aspek, kini menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan hubungan trans-Atlantik yang sudah terbentuk.

Seringkali, kebijakan Trump bertolak belakang dengan kebijakan yang diinginkan oleh negara-negara Eropa, terutama dalam hal multilateralisme dan komitmen terhadap perubahan iklim. Dua hal yang juga menjadi acuan banyak negara di dunia, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang umumnya tahun lalu di New York, AS.

Contohnya, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen belum lama ini mengungkapkan keprihatinannya atas pernyataan Trump yang ingin "merebut Greenland".

Frederiksen menekankan pentingnya mempertahankan keseimbangan dalam kebijakan luar negeri Denmark, terutama di kawasan Arktik, yang kini semakin vital mengingat semakin agresifnya Rusia dan meningkatnya minat China untuk mengakses sumber daya di kawasan tersebut.

Denmark, yang memandang Arktik sebagai bagian dari kebijakan luar negeri mereka, merasa harus memperkuat posisi militernya, terutama untuk menjaga hubungan strategis dengan AS.

Langkah ini, meskipun penting, menambah beban keuangan bagi Denmark, yang kini harus menambah anggaran militer untuk menjaga aliansi yang semakin terancam oleh kebijakan Trump.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock lebih menekankan perlunya Eropa saat ini dan ke depan, lebih 'berani' mandiri dalam mengurus keamanannya sendiri.

Jerman, sebagai salah satu anggota utama NATO, terus menyatakan bahwa meskipun hubungan dengan AS tetap penting, Eropa harus dapat menentukan arah kebijakan luar negeri dan keamanan mereka tanpa tergantung pada satu kekuatan besar.

Ia juga memperingatkan bahwa kebijakan Trump yang cenderung transaksional dapat memperburuk ketegangan di kawasan Eropa.

Kanselir Jerman Olaf Scholz juga ikut menegaskan bahwa kerja sama dengan AS tetap menjadi pilar utama keamanan Jerman dan Eropa.

Namun, ia mengingatkan bahwa Eropa harus memimpin dalam menentukan arah masa depan, terutama dalam menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim, ketegangan dengan Rusia, dan kebijakan perdagangan yang semakin proteksionis.

Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou berbicara tentang tantangan besar yang bakal dihadapi Uni Eropa jika mereka tidak bersatu dalam merespons kebijakan Trump.

Bayrou menekankan bahwa hanya melalui kerja sama antara negara-negara Eropa-lah mereka dapat mengatasi tekanan yang semakin besar dari kebijakan AS yang terkesan mendominasi.

Menurutnya, kegagalan Eropa untuk bersatu dapat mengarah pada kehancuran ekonomi dan politik bagi Uni Eropa.

Aliansi yang terus diuji

NATO, sebagai aliansi militer trans-Atlantik utama, juga terpengaruh oleh kebijakan Trump.

Meskipun Trump berulang kali mengkritik kontribusi keuangan negara-negara anggota NATO, menuntut mereka membayar lebih banyak untuk anggaran pertahanan, NATO tetap menjadi pilar utama stabilitas dan keamanan di kawasan Eropa.

Keputusan Trump untuk mengurangi komitmen AS terhadap NATO dan menuntut negara-negara anggota meningkatkan anggaran militer menambah ketegangan kedua pihak.

Namun, kendati terjadi perbedaan pendapat, negara-negara Eropa, terutama yang berada di bagian timur, masih mengandalkan AS untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan yang terancam oleh Rusia. Contoh kasus yang paling menonjol adalah ngototnya Ukraina untuk menjadi anggota tetap NATO.

NATO secara konsisten mendukung hak Ukraina untuk mempertahankan diri dan memilih pengaturan keamanannya sendiri. Hubungan antara NATO dan Ukraina telah berkembang sejak awal 1990-an, menjadi salah satu kemitraan paling substansial bagi aliansi tersebut. Sejak aneksasi ilegal Krimea oleh Rusia pada 2014, kerja sama telah ditingkatkan di berbagai area kritis.

Posisi AS dalam NATO tetap krusial, meski ada dinamika politik internal yang mempengaruhi hubungan trans-Atlantik. Selama masa jabatan Presiden Trump, AS menekankan pentingnya kontribusi keuangan yang lebih besar dari negara lain anggota NATO.

Trump mengkritik beberapa anggota yang tidak memenuhi target pengeluaran pertahanan sebesar 2 persen Produk Domestik Bruto (PDB) sebagaimana disepakati. AS merasa bebannya menjadi yang paling berat. Hal itu mendorong negara-negara anggota meningkatkan anggaran pertahanan mereka, dengan 23 dari 32 anggota kini memenuhi target tersebut.

Pada November 2024, Presiden Trump menunjuk Matt Whitaker, mantan pelaksana tugas Jaksa Agung AS, sebagai Duta Besar AS untuk NATO. Penunjukan itu menandakan komitmen AS untuk tetap terlibat dalam aliansi tersebut, kendati sebelumnya, AS banyak mengkritik kontribusi anggota lainnya.

Dunia bukan cuma Trump seorang

Kendati kebijakan Trump kerap memicu kontroversi, baik di dalam maupun di luar negeri AS, yang harus diingat adalah hubungan trans-Atlantik antara AS dan Eropa tidak hanya bergantung pada kebijakan satu individu.

Eropa dan AS memiliki banyak kepentingan bersama yang menjembatani perbedaan-perbedaan besar dalam kebijakan. Keamanan global, stabilitas ekonomi, dan perubahan iklim adalah beberapa isu yang membutuhkan kerja sama antara dua kekuatan besar ini.

Trump mungkin berupaya mengubah arah kebijakan luar negeri AS dengan pendekatan yang lebih terfokus pada kepentingan nasional, namun Eropa, walau kerap gagap oleh kebijakan unilateralnya, harus mengakui bahwa stabilitas dunia tetap terikat pada aliansi mereka dengan AS.

Di tengah berbagai ketegangan tersebut, satu pertanyaan besar tetap menggantung: Bisakah hubungan trans-Atlantik yang telah terjalin begitu lama tetap bertahan menghadapi perubahan besar pasca Trump teken puluhan keputusan eksekutif? atau justru akan makin terpecah karena kebijakan yang semakin terisolasi?

Pada akhirnya, meskipun hubungan tersebut penuh dengan ‘drama tantangan dan perbedaan’, baik AS maupun Eropa harus terus mencari titik temu guna menjaga dan merawat aliansi mereka.

Harus sama-sama disadari, dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh ketidakpastian ini, satu hal yang jelas adalah bahwa kolaborasi antara AS dan Eropa tetap menjadi elemen kunci dalam menghadapi tantangan global bersama di masa depan.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |