Israel terperosok dalam perang tanpa strategi politik untuk keluar

1 month ago 33

Yerusalem (ANTARA) - Hampir dua tahun berkutat dalam konflik multifront, Israel telah mencapai kemajuan militer di antaranya melumpuhkan infrastruktur Hamas di Gaza, menembus jauh ke dalam pertahanan Iran, dan memberikan pukulan kepada Hizbullah di Lebanon. Namun, Israel masih terjebak dalam perang berkepanjangan, tanpa strategi yang jelas untuk keluar dari perang tersebut.

Para analis mengatakan bahwa meskipun kampanye militer Israel telah mencapai beberapa kemajuan, ketiadaan strategi politik yang koheren telah membuat tujuan-tujuannya yang lebih luas menjadi tidak jelas. Pemerintah Israel mendorong untuk memperdalam hubungan dengan negara-negara Arab, disertai dengan pengabaian yang disengaja terhadap isu Palestina, sehingga membatasi prospek rekonsiliasi regional jangka panjang.

Perang di Gaza telah menyebabkan kehancuran yang meluas, menghancurkan sebagian besar infrastruktur daerah kantong tersebut, dan menewaskan sedikitnya 58.895 orang, papar otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza. Besarnya jumlah korban jiwa telah menarik perhatian internasional, namun tidak ada tanda-tanda adanya perubahan dalam kebijakan Israel.

Kalangan kritikus menilai bahwa kelanjutan perang ini hanya melayani kepentingan koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang mencakup partai-partai sayap kanan dan ultra-Ortodoks. Netanyahu, yang sedang diadili atas tuduhan korupsi, menghadapi perpecahan internal dan jajak pendapat yang secara konsisten menunjukkan hasil buruk.

Survei-survei terbaru menunjukkan bahwa mitra-mitra koalisi Netanyahu tidak akan memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan jika pemilihan umum diadakan hari ini.

"Koalisi saat ini benar-benar berkomitmen untuk melanjutkan perang," kata Roee Kibrik, kepala penelitian di Mitvim, Institut Kebijakan Luar Negeri Regional Israel. "Kelangsungan koalisi ini bergantung pada kelanjutan perang."

Foto yang dirilis Pasukan Pertahanan Israel pada 19 Mei 2025 menunjukkan pasukan Israel selama operasi di Jalur Gaza, Palestina. ANTARA/Xinhua/HO-IDF/aa.


Kibrik berpendapat bahwa pemerintah Israel tampaknya hanya ingin mengejar kesepakatan pembebasan sandera terbatas yang sebenarnya dimaksudkan untuk menghindari penghentian perang. "Jika kami menganalisis apakah perdamaian atau diplomasi mungkin dilakukan di bawah pemerintahan ini, jawabannya adalah tidak," kata Kibrik.

Saat ini perundingan sedang berlangsung di Doha mengenai kemungkinan kesepakatan sandera dengan Hamas.

Netanyahu pada Jumat (18/7) mengatakan bahwa Israel sedang membahas kemungkinan pembebasan para tawanan dan gencatan senjata selama 60 hari di Gaza. Namun, dia menyayangkan sikap Hamas yang tidak terlibat secara serius dalam pembahasan ini.

Pada Jumat yang sama, Abu Ubaida, juru bicara sayap bersenjata Hamas, mengatakan dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi bahwa Hamas telah berulang kali menawarkan untuk membebaskan semua sandera sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata komprehensif, tetapi Israel menolaknya.

"Jika musuh menghalangi atau menarik diri dari putaran (perundingan) ini, seperti yang selalu terjadi, kami tidak dapat menjamin kembalinya kesepakatan parsial," kata Ubaida memperingatkan.

Para pemimpin oposisi dan keluarga para sandera menuduh Netanyahu sengaja memperpanjang perang demi kelangsungan agenda politiknya.

Pengunjuk rasa kerap terlihat melakukan aksi mereka seraya membawa atribut unjuk rasa, seperti poster dan spanduk, yang bertuliskan "Perang membunuh para sandera". Mereka menilai konflik ini bermotif politik yang sengaja dilakukan demi mempertahankan kekuasaan Netanyahu.

"Koalisi yang berkuasa saat ini berfokus untuk tetap berkuasa," kata Eyal Zisser, wakil rektor Universitas Tel Aviv sekaligus pakar Timur Tengah. "Pemilu dini akan menjadi bencana bagi semua anggota koalisi, mengingat setiap jajak pendapat menunjukkan kemungkinan bahwa mereka akan kalah."

Untuk mempertahankan aliansi, Netanyahu harus mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang saling berseberangan, lanjut Zisser. Pasalnya, faksi-faksi sayap kanan ekstrem Israel bersikeras untuk melanjutkan perang, sementara partai-partai ultra-Ortodoks mengupayakan anggaran yang lebih besar dan pengecualian wajib militer.

Baik Zisser maupun Kibrik meyakini bahwa pemerintah Israel tidak hanya sengaja menghindari kemajuan diplomatik, namun juga secara aktif merongrongnya. "Tidak akan ada negara Palestina," kata Zisser, merangkum sikap koalisi Netanyahu. "Mereka bahkan menentang pemberian otonomi," sambungnya.

"Israel menginginkan perdamaian dengan negara-negara Arab, namun tidak siap untuk memberikan imbalan apa pun terkait Palestina," jelas Zisser.

Kemajuan yang sungguh-sungguh menuju solusi dua negara dapat membuka kerja sama dan peluang regional yang luas, kata Kibrik. "Namun, dengan pemerintahan (Israel) saat ini, opsi tersebut mustahil dipertimbangkan."

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |