Hassan Wirajuda: "Global South" perlu penggerak utama

2 months ago 33

Beijing (ANTARA) - Mantan menteri luar negeri Hassan Wirajuda menyebut gerakan "Global South" perlu negara utama sebagai penggerak agar dapat menjadi perlawanan menghadapi turbulensi geopolitik dan ekonomi global.

"'Global south' itu seperti apa? Masih memerlukan upaya mengaktualisasikan diri. Kita memerlukan 'prime mover', siapa negara penggeraknya? Belum jelas juga," kata Hassan Wirajuda di Beijing kepada Antara pada Rabu (2/7).

Hassan mengakui ada banyak suara tentang "global south", tapi gerakan tersebut juga belum jelas terdefinisi.

"Kalau kita lihat apa sih yang terjadi dengan 'global south'? Apa itu 'global south'? Apakah negara-negara di selatan garis katulistiwa? Atau negara selatan dan utara katulistiwa? Apakah bila ada 'global south' maka ada 'global north'?" tambah Hassan.

Dalam sejarahnya, Hassan mengungkapkan ada upaya untuk melakukan "north-south dialogue" yang membahas isu-isu terkait perdagangan dan tarif, keuangan internasional, bantuan asing, dan tata kelola perusahaan dan lembaga multinasional pada periode 1970-an yang akhirnya gagal karena meningkatnya konflik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

"Sekarang ini baru disuarakan 'global south' tapi belum kelihatan bentuknya apa. Apakah organisasi, ada pertemuan rutin, ada sekretariatnya atau seperti apa?" tambah Hassan.

Hassan mencontohkan sebelumnya ada Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 dengan 5 negara penggerak utama yaitu Indonesia, Myanmar, India, Srilangka dan Pakistan untuk menetapkan siapa saja yang diundang, apa agendanya dan jenis perjuangannya.

Kemudian ada juga Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 yang menyuarakan kelompok negara yang tidak mau berpihak dengan Pakta Warsawa untuk Eropa Timur dan NATO untuk Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Contoh lain adalah di bidang ekonomi dengan lahirnya Kelompok 77 (G77) pada periode 1970-an yang terdiri dari negara-negara berkembang dan China sebagai bentuk protes atas eksploitasi sumber daya alam negara-negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional milik negara maju.

"Jadi banyak yang menyuarakan 'global south', tapi belum cukup jelas meski semangatnya sudah ada karena sama-sama merasakan kondisi ekonomi politik yang melemah dan banyak negara menjadi korbannya," tambah Hassan.

Tatanan dunia di bidang ekonomi, yaitu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menurut Hassan juga melemah karena tidak efektifnya WTO dalam mengatasi konflik perdagangan termasuk yang saat China mengajukan gugatan ke WTO tentang penerapan tarif dagang secara sepihak oleh Amerika Serikat (AS).

"WTO menjadikan perdagangan dunia maju, jutaan orang jadi terangkat dari kemiskinan ekstrim, tapi pengenaan tarif sepihak ini sudah menunjukkan dampak dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari tadinya 2,7 persen menjadi 2,3 persen menurut Bank Dunia," ungkap Hassan.

Saat tatanan dunia tidak efektif dan tantangan global bertambah, Hassan menjelaskan adalah hal yang normal negara-negara memajukan organisasi regional.

"Tapi dengan adanya kerja sama regional bukan berarti kita menutup diri dengan negara di luar kawasan karena kawasan berkepentingan agar ada perdagangan dan investasi yang lebih terbuka dan adil seperti yang dulu ada di WTO, bagaimana menghidupkan itu. Karena saat ini perdagangan bebas dan adil terancam di bawah tekanan kebijakan-negara negara maju," tambah Hassan.

"Global south" atau selatan global adalah istilah pengelompokan negara berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi dan politik. Menurut Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), "global south" secara luas meliputi Afrika, Amerika Latin dan Karibia, Asia (tidak termasuk Israel, Jepang, dan Korea Selatan), dan Oseania (tidak termasuk Australia dan Selandia Baru).

Sebagian besar negara-negara "global south" umumnya diidentifikasi sebagai negara yang pendapatan yang rendah, tingkat kemiskinan yang tinggi, pertumbuhan populasi yang tinggi, perumahan yang tidak memadai, kesempatan pendidikan terbatas, sistem kesehatan yang kurang baik dan berbagai masalah lainnya. "Global south" juga kerap diidentifikasi sebagai negara "dunia ketiga" maupun negara-negara industri baru.

Kondisi itu berlawanan dengan "global north" yang digambarkan UNCTAD secara luas meliputi Amerika Utara dan Eropa, Israel, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Meski begitu, kedua kelompok tersebut tidak sesuai dengan belahan bumi utara dan selatan, karena banyak negara "global south" secara geografis terletak di utara dan sebaliknya.

Istilah "global south" muncul pada paruh kedua abad ke-20 untuk merangkum kritik terhadap ketidaksetaraan global dan ketidakseimbangan kekuatan, dengan menyoroti eksploitasi kolonial dan perjuangan dalam otonomi ekonomi dan politik.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi berulang kali mengatakan negaranya termasuk "global south" dan meminta negara-negara "global south" memperkuat diri karena menyumbang lebih dari 40 persen PDB global dan berkontribusi hingga 80 persen terhadap pertumbuhan global. "Global south", menurut Wang Yi merupakan kekuatan utama untuk menjaga perdamaian dunia, mendorong pembangunan dunia dan meningkatkan tata kelola global.

Wang Yi pun mengatakan China secara alami adalah anggota "global south" karena telah berjuang melawan kolonialisme dan hegemonisme. Ia mengajak negara-negara "global south" bersatu padu. dan berjuang untuk pembangunan.

Baca juga: Hassan Wirajuda usulkan negosiasi tarif AS dilakukan gabungan negara

Baca juga: Hassan Wirajuda: negara berkembang butuh munculkan gerakan kolektif

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |