Gelombang Panas hingga Banjir: Potret Kerapuhan Iklim Pakistan

12 hours ago 2

Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Seiring dengan terus meningkatnya suhu global, Pakistan menghadapi kerentanan mengkhawatirkan terhadap perubahan iklim, sehingga menempatkannya di peringkat atas di antara negara-negara paling berisiko di dunia.

Lokasi geografisnya membuat Pakistan terpapar pada berbagai tantangan terkait iklim yang parah, termasuk gelombang panas, pencairan gletser yang semakin cepat, musim hujan yang tidak dapat diprediksi, dan banjir dahsyat.

Bencana banjir di Pakistan pada 2022, yang menyebabkan jutaan orang mengungsi dan menyebabkan kerusakan senilai miliaran dolar, menggarisbawahi kerapuhan negara tersebut dalam menghadapi bencana lingkungan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Indeks Risiko Iklim Global, Pakistan menempati peringkat kelima sebagai negara paling rentan terhadap iklim di dunia. Meski berkontribusi kurang dari 1% dari emisi karbon global, geografinya menempatkan Pakistan dalam posisi genting.

Dalam editorial European Times edisi Senin, 7 April 2025, disebutkan bahwa Pakistan terletak di antara dua sistem cuaca yang kontras-satu sisi membawa panas ekstrem, kekeringan, dan gelombang panas di bulan Maret, dan sisi lainnya mendatangkan musim hujan deras mulai Juli dan seterusnya.

Selain itu, meningkatnya frekuensi, intensitas, dan kompleksitas gelombang panas yang disebabkan iklim telah membuat daerah perkotaan Pakistan tidak siap untuk mengatasinya. Hal yang memperparah tantangan ini adalah masalah seperti pasokan air dan listrik yang tidak konsisten sepanjang tahun dan di seantero negeri.

Permintaan listrik di Pakistan sering kali melebihi pasokan, yang menyebabkan pemadaman listrik harian selama tiga hingga empat jam, yang tidak hanya memengaruhi masyarakat berpenghasilan rendah tetapi juga pusat-pusat perkotaan. Faktor-faktor ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk adaptasi iklim dan perbaikan infrastruktur untuk mengurangi risiko yang semakin meningkat.

Emisi Karbon Pakistan

Sejak 1994, emisi karbon Pakistan meningkat sebesar 123 persen pada 2015. Emisi ini diproyeksikan akan meningkat sekitar 300 persen pada 2030 dan sektor energi (dan segala sesuatu terkait itu) serta pertanian menyumbang sekitar 90 persen dari total emisi.

Meski ada klaim bahwa kontribusi Pakistan terhadap krisis iklim dapat diabaikan, faktanya tetap bahwa 46 persen dari total emisi negara itu berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Untuk mengatasi kekurangan listrik, Pakistan terpaksa berinvestasi besar-besaran pada batu bara di bawah Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC), saat seluruh dunia mulai menjauh dari bahan bakar kotor tersebut.

Meski ada ancaman yang mendesak, Pakistan masih belum memiliki rencana perubahan iklim yang komprehensif dan dapat ditindaklanjuti. Tidak adanya pendekatan terstruktur ini menghambat kemampuan negara tersebut untuk beradaptasi dan mengurangi dampak perubahan iklim, sehingga membuat jutaan warganya rentan terhadap fenomena iklim yang semakin memburuk.

Di saat risiko meningkat, situasi di Pakistan semakin diperburuk penurunan pendanaan asing untuk keuangan iklim, yang membatasi kapasitas Pakistan untuk menerapkan solusi berkelanjutan dan tangguh.

Pakistan adalah negara dengan polusi udara tertinggi kedua di dunia dan juga menempati peringkat kedua sebagai negara dengan urbanisasi tercepat di Asia Selatan. Dengan urbanisasi yang pesat, permintaan transportasi diperkirakan meningkat secara signifikan, yang semakin memperburuk masalah lingkungan.

Upaya Dekarbonisasi Global

Saat ini, hampir setengah dari 46% emisi dari sektor energi di Pakistan berasal dari sektor transportasi, yang bergantung pada minyak untuk 92% kebutuhan energinya. Ketergantungan yang besar pada minyak ini membuat dekarbonisasi sektor transportasi menjadi sangat menantang.

Mengatasi masalah ini, terutama di daerah perkotaan, akan memerlukan pengembangan dan penerapan kerangka regulasi yang kuat untuk mempromosikan pilihan transportasi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Tanpa mengambil langkah tegas untuk melakukan dekarbonisasi, Pakistan berisiko tertinggal karena masyarakat global mengadopsi teknologi canggih dan rendah karbon.

Di saat penghasil emisi utama seperti Amerika Serikat dan China beralih ke teknologi yang lebih bersih untuk mengurangi emisi karbondioksida (CO2), solusi mutakhir tertentu pada akhirnya mungkin tidak dapat diakses oleh negara-negara yang gagal menyelaraskan diri dengan upaya dekarbonisasi global.

Untuk mengurangi risiko ini, Pakistan harus memprioritaskan investasi dalam infrastruktur hijau, mempromosikan adopsi kendaraan listrik, dan mendorong penggunaan sumber energi alternatif. Ini tidak hanya akan membantu mengurangi emisi, tetapi juga meningkatkan kualitas udara dan meningkatkan kelayakan hidup pusat kota secara keseluruhan.

Urgensi untuk bertindak tidak dapat dilebih-lebihkan, karena penundaan dapat memiliki konsekuensi lingkungan, ekonomi, dan sosial jangka panjang.

Artikel majalah Time di tahun 2019 menggambarkan Jacobabad berpotensi menjadi "tidak dapat dihuni," menyoroti kondisi musim panas ekstrem di provinsi Sindh di mana "banyak orang meninggal."

Meski serius, masalah di Pakistan ini hanya mendapat perhatian musiman. Di saat suhu terus memecahkan rekor setiap tahun, tindakan yang diambil untuk mengatasi dampak jangka panjang perubahan iklim di wilayah tersebut sangat minim.

Konsekuensi Perubahan Iklim

Minimnya tindakan terjadi walau Pakistan sebenarnya memiliki undang-undang iklim seperti Undang-Undang Perubahan Iklim Pakistan tahun 2017, yang membentuk Dewan Perubahan Iklim Pakistan dan Otoritas Perubahan Iklim Pakistan. Badan-badan ini bertugas mengoordinasikan dan mengawasi penerapan kebijakan, strategi, dan perjanjian internasional terkait iklim.

Selain itu, Pakistan telah memperkenalkan kebijakan seperti Kebijakan Udara Bersih Nasional 2023, yang berfokus pada pengurangan polusi udara di seluruh sektor utama.

Namun, meski kerangka kerja ini ada, penerapan dan penegakannya tetap menjadi tantangan signifikan, yang membatasi efektivitasnya dalam mengatasi kerentanan iklim yang semakin meningkat di negara tersebut. Salah urus dana dan kurangnya akuntabilitas semakin merusak kemajuan.

Secara global, banyak negara sedang membuat strategi untuk memerangi krisis iklim yang sedang berlangsung. Pakistan juga harus memprioritaskan investasi jangka panjang untuk meningkatkan kesiapannya menghadapi tantangan iklim yang berulang. Tanpa pendekatan komprehensif, negara tersebut akan tetap rentan terhadap konsekuensi perubahan iklim yang meningkat.

Kelambanan Pakistan dalam perencanaan iklim tidak hanya memperbesar dampak bencana saat ini, tetapi juga membuat negara tersebut tidak siap menghadapi masa depan.

Strategi kuat yang mencakup reformasi kebijakan, investasi dalam infrastruktur hijau, dan kerja sama regional sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim yang terus meningkat. Tanpa upaya tersebut, Pakistan akan terus menghadapi kerugian sosial-ekonomi dan kerusakan lingkungan yang terus meningkat.

(dna)

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |