Washington (ANTARA) - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Senin (10/2) menandatangani proklamasi untuk menaikkan tarif aluminium dari 10 menjadi 25 persen serta menghapus pengecualian tarif baja dan aluminium.
Trump mengeklaim bahwa langkah itu akan membuat AS kaya kembali dan mengembalikan bisnis-bisnis dan lapangan pekerjaan ke negara itu. Kendati demikian, bagaimana dampak sebenarnya dari pemberlakuan tarif baja dan aluminium terhadap perekonomian AS?
"Artinya, harga baja dan aluminium AS akan naik jauh lebih tinggi dari harga dunia di masa mendatang," ungkap Gary Clyde Hufbauer, seorang senior fellow nonresiden di Peterson Institute for International Economics.
"Hal itu akan merugikan sejumlah besar industri hilir yang menggunakan baja dan aluminium. Industri hilir tersebut mempekerjakan sekitar 10 kali lebih banyak tenaga kerja dibandingkan industri baja dan aluminium," ujar Hufbauer.
Pakar perdagangan berpengalaman tersebut menuturkan bahwa beberapa perusahaan baja dan aluminium kemungkinan akan diuntungkan, namun lebih banyak lagi pihak yang akan dirugikan, termasuk perusahaan otomotif (seperti GM, Ford, dan Toyota), perusahaan mesin listrik (seperti General Electric dan Schneider Electric), serta produsen pesawat terbang (seperti Boeing).
Beberapa ekonom memperingatkan bahwa tarif baru AS itu dapat mendorong inflasi, menambah tekanan keuangan yang tengah dihadapi oleh banyak perusahaan dan warga di AS.
"Dalam jangka pendek, kita akan membayar lebih mahal untuk baja dan aluminium dan segala sesuatu yang dibuat menggunakan keduanya, terutama mobil," tutur Dean Baker, ekonom senior di Center for Economic and Policy Research, kepada Xinhua.
Dalam jangka panjang, produsen akan enggan menggelontorkan begitu banyak uang mengingat mereka tidak tahu apakah tarif itu akan tetap diberlakukan untuk waktu yang lama, imbuh Baker.
Selama masa jabatan kepresidenan pertamanya, Trump menerapkan tarif 25 persen untuk impor baja dan 10 persen untuk impor aluminium pada 2018, dengan alasan keamanan nasional. Trump kemudian mengizinkan mitra-mitra dagang tertentu, termasuk Kanada, Meksiko, and Brasil, menerima kuota bebas bea.
Semasa kepemimpinan mantan Presiden Joe Biden, AS melanjutkan beberapa pengecualian tarif yang diberlakukan di bawah pemerintahan Trump dan menambah kuota baru bagi Uni Eropa, Inggris, dan Jepang.

Studi yang dipublikasikan pada 2019 oleh Federal Reserve Bank of New York menunjukkan bahwa tarif baja dan aluminium yang diberlakukan secara meluas oleh Trump pada 2018, dan tarif terhadap barang-barang China, bersama dengan tindakan balasan yang dipicu oleh kebijakan-kebijakan itu, menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan di bidang manufaktur di AS.
"Saya memperkirakan hasil yang sama, namun kali ini lebih buruk," tutur Hufbauer dari Peterson Institute for International Economics.
Sejak awal masa jabatannya yang kedua, Trump segera meluncurkan langkah-langkah proteksionisme perdagangan, yang secara luas menuai penolakan baik di dalam negeri maupun dunia internasional.
"Tarif yang diterapkan oleh Trump selama masa jabatannya yang pertama lebih tertarget. Kali ini, lebih banyak warga AS akan merasakan dampaknya. Di antara impor yang terdampak adalah sejumlah besar barang konsumsi, termasuk alas kaki, mainan, konsol gim video, dan perangkat elektronik," menurut laporan dari National Public Radio.
"Jadi, iPhone, iPad, perangkat tablet, laptop, semua yang diproduksi oleh Apple saat ini akan terkena dampaknya, yang merupakan eskalasi besar dibanding bagaimana sebelumnya barang-barang konsumen terlindungi dari sebagian besar tarif dalam perang dagang pertama," urai Erica York, wakil presiden kebijakan pajak federal di Tax Foundation.
Saat menandatangani proklamasi itu pada Senin, Trump juga mengatakan bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan apa yang disebut "tarif resiprokal" untuk produk-produk seperti cip, mobil, dan obat-obatan, menandakan langkah-langkah lebih lanjut dalam kebijakan tarif.
Terlepas dari janjinya selama kampanye untuk menekan inflasi, tarif yang diberlakukan Trump diperkirakan akan mendongkrak inflasi dan mempersulit skema pemangkasan suku bunga Federal Reserve di masa mendatang.
Federal Reserve AS telah memperlambat laju pemangkasan suku bunganya karena menghadapi ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintahan Trump.
Saat ditanya perihal kebijakan-kebijakan baru pemerintahan Trump, Gubernur Federal Reserve AS Jerome Powell menyampaikan setelah pertemuan pada 28-29 Januari bahwa Komite Pasar Terbuka Federal "menunggu untuk mengamati" kebijakan apa yang akan diterapkan.
"Kami tidak mengetahui apa yang akan terjadi dengan tarif, dengan imigrasi, dengan kebijakan fiskal, dan dengan kebijakan regulasi," tutur Powell.
Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2025