TEMPO.CO, Jakarta - Himpunan Pengembangan Ekosistem Alkes Indonesia (Hipelki) menilai kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) berkontribusi dalam peningkatan industri alat kesehatan dalam negeri.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pakar Hipelki Maura Linda Sitanggang saat menyampaikan perkembangan industri alat kesehatan periode 2019–2023. “Kalau dilihat dari produknya, Indonesia baru menguasai kelas rendah dan menengah, tetapi terus meningkat,” kata Maura dalam diskusi daring bertajuk “Kajian Dampak Pelonggaran Kuota Impor, PERTEK & TKDN Terhadap Perkembangan Industri” pada Senin, 5 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, industri alat kesehatan kelas A dan kelas B masih unggul dari kelas C dan Kelas D. Pada 2019, terdapat sebanyak 395 jenis alat kesehatan kelas A. Angkanya terus melonjak hingga 2023 dengan capaian 1.862 alat kesehatan dari kelas A.
Meskipun masih rendah, industri alat kesehatan kelas C dan kelas D mengalami pertumbuhan. Misalnya saja pada 2019, hanya ada dua industri alat kesehatan kelas D. Namun angkanya mengalami peningkatan pada 2023 dengan total 63 industri alat kesehatan kelas D.
“Ini artinya policy yang digunakan untuk penggunaan dalam negeri dan TKDN ada dampaknya,” kata Maura. Ia pun berpesan agar perkembangan industri alat kesehatan dalam negeri terus dipacu agar tetap mengalami peningkatan. “Karena kadang-kadang pada awal itu terjadi, tengah-tengahnya tidak,” tutur dia.
Maura juga menyoroti regulasi produksi alat kesehatan di Indonesia. Ia mengatakan regulasi seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021; dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021 sudah dibentuk berdasarkan kesepakatan regional dan praktik global.
Kendati demikian, ia menyoroti tumpang tindih peraturan dalam regulasi alat kesehatan. Misalnya, pemerintah membuat aturan Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) sebagai pedoman dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2017. Padahal, sudah ada aturan global Good Manufacturing Practices/ISO 13485. “Ini sebenarnya hal yang harus diadopsi di Indonesia, jadi gak boleh double,” kata dia.
Musababnya, regulasi lokal itu bisa menghambat potensi ekspor alat kesehatan Indonesia lantaran hanya segelintir negara seperti Filipina dan Myanmar yang mengakuinya. “Inilah mengapa menerapkan aturan itu harus didasarkan good regulation practice, tidak overregulated.”