APHR nilai pernyataan ASEAN tentang Myanmar gagal bahas akuntabilitas

3 months ago 42

Jakarta (ANTARA) - Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) menilai pernyataan ASEAN tentang gencatan senjata di Myanmar gagal membahas akuntabilitas, tidak memiliki mekanisme yang dapat ditegakkan dan ketentuan pemantauan independen.

Menurut pernyataan tertulis APHR di Jakarta, Sabtu, APHR mengatakan tidak adanya kerangka kerja yang tegas berisiko mereduksi gencatan senjata menjadi isyarat yang ambigu, yang memungkinkan junta militer Myanmar mengeksploitasi perdamaian sambil melanjutkan kampanye brutalnya tanpa hukuman.

Ketua APHR dan anggota DPR Indonesia, Mercy Chriesty Barends, mengatakan bahwa Dewan Administrasi Negara (SAC) Myanmar (junta militer) telah berulang kali menunjukkan bahwa pengumuman gencatan senjata tidak begitu berarti di lapangan.

“Meski ada deklarasi, kekerasan justru meningkat, dengan meningkatnya serangan udara, pemboman, dan pembunuhan – bahkan setelah gempa bumi berkekuatan 7,7 skala Richter yang dahsyat,” ujarnya.

APHR berpendapat bahwa gencatan senjata yang diumumkan oleh ASEAN tampaknya dibangun berdasarkan tiga gencatan senjata sementara berturut-turut oleh otoritas di Myanmar dan gencatan senjata sepihak lainnya oleh pemangku kepentingan terkait lainnya, dan tidak memberikan kejelasan tentang jadwal, ruang lingkup atau tanggung jawab.

Meskipun para pemimpin ASEAN mungkin memuji gencatan senjata secara terbuka, APHR menilai bahwa dalam praktiknya junta militer Myanmar menggunakannya sebagai tameng untuk melanjutkan kekerasan terhadap rakyat Myanmar dan pasukan perlawanan.

“Dengan mendukung deklarasi ini tanpa menuntut tindakan konkret atau akuntabilitas, ASEAN berisiko memungkinkan terjadinya siklus kekerasan yang kejam ini,” tambah Mercy.

Menurut Wakil Ketua APHR dan mantan anggota parlemen Malaysia, Charles Santiago, gencatan senjata yang tidak memiliki durasi yang jelas atau pengawasan independen bukanlah langkah menuju perdamaian, melainkan hanyalah kedok politik.

“Tidak ada kejelasan tentang siapa yang akan mengamati, memverifikasi, atau menanggapi pelanggaran. Junta militer beroperasi tanpa kendali, sementara ASEAN memuji dirinya sendiri atas tindakan yang tidak berarti,” ujar Charles.

APHR mengatakan ASEAN harus menghentikan penggunaan bahasa yang samar dan deklarasi yang lemah serta menunjukkan kemauan politik yang nyata, menambahkan bahwa pernyataan kosong tanpa eksekusi hanya akan memperkuat kekejaman junta dan memperpanjang penderitaan rakyat Myanmar.

“Yang lebih meresahkan adalah penolakan ASEAN untuk terlibat dengan aktor politik Myanmar yang sah, termasuk Persatuan Nasional Pemerintah (NUG), organisasi revolusioner etnis, dan kelompok masyarakat sipil,” mengutip pernyataan tertulis APHR.

APHR juga mengatakan bahwa pernyataan gencatan senjata tersebut tidak menyebutkan akses lintas batas – kebutuhan mendesak untuk menjangkau masyarakat di luar kendali junta – dan tidak memberikan jaminan bahwa bantuan akan bebas dari manipulasi politik.

“Kita tidak dapat berbicara tentang bantuan kemanusiaan tanpa membahas siapa yang mengendalikan akses,” kata anggota Dewan APHR dan anggota parlemen Thailand Rangsiman Rome.

Menurutnya, ASEAN harus mendukung jalur kemanusiaan lintas batas yang dapat diandalkan yang beroperasi secara independen dari junta militer Myanmar karena mereka telah berulang kali memanipulasi bantuan untuk kepentingannya sendiri.

APHR pun mendesak ASEAN untuk segera menerjemahkan retorika menjadi strategi yang terkoordinasi dan konkret, yang mencakup keterlibatan formal dengan kelompok pro-demokrasi dan perlawanan etnis, jadwal gencatan senjata yang ditetapkan dengan jelas, pemantauan independen, dan akses kemanusiaan lintas batas tanpa hambatan.

APHR pun menegaskan bahwa yang paling penting adalah ASEAN harus menuntut akuntabilitas, bukan peredaan, dari mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman massal.

Diketahui bahwa setelah gempa bumi pada Maret 2025, junta militer Myanmar mengumumkan gencatan selama 20 hari dengan alasan kebutuhan kemanusiaan dan persatuan nasional.

Namun, menurut APHR, dalam waktu 24 jam serangan udara kembali terjadi dan menewaskan sedikitnya 68 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, serta menargetkan tempat penampungan pengungsi di wilayah Kachin dan Sagaing.

Pada KTT ASEAN ke-46 yang diselenggarakan pada 26-27 Mei 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia, ASEAN mengadopsi Pernyataan Pemimpin ASEAN tentang Gencatan Senjata yang Diperpanjang dan Diperluas di Myanmar.

Dalam pernyataan tersebut, para pemimpin ASEAN menilai gencatan senjata sebagai langkah awal menuju penghentian kekerasan dan menciptakan keamanan yang berkelanjutan di Myanmar.

Para pemimpin ASEAN berkomitmen untuk membantu Myanmar guna menemukan solusi damai dan langgeng untuk krisis yang sedang berlangsung dan menegaskan lagi bahwa Konsensus Lima Poin (5PC) tetap menjadi rujukan utama dalam mengatasi krisis politik di Myanmar.

Baca juga: APHR khawatir dengan rencana pertemuan PM Malaysia-junta Myanmar

Baca juga: APHR desak PM Malaysia perjuangkan perdamaian inklusif di Myanmar

Baca juga: APHR serukan aksi mendesak lindungi anggota parlemen pembela HAM

Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |