Apa masalahnya kalau kabinet Trump diisi banyak miliarder?

2 days ago 3

Jakarta (ANTARA) - Mantan menteri dan komentator politik Amerika Serikat Robert Reich menyatakan bahwa Presiden AS Donald Trump telah menciptakan pemerintahan oleh miliarder, dari miliarder, untuk miliarder.

Dalam akun resmi miliknya di YouTube yang ditayangkan sebelum pelantikan Trump awal tahun 2025, Reich mengingatkan bahwa Trump telah memilih sedikitnya 13 miliarder sebagai sosok untuk menjabat dalam pemerintahannya, melampaui kabinet Trump pertama (periode 2017-2021) sebagai kabinet terkaya yang pernah ada di AS.

Reich, yang pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja periode 1993-1997 di bawah Presiden Bill Clinton, mengemukakan bahwa calon-calon kabinet Trump saja memiliki kekayaan setidaknya 11 miliar dolar AS.

Jumlah itu bahkan belum termasuk ratusan miliar dolar AS kekayaan yang dimiliki dari penasihat non-resmi Trump, seperti Elon Musk.

Reich menegaskan bahwa “kekayaan mereka (para nominasi untuk kabinet Trump 2.0) sangat besar, tetapi masalah sebenarnya adalah potensi konflik kepentingan”.

Sepanjang sejarah perpolitikan di AS, sebenarnya isi kabinet kerap beragam yaitu bisa diisi oleh sosok berlatar belakang memiliki kekayaan banyak atau kelas atas. Namun pada suatu masa, kabinet pemerintahan Paman Sam lebih terwakili lebih kuat dari sosok berlatar belakang sederhana atau kelas menengah.

Sebagai contoh, kabinet yang sebagian besar terdiri atas sosok kelas menengah dapat ditemukan, antara lain, pada era Presiden Franklin D Roosevelt dan Jimmy Carter, yang kerap menerapkan kebijakan dengan reformasi ekonomi dan mobilitas sosial sebagai inti landasan pemerintahannya.

Kabinet yang dimiliki Trump (pada dua periode berbeda) sangat menonjol dengan banyaknya miliarder di dalamnya -- jauh lebih banyak dibandingkan berbagai kabinet sebelumnya dalam sejarah politik modern AS.

Tentu saja, pasti akan ada pihak yang bertanya, memang kenapa kalau para miliarder berada di kabinet? Belum lagi mereka yang sinis akan menuding bahwa para pakar hanya iri saja dengan kekayaan yang dimiliki para miliarder tersebut.

Sayangnya, analisis dari berbagai data sejarah membuktikan bahwa kabinet yang terdiri atas individu dengan jumlah kekayaan yang sangat besar kerap kali menjadi faktor pemicu kebijakan yang bakal menimbulkan sebuah krisis ekonomi yang hebat.

Sebagai contoh, peristiwa Depresi Besar tahun 1929 dan Krisis Finansial 2008 yang telah dibahas banyak sejarawan dan ekonom, terjadi karena adanya peran penting kebijakan deregulasi, atau yang sekarang biasanya dikenal dengan konsep neoliberalisme.

Meskipun konteks dan rincian kedua krisis tersebut berbeda, tetapi ada persamaan mengenai bagaimana kebijakan ekonomi yang berpusat pada deregulasi dan pendekatan berbasis pasar dalam menyebabkan ketidakstabilan finansial serius. Hal ini ujungnya mengakibatkan munculnya kedua krisis tersebut.


Kabinet "orang kaya"

Pertama-tama, tentu saja harus dijelaskan apa kaitannya antara kabinet yang diisi "orang-orang kaya" dengan dorongan pemerintah untuk membuat kebijakan yang bersifat deregulasi dengan pendekatan propasar ekstrem?

Golongan orang kaya dalam kabinet AS biasanya kerap berasal dari sektor-sektor seperti keuangan, manajemen perusahaan, dan perbankan investasi. Mereka cenderung menyukai kebijakan ekonomi yang selaras dengan kepentingan mereka.

Kebijakan-kebijakan ini biasanya menekankan efisiensi pasar, mengurangi intervensi pemerintah, dan menurunkan pajak khususnya bagi mereka yang berpendapatan tinggi—semuanya dapat disebut merupakan prinsip utama neoliberalisme.

Ketika orang-orang kelas atas menduduki posisi-posisi penting di kabinet, mereka sering kali mendorong kebijakan yang mendorong deregulasi, privatisasi, dan sistem pasar bebas karena kebijakan-kebijakan ini biasanya bakal kerap menguntungkan dunia usaha dan individu dengan kekayaan besar.

Anggota kabinet yang berasal dari latar belakang bank investasi, perusahaan besar, dan perusahaan ekuitas swasta, cenderung mendukung kebijakan-kebijakan ini karena dapat menurunkan biaya operasional, kebebasan yang lebih besar dalam praktik bisnis, dan keuntungan yang lebih tinggi dalam berbagai sektor yang mereka awalnya wakili.

Salah satu sifat kebijakan yang kerap disukai adalah deregulasi dan pemotongan pajak terhadap golongan tertentu, yang dilakukan antara lain dalam pemerintahan Reagan (1981-1989) yang menerapkan pemotongan pajak besar-besaran bagi industri yang dideregulasi (misalnya dalam sektor maskapai penerbangan, telekomunikasi, perbankan).

Di pemerintahan masa Clinton (1993-2001), ada kebijakan deregulasi pasar keuangan termasuk pencabutan UU Glass-Steagall (yang sebelumnya memisahkan perbankan komersial dan investasi).

Hal itu berlanjut kepada pemerintahan George W Bush (2001-2009), dengan berbagai kebijakan seperti pemotongan pajak bagi orang kaya, memperkuat deregulasi keuangan, serta mendorong kebijakan yang berpihak pada kepentingan korporasi, terutama saat Krisis Finansial 2008.

Terkait faktor kunci penyebab Krisis Finansial 2008, tercatat antara lain adalah deregulasi industri keuangan seperti pencabutan UU Glass-Steagal yang memungkinkan bank untuk terlibat dalam aktivitas keuangan yang lebih berisiko, seperti penciptaan dan perdagangan sekuritas berbasis hipotek (MBS) yang kompleks serta adanya kewajiban utang yang dijaminkan (CDO).

Selain itu, UU Modernisasi Berjangka Komoditi tahun 2000 semakin menderegulasi pasar derivatif, termasuk credit default swaps (CDS), yang berperan penting dalam memperburuk krisis.

Semua mekanisme yang berlandaskan keyakinan terhadap efisiensi dan gagasan bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri (prinsip utama neoliberalisme) itu ternyata menyebabkan meluasnya praktik keuangan berisiko, seperti subprime mortgage dan leverage yang berlebihan oleh lembaga keuangan.

Maka, tidak heran muncul fenomena housing bubble atau gelembung kredit perumahan di mana hipotek berisiko diberikan kepada individu dengan kelayakan kredit rendah (peminjam subprime).

Penjelasan mengenai hal ini memang membutuhkan waktu yang panjang, tetapi singkatnya, bank diberikan insentif untuk dapat memberikan pinjaman kredit perumahan kepada lebih banyak orang, meskipun mereka berisiko gagal bayar. Akhirnya, pecahlah gelembung itu dan terkuaklah krisis 2008.

Pasar mengatur sendiri

Bagaimana halnya dengan krisis Depresi Besar 1929? Sejumlah faktor kunci yang menyebabkan tragedi ekonomi global tersebut antara lain adalah pada tahun 1920-an, Amerika Serikat menerapkan kebijakan regulasi minimal terhadap pasar saham dan lembaga keuangan.

Gagasannya adalah bahwa pasar harus mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Dengan pemerintah yang tidak banyak mengatur pasar saham ketika itu, memungkinkan terjadinya spekulasi yang merajalela.

Investor membeli saham dengan prinsip margin (yaitu, meminjam uang untuk membeli lebih banyak saham), yang memperbesar risiko. Ketika harga saham mulai turun, masyarakat tidak dapat membayar kembali pinjaman mereka, sehingga menyebabkan kehancuran finansial yang meluas.

Saat pecah gelembung spekulatif dalam perekonomian tahun 1929, sejumlah besar orang menarik uang mereka dalam jumlah yang besar karena kekhawatiran akan kebangkrutan, yang selanjutnya mengganggu stabilitas perekonomian.

Satu hal lagi, Presiden AS kala itu, Herbert Hoover (1929-1933), adalah pendukung kebijakan untuk membatasi peran pemerintah dalam perekonomian. Pada masa pemerintahannya, terdapat pemotongan pajak bagi masyarakat golongan kaya dan upayanya untuk mengurangi pengeluaran pemerintah.

Akibatnya, kebijakan-kebijakan ini berkontribusi pada meningkatnya ketimpangan pendapatan, sementara spekulasi dan gelembung pasar saham sangat menguntungkan kelompok kaya. Ketika pasar ambruk, kelompok terkayalah yang paling terkena dampaknya, tetapi dampak keseluruhannya menyebabkan pengangguran massal dan kemiskinan.

Sedangkan dalam lingkaran dalam kabinet Hoover dapat ditemukan sejumlah orang yang berasal dari golongan "kaya raya", sebut saja sosok Menteri Keuangan Andrew Mellon, yang dikenal sebagai salah satu orang terkaya di AS saat itu. Kekayaan sang menkeu berasal dari dinasti perbankan dan industri keluarga Mellon yang luas, dengan saham di industri seperti aluminium, minyak, dan baja.

Sang Presiden Hoover sendiri juga merupakan seorang hartawan. Sebelum terjun ke dunia politik di AS, Hoover kaya raya sebagai seorang insinyur-pengusaha di sektor pertambangan.

Jadi, sulit untuk dipungkiri bahwa ketika Presiden AS memiliki lebih banyak orang kelas atas atau hartawan di kabinetnya, ada kecenderungan kuat bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan deregulasi-neoliberal yang berpihak pada pasar bebas dan kepentingan korporasi.

Dari berbagai studi dari sejarah perpolitikan dan perekonomian modern (termasuk di Amerika Serikat), telah terungkap bahwa berbagai krisis sektor keuangan besar yang berdampak secara global, lebih banyak diakibatkan oleh efek kebijakan bersifat propasar ekstrem atau keyakinan bahwa pasar dapat mengatur sendiri tanpa pengawasan pemerintah.

Tentu saja harus dimafhumi bahwa Kabinet Trump 2.0 yang diisi banyak miliarder, juga belum tentu ujung-ujungnya berpotensi mengakibatkan munculnya lagi sebuah krisis perekonomian yang berdampak global.

Namun, ada pola sejarah yang cenderung terus berulang, sebagaimana sebuah pepatah dari Prancis yang berbunyi "L’histoire se répète toujours".

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |