TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena belanja emas besar-besaran yang ramai diberitakan pekan lalu, ternyata belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Hingga saat ini, tren tersebut terus berlangsung dan turut memicu lonjakan tajam dalam volume pembelian emas di berbagai wilayah.
Antusiasme masyarakat untuk berinvestasi emas didorong oleh kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, yang disebabkan oleh gejolak geopolitik serta fluktuasi harga komoditas. Situasi tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola perilaku masyarakat Indonesia, termasuk dalam cara mereka mengambil keputusan finansial dan memilih instrumen investasi.
Dalam konteks ini, emas dipandang sebagai salah satu instrumen investasi yang paling aman, atau biasa disebut safe haven. Julukan tersebut diberikan karena emas cenderung memiliki nilai yang stabil di tengah fluktuasi pasar yang tidak menentu.
Selain memiliki tingkat likuiditas yang tinggi, emas juga dikenal tahan terhadap inflasi, sehingga dianggap efektif dalam menjaga nilai kekayaan seseorang dalam jangka panjang. Seiring dengan prediksi bahwa harga emas akan terus mengalami kenaikan, minat masyarakat terhadap logam mulia ini pun meningkat secara signifikan.
Fenomena pembelian emas ini juga menjalar ke ranah digital. Dikutip dari Antara, Jumat, 18 April 2025, PT Pegadaian sebagai induk dari Galeri 24 mencatat lonjakan transaksi emas digital melalui produk Tabungan Emas. Direktur Utama PT Pegadaian, Damar Latri Setiawan, menyampaikan bahwa selama bulan April 2025, transaksi Tabungan Emas mengalami peningkatan hingga empat kali lipat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap emas tidak hanya terbatas pada bentuk fisik, tetapi juga meluas ke instrumen investasi berbasis digital. Lonjakan aktivitas pembelian emas baik secara langsung maupun digital ini, selain didorong oleh faktor ekonomi dan keamanan investasi, juga tidak lepas dari pengaruh sosial dan psikologis yang saat ini banyak dikenal dengan istilah fear of missing out atau disingkat FOMO.
Mengenal FOMO dalam Konteks Sosial dan Investasi
Istilah FOMO sebenarnya bukanlah hal baru dalam perbincangan di media sosial maupun psikologi perilaku masyarakat. Kata ini pertama kali dikenal luas melalui platform Twitter sekarang X, dan digunakan untuk menggambarkan rasa takut seseorang akan tertinggal dari tren yang sedang berlangsung.
Dalam konteks yang lebih luas, FOMO merupakan respons emosional yang muncul ketika seseorang merasa bahwa orang lain sedang menikmati pengalaman yang lebih baik, memiliki pencapaian yang lebih tinggi, atau mendapatkan peluang penting yang ia lewatkan.
Menurut penjelasan dari Techtarget, FOMO dapat menyebabkan berbagai dampak psikologis seperti rasa tidak puas terhadap diri sendiri, stres, hingga depresi. Di era digital saat ini, kehadiran media sosial menjadi salah satu faktor utama yang memperkuat kecenderungan tersebut.
Pengguna media sosial kerap kali secara tidak sadar membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan “ideal” yang ditampilkan oleh orang lain dalam unggahan-unggahan di platform tersebut. Hal ini menciptakan tekanan psikologis untuk terus mengikuti tren terbaru, termasuk dalam hal konsumsi dan investasi.
Ketika seseorang merasa khawatir ketinggalan informasi atau kesempatan, ia akan terdorong untuk terus memantau media sosial, memperbarui informasi secara berlebihan, dan bahkan mengambil keputusan tanpa perhitungan yang matang hanya demi bisa “ikut serta” dalam suatu tren.
Dalam kasus belanja emas, FOMO dapat memicu orang untuk membeli emas bukan karena kebutuhan atau rencana investasi yang terstruktur, melainkan karena takut ketinggalan peluang yang sedang ramai diperbincangkan oleh orang-orang di sekitar mereka.
Meski fenomena FOMO baru populer dalam satu dekade terakhir, konsep dasarnya telah diteliti sejak lama. Salah satu peneliti awal yang mengamati kecenderungan ini adalah Dan Herman, seorang ahli strategi pemasaran, pada 1996. Kemudian pada 2004, Patrick McGinnis, mahasiswa Harvard Business School, memperkenalkan istilah tersebut secara luas melalui sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar kampus The Harbus.
Dalam artikelnya, McGinnis awalnya mengenalkan istilah FOBO (Fear of Better Option) untuk menggambarkan kesulitan individu dalam membuat keputusan akibat keinginan mencari pilihan yang paling sempurna. Namun belakangan, ia dan teman-temannya menyadari bahwa lebih dari sekadar takut salah memilih, mereka merasakan ketakutan kehilangan kesempatan yang belum tentu terjadi, yang kemudian diistilahkan sebagai FOMO.
Sejak saat itu, FOMO menjadi topik yang menarik untuk dikaji oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu. Istilah ini bahkan dimasukkan ke dalam kamus-kamus utama pada era 2010-an, dan menjadi kandidat kuat untuk “Word of the Year” versi American Dialect Society pada tahun 2011.
Fani Ramadhani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Fenomena FOMO Bareng Borong Emas Saat Harga Naik