Alasan AS Terapkan Tarif Impor Baru yang Tinggi untuk Produk Indonesia

6 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu geger usai mengumumkan kebijakan tarif impor baru terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Salah satu sorotan publik adalah kabar bahwa produk tekstil dan pakaian asal Indonesia dikenakan tarif hingga 47 persen. Namun, Kementerian Perdagangan meluruskan bahwa angka tersebut belum sepenuhnya berlaku saat ini.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, menyampaikan bahwa tarif sebesar 47 persen bukanlah tarif yang sedang diberlakukan saat ini. Ia menjelaskan, besaran tarif terhadap produk tekstil dan pakaian Indonesia saat ini berkisar antara 15–30 persen, yang berasal dari tarif awal sebesar 5–20 persen ditambah tarif dasar baru (new baseline tariff) sebesar 10 persen yang berlaku sejak 5 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami luruskan, bukan 47 persen, melainkan (untuk tekstil) 15–30 persen,” ucap Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono di Kementerian Perdagangan, Jakarta seperti dikutip dari Antara, Senin, 21 April 2025.

Kebijakan tarif impor baru Amerika Serikat terdiri dari tiga jenis, yakni tarif dasar baru, tarif sektoral, dan tarif resiprokal. Untuk Indonesia, tarif resiprokal sebesar 32 persen memang telah diumumkan, namun belum diberlakukan karena ada masa penundaan selama 90 hari yang dimulai sejak 9 April 2025.

Jika tarif resiprokal sebesar 32 persen nantinya benar-benar diterapkan, maka total tarif impor untuk produk tekstil dan pakaian asal Indonesia dapat mencapai 37–52 persen. Hal ini disebabkan oleh penggabungan tarif awal (5–20 persen) dengan tarif resiprokal, menggantikan tarif dasar baru yang sebelumnya diberlakukan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi persnya menyebut tarif rata-rata untuk produk garmen asal Indonesia dapat mencapai 47 persen. Pernyataan ini memicu perbincangan luas di media sosial.

“Maka, dengan diberlakukannya 10 persen tambahan (selama 90 hari), tarifnya itu menjadi 10 persen ditambah 10 persen ataupun 37 persen ditambah 10 persen,” kata Airlangga dilansir dari Sumbar Antaranews, Jumat, 18 April 2024.

Meski kebijakan ini dikhawatirkan akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia, pemerintah melihat peluang tersembunyi. Menurut Djatmiko, penerapan tarif ini justru berpotensi menarik investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia, terutama jika kebijakan tersebut diterapkan secara global oleh AS.

“Diprediksi akan meningkatkan aliran investasi asing ataupun Foreign Direct Investment apabila tarif ini diberlakukan," ujar Djatmiko.

Hal senada disampaikan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa tarif resiprokal AS bisa menjadi momen repositioning perdagangan global, sehingga Indonesia dapat menarik perusahaan asing untuk menjadikan Tanah Air sebagai basis produksi regional.

Dari sisi diplomasi, pemerintah Indonesia telah mengirimkan delegasi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi. Dalam perundingan, Indonesia menawarkan peningkatan pembelian energi dari AS, termasuk LPG, crude oil, dan gasoline, serta kerja sama di sektor pendidikan, teknologi, dan layanan keuangan. Pemerintah juga mendorong agar negosiasi difokuskan pada skema business to business dan tarif impor yang lebih kompetitif dibanding negara-negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

“Kami meminta ini agar diberikan secara lebih adil dan juga kami tidak diberikan tarif yang lebih tinggi,” ujarnya lagi.

Sebagai catatan, kebijakan tarif resiprokal dari pemerintahan Trump juga menyasar negara ASEAN lainnya, dengan angka bervariasi: Kamboja 49 persen, Vietnam 46 persen, Thailand 36 persen, Malaysia 24 persen, Filipina 17 persen, dan Singapura 10 persen.

Dengan masih adanya masa penundaan, pemerintah Indonesia masih memiliki waktu untuk terus melakukan pendekatan diplomatik dan mengamankan kepentingan ekspor nasional.

Alif Ilham Fajriadi turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Cina Peringatkan Negara Mitra Dagang Tak Menyerah ke AS

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |