Peringati 27 Tahun Reformasi, Amnesty Sebut Banyak Erosi HAM

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty Internasional Indonesia menyebut, peringatan 27 tahun reformasi diwarnai oleh banyaknya erosi hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan melalui pengabaiam dan pengulangan kasus pelanggaran HAM.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, pengabaian dan pengulangan pelanggaran itu dilakukan melalui penerapan kebijakan dan praktik otoriter yang melemahkan kebebasan sipil, politik, dan keadilan sosial. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ketika hukum dan praktik otoriter berkembang biak demi kepentingan segelintir orang, negara dan masyarakat sipil harus segera bekerja sama untuk melindungi kembali hak asasi sebagai amanat reformasi," kata Usman dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Rabu, 21 Mei 2025. 

Merujuk catatan Freedom House, kata dia, Indonesia telah mengalami penurunan tajam dalam urusan kebebasan sipil dan bak politik. Ini ditunjukkan dengan turunnya indeks demokrasi Indonesia dari angka 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024. 

Syahdan, kata Usman, World Press Freedom Index 2025 pada 3 Mei lalu juga mencatat merosotnya indeks kebebasan pers di Indonesia yang menempati urutan ke 127 dari 180 negara. 

"Economist Intelligence Unit (EIU) juga masih menilai Indonesia sebagai demokrasi cacat," ujar dia.  

Laporan terbaru V-Dem Institute, dia melanjurkan, juga mencatat Indonesia tergelincir dari status demokrasi elektoral menjadi otokrasi elektoral. 

Kemerosotan tersebut, Usman menjelaskan, terjadi karena Indonesia menjauhi cita-cita reformasi dengan melemahnya supremasi hukum, HAM, otonomi daerah, hingga jaminan kebebasan sipil maupun pers. 

“Jangankan Tragedi 1965/1966 atau Tragedi Tanjung Priok 1984, penembakan mahasiswa Trisakti, pembakaran anak-anak miskin kota dan pemerkosaan masal Mei 1998 yang tidak terlalu lama saja luput dari supremasi hukum," kata dia. 

Luputnya pelbagai peristiwa penting itu, Usman mengatakan, juga kian terancam dengan adanya upaya penulisan ulang sejarah yang digodok oleh Kementerian Kebudayaan. 

Pun, dia menambahkan, erosi HAM dalam konteks kebebasan politik juga terlihat pada kasus-kasus serangan terhadap kebebasan sipil maupun pers. Kasus terakhir, aparat menangkap mahasiswi seni rupa ITB yang membuat meme Presiden dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda 12 miliar rupiah.  

Selain itu, kebebasan berkesenian juga terancam sebagaimana dialami pelukis Yos Soeprapto di Jakarta, teater “Wawancara dengan Mulyono” di Bandung dan band Sukatani dari Purbalingga belum lama ini.

Amnesty International Indonesia, kata dia, mencatat terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban selama rentang waktu 2019-2024. 

Pelaku didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban). Terakhir, aparat menangkap mahasiswa Universitas Diponegoro dengan pasal “penyekapan” saat Aksi MayDay. 

Di area legislasi, Usman melanjutkan, KUHP baru yang digodok DPR masih berpotensi membungkam kritik, termasuk pasal anti makar, penodaan agama, penghinaan dan pencemaran nama baik pejabat dan institusi negara.  

"Begitu juga rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU Polri juga lebih terlihat seperti perebutan wewenang antara kepolisian dan kejaksaan tanpa mementingkan jaminan HAM," kata mantan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti itu.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |