Jakarta (ANTARA) - Fenomena dentuman dan munculnya bola api di langit Cirebon pada Minggu malam (5/10) lalu ramai diperbincangkan. Banyak warga yang melaporkan telah mendengar suara ledakan keras dan melihat cahaya terang melintas di langit kawasan Kabupaten Kuningan dan Cirebon.
Menanggapi hal tersebut, Profesor Astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin menjelaskan bahwa peristiwa itu disebabkan oleh jatuhnya meteor berukuran cukup besar di wilayah Laut Jawa. Meteor tersebut diperkirakan melintas dan jatuh antara pukul 18.35 hingga 18.39 WIB.
Menurutnya, dentuman yang terdengar masyarakat merupakan gelombang kejut (shockwave) akibat proses masuknya meteor ke lapisan atmosfer yang lebih rendah. Saat meteor menembus atmosfer dengan kecepatan tinggi, gesekan udara menimbulkan tekanan besar yang menyebabkan sebagian meteoroid terbakar dan menghasilkan suara serta cahaya kuat.
Perbedaan meteoroid, meteor, dan meteorit
Untuk memahami fenomena ini, terdapat tiga istilah yang sering digunakan dalam astronomi, yakni meteoroid, meteor, dan meteorit, yang memiliki arti berbeda.
Meteoroid merupakan batuan luar angkasa berukuran bervariasi, mulai dari butiran debu hingga asteroid kecil. Batuan ini biasanya berasal dari pecahan benda langit yang lebih besar, seperti komet, asteroid, bulan, atau planet lain, dan bisa tersusun atas batu, logam, atau campuran keduanya.
Kemudian, meteor adalah meteoroid yang masuk ke atmosfer Bumi atau planet lain dengan kecepatan tinggi hingga terbakar dan memancarkan cahaya terang. Fenomena ini kerap disebut “bola api” atau “bintang jatuh.”
Sementara, meteorit merupakan bagian meteoroid yang berhasil menembus atmosfer dan mencapai permukaan tanah Bumi. Ukurannya biasanya berkisar dari sebesar kerikil hingga sebesar kepalan tangan atau kurang dari setengah kilogram. Karena tekanan udara yang sangat kuat, hanya sekitar kurang lima persen meteorit yang dapat bertahan dan jatuh di permukaan Bumi.
Alasan dan proses jatuhnya meteor ke Bumi
Secara umum, meteoroid bergerak mengelilingi Matahari sebagaimana Bumi dan planet lainnya, masing-masing dengan orbit tertentu. Meteor akan muncul ketika orbit meteoroid bertemu dengan orbit Bumi, sehingga batuan luar angkasa tersebut masuk ke atmosfer dan terbakar karena gesekan udara. Hal ini menjadi alasan meteor bisa masuk dan jatuh ke Bumi.
Kendati demikian, tidak semua meteoroid berhasil mencapai permukaan tanah Bumi. Dilansir dari Space, sekitar 90-95 persen meteoroid terbakar habis di atmosfer akibat tekanan dan suhu ekstrem. Hal ini yang menyebabkan meteor terlihat seperti garis cahaya terang di langit malam, bahkan cahayanya dapat melampaui terangnya planet Venus.
Lalu, hanya sebagian kecil meteor yang juga mampu bertahan melawan tekanan atmosfer dan akhirnya jatuh ke Bumi. Meteor dengan kondisi tersebut baru disebut sebagai meteorit.
Sebagian besar meteorit yang ditemukan di Bumi mayoritas berasal dari sabuk asteroid, yakni kumpulan batuan kecil berdiameter sekitar 1.000 kilometer yang mengorbit Matahari di antara planet Mars dan Jupiter. Lalu, sebagian kecil meteorit lainnya berasal dari Bulan dan Mars.
Dalam beberapa kondisi, meteorit yang jatuh di wilayah darat sangat sulit dibedakan dengan batuan biasa yang sudah ada di Bumi, kecuali sudah diketahui proses titik jatuhnya meteorit.
Sebaliknya, meteorit lebih mudah dikenali apabila jatuh di wilayah gurun, gletser, atau area dengan sedikit batuan alami, seperti lautan, hamparan es, atau tanah tandus.
Fenomena jatuhnya meteor di Laut Jawa ini sekaligus menjadi pengingat bahwa Bumi terus berinteraksi dengan benda-benda langit di luar angkasa. Meski sebagian besar meteor habis terbakar di atmosfer, peristiwa seperti di Cirebon ini tetap perlu menjadi bahan kajian penting bagi para peneliti astronomi.
Baca juga: Polisi selidiki lokasi fenomena dugaan meteor jatuh di Cirebon
Baca juga: Dentuman dan bola api Cirebon, BRIN: Meteor besar jatuh di Laut Jawa
Baca juga: Mengenal jenis-jenis gempa bumi berdasarkan penyebabnya
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.