TEMPO.CO, Jakarta - Mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengaku bahwa perusahaan tersebut melakukan perbudakan anak dan kekerasan sistematis selama puluhan tahun. “Ini eksploitasi, perbudakan, ada kekerasan, ada penyiksaan. Bagi saya, ini sudah memenuhi kualifikasi pelanggaran HAM berat,” kata Muhammad Soleh sebagai kuasa hukum para korban dugaan perbudakan, pekan lalu.
Oriental Circus Indonesia (OCI) akan mengambil langkah hukum atas tuduhan eksploitasi anak dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap puluhan eks pemain sirkusnya. Pernyataan itu disampaikan oleh Tony Sumampau, salah satu pendiri Taman Safari Indonesia dan perwakilan dari pendiri OCI.
“Iya, kami akan upayakan,” katanya kepada sejumlah awak media di bilangan Melawai, Jakarta Selatan, Kamis, 17 April 2025. Tony, mewakili OCI, telah menyangkal terjadinya bentuk kekerasan seperti pemukulan, penyetruman, dan pemisahan ibu dengan anak. OCI sendiri bubar pada 2019.
Berita mengenai dugaan perbudakan itu sempat menyita perhatian publik.
Dalam lintasan zaman, perbudakan telah ada sejak lama, bahkan saat abad ke-16 dengan melibatkan kolonialisme oleh bangsa Eropa dan orang-orang Amerika. Bagaimana sejarah perbudakan dan perlawanannya?
Sejarah Perbudakan Dunia
Dilansir dari laman Library of Congress, fenomena perbudakan di masa lalu banyak melibatkan bangsa Afrika. Orang Afrika bermigrasi dari kawasan asal dimulai pada awal zaman kolonialisme. Pada awal tahun 1500-an, orang Afrika menjelajah di banyak wilayah di Amerika Utara, Tengah, dan Selatan yang diklaim oleh Spanyol dengan sebagian datang sebagai budak. Di Amerika, banyak orang Afrika datang karena negara-negara Eropa semakin berupaya membangun koloni jangka panjang di Amerika.
Orang-orang Afrika terperangkap dalam perdagangan budak transatlantik, jaringan perdagangan internasional dan penderitaan manusia yang menjerat Eropa, Amerika, dan Afrika. Perluasan perdagangan budak lintas Atlantik merenggut kesejahteraan masyarakat Afrika dan mendatangkan korban jiwa yang tidak terkira. Seiring dengan meluasnya koloni Eropa di Amerika, pemerintah mereka semakin melirik Afrika sebagai sumber tenaga kerja murah untuk menggerakkan pertanian, pertambangan, dan perkebunan yang sedang berkembang.
Ketika orang-orang Afrika pertama kali mendatangi Amerika Utama, mereka menghadapi perbudakan. Selama sebagian besar abad ke-17 dan ke-18, perbudakan adalah hukum di setiap dari 13 koloni, baik di Utara maupun Selatan. Impor tawanan untuk perbudakan diatur dalam Konstitusi AS dan terus berlangsung selama skala besar, bahkan setelah dinyatakan ilegal pada 1808.
Sistem perbudakan menjadi mesin utama kemandirian finansial di Amerika. Pada 1790, jumlah orang yang diperbudak di Amerika Serikat berjumlah kurang dari 700.000 orang, sementara pada 1830 jumlahnya lebih dari 2 juta. Orang Afrika membawa keterampilan dan perdagangan dari tempat kelahiran mereka ke Amerika Utara untuk membentuk industri dan pertanian di benua tersebut.
Bentuk Perlawanan dan Penghapusan
Walaupun telah menjadi hukum negara selama 300 tahun, perbudakan di Amerika ditentang oleh para budak karena tidak dapat diterima secara moral. Banyak orang Afrika-Amerika yang menentang sistem perbudakan dengan meninggalkannya. Upaya melarikan diri berbahaya yang dilakukan budak dicegah oleh pemilik buronan dengan memasang hadiah buron. Para budak dibantu oleh orang-orang yang diperbudak di pertanian dan perkebunan di dekatnya dan oleh jaringan orang Afrika-Amerika dan Eropa-Amerika yang bebas.
Bentuk perlawanan yang paling ditakuti pemilik budak adalah pemberontakan dengan kekerasan. Sepanjang sejarah perbudakan, budak Afrika dan Afrika-Amerika yang diperbudak mengangkat senjata dan melawan penculik mereka. Pada awal abad ke-19, terjadi serangkaian pemberontakan bersenjata di Louisiana, South Carolina, hingga Florida.
Orang Afrika-Amerika yang menjadi budak dan berhasil bebas lantas berupaya menyerukan seruan untuk menghapus perbudakan. Mereka membentuk perkumpulan abolisionis loka, regional, dan nasional untuk berkeliling negara tanpa henti. Tim pembicara publik dibentuk dan dikirim ke tempat-tempat yang bermasalah, termasuk Frederick Douglass, William Wells Brown, dan Isabella Baumfree, yang lebih dikenal sebagai Sojourner Truth.
Beberapa aktivis Afrika-Amerika melanjutkan perjuangan dengan cara yang tidak terlalu terbuka, bekerja secara rahasia dan merencanakan penyerbuan yang berani untuk membebaskan para buronan dari para penculik dan massa yang menghakimi. Yang lainnya melakukan perjalanan jauh ke wilayah yang bermusuhan, membimbing para buronan menuju kebebasan melalui jaringan luas para pembantu yang simpatik dan tempat-tempat persembunyian yang dikenal sebagai Underground Railroad.
Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Korban Sirkus OCI Ungkap Tak Pernah Terima Santunan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini