Lika-liku Upaya Legalisasi Ganja Medis di Indonesia

2 days ago 6

Jakarta, CNN Indonesia --

Upaya melegalkan tanaman ganja untuk kepentingan medis kembali mengemuka setelah Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Marthinus Hukom beserta jajaran bertandang ke Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (15/4).

Marthinus menjelaskan dalam pertemuan itu turut membahas legalisasi ganja medis hingga pemanfaatan tanaman kratom.

Menurut dia, pembahasan itu penting dilakukan karena ada beberapa kelompok yang menghubungkan legalisasi ganja dan tanaman kratom dengan hak asasi manusia (HAM). Terlebih, negara lain sudah melegalisasi kedua tanaman tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang kedua juga kami berbicara tentang bagaimana isu-isu contohnya yang krusial hari ini seperti legalisasi ganja dan legalisasi kratom," ujar Marthinus di Kantor Kementerian HAM.

Sementara itu, Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan sampai saat ini kementeriannya tetap menolak ganja karena termasuk narkotika golongan I dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Selama ganja belum dikeluarkan dari golongan I, Pigai menyatakan kementeriannya tetap tegas untuk melarang pemanfaatan tanaman tersebut.

"Kami tetap menolak sesuai UU dan keputusan MK," kata Pigai saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis.

Pertemuan antara Kepala BNN dan Menteri HAM digelar tak lama setelah anak penderita lumpuh otak atau cerebral palsy, Pika Sasi Kirana, mengembuskan napas terakhir pada 18 Maret 2025.

Sejak kecil Pika termasuk keluarganya harus menghadapi tantangan yang berat. Pika menderita kelainan otak Japanese encephalitis- membuatnya harus bergantung pada perawatan intensif sepanjang hayat.

Pika terhalang aturan dan akses untuk memanfaatkan ganja sebagai sarana meredakan sakit yang diderita. Ibunya, Santi Warastuti, tak henti memperjuangkan hak kesehatan bagi anaknya. Mulai dari bersuara di jalan hingga lewat Mahkamah Konstitusi (MK).

Lantas, apakah pertemuan yang dilakukan oleh Kepala BNN dengan Menteri HAM menjadi oase atau justru ini sekadar angin lalu saja?

Penggolongan ganja

Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu The UN Commission on Narcotic Drugs (CND) mengeluarkan ganja dan resin ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Keputusan itu berdasarkan voting terhadap beberapa rekomendasi organisasi kesehatan dunia atau WHO terkait perubahan sistem penggolongan narkotika khususnya untuk ganja dan turunannya.

Berdasarkan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, narkotika yang berada dalam golongan IV disebut memiliki manfaat medis yang terbatas, namun tingkat ketergantungan dan potensi penyalahgunaannya sangat tinggi.

Hal itu membuat ganja termasuk dalam subjek kontrol yang paling ketat jika dibandingkan dengan narkotika golongan I sampai golongan III.

Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari golongan IV, sebagaimana dijelaskan dalam uraian rekomendasi WHO, ganja tidak lagi disamakan dengan heroin atau opioid yang memiliki ancaman risiko tertinggi hingga menyebabkan kematian.

Sebaliknya, manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari tanaman ganja semakin diakui yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai langkah yang diambil PBB tersebut cukup berpengaruh terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun pemanfaatannya dalam dunia medis.

ICJR yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar Pemerintah Indonesia mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri.

"Sebagai langkah konkret, pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis," demikian dilansir dari laman ICJR, 3 Desember 2020.

Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Musri Musman menyatakan senyawa kanabinoid pada ganja tidak memberikan efek kecanduan maupun memabukkan.

Ia memastikan kanabinoid mampu mengobati penderita cerebral palsy terutama meredakan tumor hingga kejang.

"Sudah ditemukan bukti bahwa pemberian 300 miligram hingga 600 miligram (CBD) per hari kepada penderita cerebral palsy tidak mendatangkan mabuk, tidak membahayakan, tidak mendatangkan adiksi, tidak menunjukkan withdrawing atau exit daripada pemberian yang terlampau besar," kata Musri dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR, Jakarta, Kamis, 30 Juni 2022.

Seruan legalisasi ganja

Tanaman ganja secara medis dianggap memiliki potensi untuk menyembuhkan. Hal itu karena ganja memiliki senyawa kanabinoid yang berpotensi menjadi obat. Senyawa ini juga terdapat dalam sistem saraf serta imun manusia dan hewan.

Kendati demikian, legalisasi ganja terutama untuk kepentingan medis di Indonesia belum mencapai kata sepakat.

Indonesia masih memasukkan ganja dan turunannya sebagai golongan I atau zat berbahaya dalam Undang-undang Narkotika.

Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, ikhtiar melegalisasi ganja terutama untuk kepentingan medis mulai diserukan pada tahun 2012.

Pada 5 Mei 2012, seratusan pemuda-pemudi yang tergabung dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara (LGN) menggelar aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, bertajuk 'Global Marijuana March'- aksi serentak di seluruh dunia dengan turun ke jalan untuk menuntut legalisasi ganja.

Aksi tersebut digelar rutin setiap Sabtu pertama bulan Mei.

Dalam aksi itu, LGN membawa spanduk sepanjang 3 meter yang bertuliskan 'Legalisasi Ganja'.

"Ini adalah aksi solidaritas kami. Siapa pun orangnya, apa pun tantangannya, karena ini adalah kebenaran," kata Pendiri LGN Dhira Narayana.

Selain mendesak dilakukannya legalisasi ganja oleh Pemerintah Indonesia, LGN juga meminta agar para pengguna ganja yang terseret hukum untuk direhabilitasi bukan dipidana penjara.

Kisah Fidelis

Bertahun-tahun kemudian, legalisasi ganja medis kembali disorot saat seorang warga bernama Fidelis Arie Sudewarto alias Nduk diproses hukum atas kepemilikan 39 tanaman ganja.

Bukan tanpa sebab Fidelis menanam tanaman yang dilarang pemanfaatannya berdasarkan hukum positif di Indonesia itu.

Ia yang ketika itu merupakan seorang PNS menanam ganja untuk mengobati istrinya Yeni Riawati yang menderita penyakit syringomyelia- kondisi medis yang ditandai dengan pembentukan kista berisi cairan di dalam sumsum tulang belakang.

Sakit itu diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan di RS Soedarso Pontianak.

Penyakit langka tersebut hanya bisa disembuhkan lewat operasi. Namun, karena Yeni sudah sangat lemah, operasi tidak mungkin dilakukan.

Singkat cerita, Fidelis mengumpulkan informasi bagaimana menyembuhkan penyakit istrinya tersebut. Dia mulai melakukan ekstraksi ganja. Mulai dengan mencampuri ke dalam makanan, minuman, sampai dengan menjadikannya minyak oles pada luka.

Fidelis kemudian melihat perkembangan signifikan istri tercintanya usai memberi ekstrak ganja itu. Dari yang sulit makan, perlahan mulai lahap. Dari yang mulai sukar bicara, perlahan mulai lancar bicara.

Tindakan Fidelis tersebut dilakukan di saat negara belum mampu menjamin pemenuhan kepentingan warganya atas pemanfaatan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Narkotika.

Fidelis mulai ditahan pada 19 Februari 2017 oleh BNNK Sanggau, Kalimantan Barat. Sejak ditinggal Fidelis, kondisi Yeni berangsur-angsur menurun dan dia meninggal pada 25 Maret 2017.

Fidelis dituntut lima bulan penjara dan denda Rp800 juta subsider satu bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sanggau menjatuhkan hukuman lebih berat yakni delapan bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu bulan kurungan.

Kisah Musa & Pika

Musa IBN Hassan Pedersen yang merupakan putra dari Dwi Pertiwi meninggal dunia pada 26 Desember 2020 setelah berjuang selama 16 tahun hidup dengan kondisi cerebral palsy.

Dilansir dari laman ICJR, sakit yang diderita Musa berawal dari pneumonia saat masih berusia 40 hari (bayi). Terdapat kekeliruan dalam pemberian diagnosis dan pengobatannya. Pneumonia tersebut terus berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak.

Pada tahun 2016, Musa sempat mendapat pengobatan atau terapi menggunakan ganja di Australia. Satu bulan melakukan itu ternyata membuahkan hasil yang sangat signifikan untuk kondisi kesehatannya, bahkan Musa sama sekali tidak lagi mengalami kejang.

Selama waktu tersebut Musa bisa lepas dari penggunaan obat-obatan dokter yang biasa dikonsumsinya. Menurut ibunya, dalam kondisi itu Musa lebih mudah mengeluarkan phlegm dari dalam paru-parunya tanpa harus bersusah payah seperti yang terjadi di ujung hayatnya.

Ketika kembali ke Indonesia, Musa tidak dapat melanjutkan pengobatan dengan ganja tersebut karena UU Narkotika melarang penggunaan narkotika golongan I termasuk ganja untuk pelayanan kesehatan. Ditambah lagi sebelumnya ada kasus hukum yang menjerat Fidelis menghantui Dwi.

Setelah Musa, anak penderita cerebral palsy lainnya yaitu Pika Sasi Kirana meninggal dunia pada 18 Maret 2025. Putri dari Santi Warastuti itu mengembuskan napas terakhir di usia 16.

Santi mengetahui Pika mengalami lumpuh otak saat putrinya itu duduk di bangku TK. Suatu hari, Santi mendapat kabar dari pihak sekolah yang menginformasikan Pika sedang dalam kondisi yang tidak baik.

Santi lantas membawa Pika pulang untuk beristirahat. Kekhawatiran terjadi saat Pika kejang-kejang. Ketika dibawa ke salah satu rumah sakit di Denpasar, Pika didiagnosis mengidap cerebral palsy.

Dari beberapa pemberitaan media, Santi mengaku mendapat pengetahuan soal ganja medis dari Dwi Pertiwi, ibunda Musa.

Semasa hidup, Santi sempat membawa Pika terapi di Kampung Musmus Therapy Centre.

Penggunaan ganja untuk pengobatan tak bisa terus dilakukan. Ketakutan terhadap kasus hukum yang dialami Fidelis menjadi latar belakangnya.

Berita lanjutan di halaman berikutnya...


Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |