TEMPO.CO, Jakarta - Megawati Soekarnoputri selalu terpilih menjadi Ketua Umum atau Ketum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak Kongres PDIP pertama hingga Kongres terakhir alias ke-5 pada 2019. Agenda lima tahunan itu mestinya digelar pada 2024, namun ditunda dan rencananya akan dilaksanakan pada April 2025 ini.
Lantas, akankah Megawati kembali ditunjuk sebagai Ketua Umum PDIP dalam Kongres PDIP ke-6 ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai informasi, hingga sejauh ini belum ada kepastian terkait tanggal pelaksanaan Kongres PDIP ke-6. PDIP juga belum memastikan pelaksanaan kongres akan berlangsung pada April. Juru bicara PDIP Guntur Romli menyebut hingga saat ini belum ada keputusan waktu dan tempat pelaksanaan kongres tersebut.
“Sampai sekarang belum ada update terkait pelaksanaan kongres, kapan dan di mana pelaksanaannya,” ujar Guntur Romli saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Sabtu, 5 April 2025.
Kongres PDIP ditunda pada 2024 lantaran padatnya agenda politik nasional pada tahun Pemilu tersebut, termasuk Pilpres dan Pileg hingga Pilkada. Alasan ini diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, Ahmad Basarah, di Beach City International Stadium (BCIS), Ancol, Jakarta Utara, Jumat 24 Mei 2024 lalu.
“Karena kebetulan jadwal kongres dilaksanakan pada tahun 2019, tetapi karena agenda-agenda nasional lainnya termasuk pelaksanaan Pilpres dan Pileg kemarin, dan November nanti kita akan melaksanakan Pilkada serentak,” ujar Basarah.
Jejak Megawati selalu terpilih sebagai Ketum dalam Kongres dan peluang digantikan pada Kongres ke-VI
Megawati Soekarnoputri pertama kali terpilih sebagai Ketua Umum PDIP dalam Kongres perdana pada 1993 yang digelar di Surabaya, Jawa Timur. Kala itu, PDI, nama lama PDIP—yang telah dibentuk sejak 10 Januari 1973, sering mengalami konflik internal, yang kian keruh buntut campur tangan pemerintahan Orde Baru atau Orba.
Perselisihan di dalam PDI mencapai puncaknya saat Megawati diusulkan sebagai Ketua Umum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo pada 2-6 Desember 1993. Pemerintahan Orba saat itu melarang dukungan terhadap pencalonan Megawati. Namun larangan itu diabaikan loyalis Megawati dan secara de facto menetapkannya sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998.
Kendati Megawati sudah dinobatkan jadi ketua umum, nyatanya hal itu tak meredam konflik internal PDI. Konflik terus terjadi hingga diadakan Kongres pada 22-23 Juni 1996 di Asrama Haji Sukolilo, Medan. Pada 20 Juni 1996 para pendukung Megawati Soekarnoputri melakukan unjuk rasa hingga bentrok dengan aparat keamanan yang menjaga kongres.
Pada 15 Juli 1996, Presiden Soeharto mengukuhkan Suryadi sebagai Ketum PDI. Pendukung Megawati kemudian menggelar Mimbar Demokrasi di halaman kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996. Demo berakhir bentrok setelah pendukung Suryadi muncul. Peristiwa itu dikenal dengan Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Peristiwa Kudatuli.
Buntut peristiwa tersebut, PDI di bawah pimpinan Suryadi hanya mendapat 11 kursi DPR. Setelah pemerintahan Soeharto lengser saat reformasi 1998, PDI mulai menguat. Terutama karena pimpinan diambil alih lagi oleh Megawati. Megawati kemudian ditetapkan lagi sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 pada Kongres di Denpasar, Bali.
Agar dapat mengikuti Pemilu, Megawati lalu mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan (PDIP) pada 1 Februari 1999. Nama tersebut disahkan oleh Notaris Rahmat Syamsul Rizal dan kemudian dideklarasikan pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta. Kemudian pada Kongres pada 27 Maret hingga 1 April, Megawati terpilih lagi jadi Ketua Umum hingga 2005.
Kongres IV PDIP digelar di Bali pada 8-12 April 2015, Megawati kembali dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDIP periode 2015-2020. Sedangkan Kongres V PDIP digelar pada 2019 di Bali juga menetapkan Megawati sebagai pucuk pimpinan partai untuk periode 2019-2024. Setelah tertunda, rencananya Kongres ke-VI akan dilaksanakan pada April ini.
Lantas akankah pada Kongres PDIP ke-6 ini Megawati akan tetap dipilih menjadi Ketua Umum lagi? Kemungkinan Megawati tak lagi menjabat Ketum PDIP berdesus pada Mei tahun lalu dalam Rakernas V PDIP di kawasan Ancol, Jakarta Pusat. Kala itu Megawati berseloroh meminta putrinya, Puan Maharani, untuk menggantikan posisinya sebagai Ketua Umum.
“Gantian lah sama saya. Saya deh yang jadi ketua DPR, kamu yang jadi ketua umum,” kata Megawati pada Jumat, 24 Mei 2024, disambut sorak-sorai hampir sekitar 5.000 kader yang hadir.
Namun, peluang estafet kepemimpinan PDIP dari Megawati ke Puan itu dibantah Ketua DPP PDIP Said Abdullah. Menurut Said, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat ini masih sulit digantikan di jabatannya dalam waktu dekat. Said mengklaim bahwa para kader PDIP baik di anak ranting maupun akar rumput masih menginginkan Megawati untuk menjabat ketua umum.
“Sementara ini kalau membaca arus bawah, kita tahu bersama akan kesulitan PDIP untuk ada estafet dalam waktu dekat, akan ada kesulitan,” kata Said di sela-sela rapat kerja nasional atau Rakernas V PDIP di Ancol, Jakarta Utara pada Sabtu, 25 Mei 2024.
Selain itu, Said juga membicarakan pernyataan Megawati yang meminta Puan untuk menjadi ketua umum partai. Menurut Said, pernyataan Megawati itu hanya gurauan semata. Megawati, kata Said, adalah sosok yang suka bercanda. Maka dari itu, Said berkata internal PDIP tidak menganggap pernyataan Presiden ke-5 RI itu sebagai sinyal pergantian kepemimpinan di partai.
“Ya kalau celetukan-celetukan seperti itu dianggap sinyal, bagi internal kami itu bukan sinyal. Ibu Ketua Umum itu suka bercanda,” ujar Said.
Di sisi lain, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menilai pidato politik Megawati Soekarnoputri merupakan sinyal kuat untuk regenerasi sebagai ketua umum berikutnya. Menurut Umam, ungkapan itu dapat dianggap sebagai dukungan terbuka Megawati kepada Puan untuk menjadi ketua umum partai selanjutnya.
“Statement Megawati ini bisa menjadi kode keras bagi struktur kepartaian PDI Perjuangan (PDIP) untuk mulai mengonsolidasikan kekuatannya mendukung Puan sebagai penerus Megawati ke depan,” kata Direktur Eksekutif IndoStrategic di Jakarta, Jumat, 24 Mei 2024, dikutip dari Antara.
Sementara itu, pengamat dinasti politik Yoes Kenawas juga menilai Puan sebagai kandidat kuat pengganti kepemimpinan ibunya. Hal ini karena puan sudah menjalani periode apprenticeship atau masa pendidikan dan persiapan untuk nantinya mengambil alih kepemimpinan PDIP.
“Puan adalah salah satu kandidat kuat penerus trah Sukarno untuk kepemimpinan PDIP selanjutnya,” kata Yoes dihubungi Sabtu, 25 Mei 2024. “Mbak Puan sudah menjalani periode apprenticeship untuk nantinya mengambil alih kepemimpinan PDIP ketika Bu Mega memutuskan sudah tiba saatnya.”
Soal Puan menggantikan posisi Megawati, juga mencuat saat Joko Widodo atau Jokowi disebut menginginkan kursi Ketua Umum PDIP usai pensiun dari jabatannya sebagai presiden. Jokowi mengatakan bahwa ada banyak kader PDIP yang lebih muda dari dirinya. Jokowi menyebut kandidat yang dimaksud adalah anak-anak Megawati, seperti Puan dan Prananda Prabowo.
Tak hanya itu, sejumlah kabar menunjukkan Puan sebagai salah satu calon paling kuat untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan PDIP yang selama ini dipegang keturunan Presiden Soekarno. Bahkan, kabar Puan Maharani akan memimpin PDIP semakin santer usai dia mundur dari potensi pencalonan dirinya sebagai capres atau pun cawapres di Pemilu 2024.
Kendati Puan diisukan bakal menggantikan kedudukan Ketua Umum PDIP, namun dalam Rakernas V PDIP para kader sepakat merekomendasikan Megawati diajukan kembali sebagai Ketua Umum PDIP periode 2025-2030 dalam Kongres ke-VI mendatang. Megawati dimohon kesediaannya untuk kembali menduduki jabatan tersebut, sebagaimana dibacakan Puan.
“Rakernas V Partai setelah mendengarkan pandangan umum DPD PDI Perjuangan se-Indonesia memohon kesediaan Megawati Soekarnoputri untuk dapat diangkat dan ditetapkan kembali sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, Periode 2025-2030 pada Kongres PDIP ke- VI tahun 2025,” kata Puan pada Ahad, 26 Mei 20Pua
Sultan Abdurrahman, Angelina Tiara Puspitalova, Khumar Mahendra, Defara Dhanya, Eka Yudha Saputra, M. Raihan Muzzaki, Yohanes Maharso, dan Hanin Marwah berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.