TEMPO.CO, Jakarta - Hamas mengatakan pada Senin malam bahwa Israel telah menawarkan gencatan senjata selama 45 hari, jika kelompok pejuang Palestina itu membebaskan setengah dari sandera yang masih ditawan di Gaza. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Gaza kini berada dalam cengkeraman krisis kemanusiaan terburuk sejak dimulainya perang setelah Israel memblokir seluruh bantuan kemanusiaan, termasuk air dan makanan sejak 2 Maret.
Seperti dilansir Al Arabiya, seorang pejabat Hamas mengatakan bahwa Israel juga menuntut agar kelompok pejuang itu melucuti senjata untuk mengakhiri perang Gaza. Namun, hal ini ditolak Hamas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mediator Mesir menyampaikan usulan Israel yang “mencakup pembebasan setengah dari sandera pada minggu pertama perjanjian, perpanjangan gencatan senjata setidaknya selama 45 hari, dan masuknya bantuan,” kata pejabat itu.
Hamas menyandera 251 orang selama serangan 7 Oktober 2023 yang memicu perang. Sekitar 58 orang masih ditahan di Gaza, termasuk 34 orang yang menurut militer Israel telah tewas.
“Usulan tersebut mencakup pelucutan senjata Hamas dan semua faksi bersenjata Palestina di Jalur Gaza sebagai syarat untuk mengakhiri perang secara permanen,” kata pejabat itu.
Para pemimpin Hamas sedang meninjau usulan gencatan senjata, tetapi pejabat itu mengatakan: “Posisi Hamas dan faksi-faksi perlawanan bahwa senjata perlawanan adalah garis merah dan tidak dapat dinegosiasikan,” kata pejabat itu.
Pejabat itu mengatakan negosiator Hamas akan pergi ke Qatar, tempat kelompok itu memiliki kantor dan pembicaraan mediasi utama dengan Israel telah diadakan. Israel tidak segera mengomentari pernyataan Hamas.
"Hamas memberi tahu para mediator bahwa mereka bersedia menyetujui proposal apa pun yang mencakup gencatan senjata permanen, penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza, dan masuknya bantuan," kata pejabat itu.
Sebelumnya, PBB memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan di Gaza semakin tak terkendali karena tidak ada bantuan yang masuk ke wilayah tersebut selama berminggu-minggu dan kondisinya memburuk dengan cepat.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan gencatan senjata "mendesak" di Gaza.
Dalam panggilan telepon, Macron dan Abbas "menekankan kebutuhan mendesak untuk gencatan senjata, percepatan pengiriman bantuan kemanusiaan (dan) penolakan pemindahan orang-orang Palestina dari tanah mereka," kantor berita resmi Palestina Wafa melaporkan.
Macron mengatakan pada X bahwa "Prancis dimobilisasi sepenuhnya" untuk membebaskan sandera dan menghentikan pertempuran. Ia juga menganjurkan "reformasi" Otoritas Palestina sebagai bagian dari langkah-langkah untuk membiarkan badan tersebut memerintah Gaza pascaperang tanpa Hamas.
Pejabat senior Hamas Taher al-Nunu mengindikasikan bahwa kelompok itu bersedia membebaskan semua sandera dengan imbalan "pertukaran tahanan yang serius" dan menjamin bahwa Israel akan mengakhiri perang.
"Masalahnya bukan jumlah tawanan," kata Nunu, "melainkan pendudukan mengingkari komitmennya, menghalangi pelaksanaan perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan perang." Berbicara setelah berunding dengan mediator Mesir dan Qatar, ia menegaskan Hamas tidak akan menyerahkan senjatanya.
Situs berita Israel Ynet melaporkan bahwa berdasarkan usulan gencatan senjata baru, Hamas akan membebaskan 10 sandera hidup dengan imbalan jaminan AS bahwa Israel akan memasuki negosiasi untuk gencatan senjata tahap kedua.
Israel, yang melakukan genosida di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, melanggar gencatan senjata dan kembali menyerang wilayah itu pada 18 Maret. Israel berkukuh menolak mundur dari Gaza seperti kesepakatan yang telah mereka setujui sebelumnya.
Jutaan warga Palestina mengungsi, dengan Israel memblokir bantuan kemanusiaan sejak 2 Maret, sebelum gencatan senjata berakhir.
PBB mengatakan persediaan medis, bahan bakar, air, dan kebutuhan pokok lainnya sangat terbatas.
"Situasi kemanusiaan saat ini kemungkinan merupakan yang terburuk dalam 18 bulan sejak pecahnya permusuhan," kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).
Pekerja bantuan terpaksa "melakukan pembatasan dan mengurangi pengiriman untuk memanfaatkan persediaan yang tersisa sebaik-baiknya," kata OCHA.
Di Rumah Sakit Nasser di kota selatan Khan Younis, seorang dokter, Ahmed al-Farah mengatakan tim medis bekerja tanpa henti meskipun “kekurangan dalam segala hal.”