TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Korea Selatan yang dipimpin LG Energy Solution resmi menarik diri dari proyek pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia. Nilai investasinya sebesar 11 triliun won atau sekitar US$ 7,7 miliar, setara Rp 129 triliun.
Kantor berita Korea Selatan Yonhap pada 18 April 2025 melaporkan, konsorsium itu terdiri dari LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan mitra lainnya. Konsorsium awalnya menyepakati perjanjian kerja sama dengan pemerintah Indonesia dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Mempertimbangkan kondisi pasar dan lingkungan investasi, kami telah memutuskan untuk keluar dari proyek,” kata seorang pejabat LG Energy Solution.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani mengklaim bahwa justru pemerintah yang mengakhiri perjanjian. “Sebetulnya untuk lebih tepatnya dari kami yang memutus itu berdasarkan surat 31 Januari 2025,” kata Rosan dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 23 April 2025.
Proyek pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik merupakan salah satu agenda dalam kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk dapat meningkatkan nilai komoditas nikel dan menciptakan kemampuan Indonesia untuk bergerak dalam industri hilirisasi.
Namun, di balik ambisi mengembangkan industri hilir berbasis nikel, lonjakan aktivitas tambang membawa dampak lingkungan yang signifikan.
Aktivitas tambang nikel di Indonesia mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Data Greenpeace Indonesia mencatat, hingga 2023 total area tambang terbuka nikel mencapai 45.588 hektare. Dari jumlah tersebut, 26.837 hektare menyebabkan deforestasi langsung, dan 16.223 hektare di antaranya tergolong tambang ilegal.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menjelaskan bahwa peningkatan pembukaan tambang terlihat jelas sejak 2016. “Kalau lihat dari 2016 ke 2023 itu meningkat, bahkan sampai 600 persen,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 28 April 2025.
Menurut Iqbal, data tersebut dihasilkan dari analisis terhadap wilayah konsesi tambang nikel yang memiliki batas wilayah atau polygon. Dari peta itu, Greenpeace mengidentifikasi area terbuka dalam konsesi yang digunakan untuk kegiatan tambang, seperti jalan dan void atau bekas galian tambang. “Dari situ kami hitung, berapa deforestasinya dan berapa besar void itu,” tuturnya.
Iqbal menambahkan bahwa deforestasi langsung yang tercatat dalam laporan ini merujuk pada hilangnya tutupan hutan alam akibat pembukaan tambang. “Jadi tidak hanya deforestasi yang dianggap tutupan yang hilang dalam konsesi atau kawasan hutan tapi dari hutan alam dalam pembukaan nikel tadi,” kata Iqbal.
Berdasarkan data Greenpeace, luas bukaan tambang nikel tiap tahun sejak 2016 adalah sebagai berikut:
• 2016: 931,77 hektare
• 2017: 1.401,62 hektare
• 2018: 1.729,35 hektare
• 2019: 2.895,88 hektare
• 2020: 3.385,32 hektare
• 2021: 4.554,17 hektare
• 2022: 6.009,79 hektare
• 2023: 6.819,24 hektare
Laporan yang sama juga mengungkap bahwa Sulawesi merupakan wilayah dengan konsentrasi tambang nikel tertinggi, mencapai 76,1 persen dari total luas tambang terbuka nasional. Secara provinsi, Sulawesi Tenggara mencatatkan area tambang nikel terbesar, disusul oleh Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Sementara itu, Kabupaten Morowali menjadi daerah dengan aktivitas tambang nikel paling luas di tingkat kabupaten.
Greenpeace juga menyebutkan bahwa 35,6 persen dari total tambang nikel yang dipetakan tergolong ilegal, yaitu berada di luar wilayah konsesi resmi atau di dalam kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).