Dosen UII: Dampak Tren Pindah Aset ke Emas Bagi Ekonomi Indonesia

5 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta - Harga emas melonjak dalam beberapa waktu terakhir seiring meningkatnya permintaan. Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artian mengatakan, investor ramai-ramai membeli emas buntut ketidakpastian ekonomi global. Mereka berupaya mengamankan asetnya ke dalam logam mulia tersebut.

“Karena emas memiliki korelasi rendah, bahkan negatif, terhadap aset seperti saham dan obligasi. Menjadikannya pelindung nilai yang efektif dalam kondisi krisis atau ketidakpastian ekonomi,” kata dia dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Senin, 21 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain, lonjakan minat terhadap emas tidak dapat dipisahkan dari konteks makroekonomi dan peran negara dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Menurut Listya, ketika publik secara kolektif mengalihkan aset mereka ke emas, hal ini dapat mencerminkan krisis kepercayaan terhadap stabilitas nilai uang dan sistem keuangan nasional.

Sebagai informasi, harga emas meningkat secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Pada awal April, harganya per ons troy atau per 31,1 gramnya mencapai sekitar 3.350 dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan nilai tukar rupiah ke dolar AS di Rp 16,800-an, maka per gramnya harga emas sekitar Rp 1,8 jutaan.

Kendati harganya meningkat, masyarakat justru ramai-ramai membeli emas. Listya mengatakan, fenomena borong emas ini terjadi lantaran emas bisa menjadi safe haven asset alias aset penyelamat. Sebab, emas mampu mempertahankan nilainya ketika terjadi tekanan sistemik pada pasar keuangan.

Terkait fenomena ini, menurut Listya, negara harus membaca sinyal pasar bukan sebagai sekadar gejala ekonomi, tetapi sebagai ekspresi persepsi dan ekspektasi publik terhadap arah ekonomi. Sebab, kata dia, tren memindahkan aset ke dalam emas dapat menimbulkan opportunity cost terhadap pembiayaan sektor riil.

“Karena dana yang seharusnya dapat digunakan untuk investasi produktif justru mengendap dalam bentuk aset non-produktif seperti emas,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta ini.

Berdasarkan data terbaru dari Bank Indonesia (BI), pada triwulan pertama 2025, terjadi perlambatan pertumbuhan simpanan deposito dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini mencerminkan pergeseran preferensi investor dan masyarakat terhadap instrumen investasi alternatif, seperti logam mulia, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi pasar keuangan.

Menurut Listya, dalam konteks teori crowding-out effect, perpindahan besar-besaran ini dapat mengganggu fungsi intermediasi lembaga keuangan, terutama jika didorong oleh sentimen negatif terhadap kebijakan moneter. BI telah merespons kondisi ini dengan menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen pada Januari 2025, sebagai upaya untuk mempertahankan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi .

Listya berpendapat kepercayaan terhadap bank sentral dan kebijakan fiskal menjadi instrumen utama dalam mencegah gelombang perpindahan kekayaan dari sektor formal ke aset lindung nilai yang pasif secara produktivitas. Menurut dia, pemerintah dan bank sentral, dalam hal ini, memiliki peran strategis untuk mengelola ekspektasi publik dan memperkuat kredibilitas kebijakan.

Salah satunya melalui transparansi komunikasi kebijakan (forward guidance), peningkatan literasi keuangan, dan penyediaan instrumen investasi yang inklusif serta kompetitif. Inisiatif seperti Sukuk Ritel, Obligasi Negara Ritel (ORI), reksadana syariah, hingga pendalaman pasar surat utang negara menjadi penting untuk mengarahkan dana publik ke instrumen yang tidak hanya aman, tetapi juga produktif secara makro.

Selain itu, dari perspektif fiskal, peningkatan investasi masyarakat ke emas juga dapat memengaruhi basis pajak dan efisiensi redistribusi. Emas yang dibeli dalam bentuk fisik sering kali tidak tercatat dalam sistem formal, berbeda dengan investasi di pasar modal atau properti yang lebih mudah diawasi dan dikenakan pajak secara proporsional.

“Dalam jangka panjang, ini dapat memperlemah kapasitas fiskal negara dan menciptakan segmentasi aset yang tidak sehat secara distribusi kekayaan,” kata dia.

Listya Endang menyarankan agar kebijakan publik idealnya diarahkan untuk:

1. Mengelola ekspektasi inflasi dan stabilitas rupiah, melalui komunikasi kebijakan moneter yang kredibel dan transparan.

2. Meningkatkan literasi investasi masyarakat, agar keputusan investasi tidak semata dipengaruhi sentimen atau efek ikut-ikutan (herding).

3. Menyediakan instrumen investasi negara yang kompetitif, agar emas tidak menjadi satu-satunya opsi persepsi aman.

4. Memperkuat regulasi dan pencatatan aset alternatif, untuk memastikan keadilan fiskal dan transparansi sistem keuangan.

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |