TEMPO.CO, Jakarta - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia. Iming-iming kerja di luar negeri, seperti Myanmar dan Kamboja, dengan gaji belasan juta per bulan berujung masuk ke jaringan online scam internasional.
Pepen, 55 tahun, menjadi warga negara Indonesia (WNI) yang berhasil pulang ke kampung halaman setelah 32 bulan menjadi korban TPPO di Myanmar. Tawaran kerja menjadi admin marketing dan tim IT dengan gaji Rp 16 juta membuat warga Bekasi yang dulunya memiliki perusahaan importir wine ini tertarik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saat pandemi, usaha impor wine dari Australia yang saya miliki bangkrut. Saya butuh mencari kerja dengan gaji besar untuk menutup berbagai tanggungan,” kata Pepen kepada Tempo pada Kamis, 24 April 2025.
Tawaran kerja itu datang dari seorang kenalan lama Pepen. Alih-alih Myanmar, awalnya sang rekan mengatakan Pepen akan bekerja di Thailand. Syarat yang dibutuhkan hanya paspor. Pepen kebetulan masih memiliki paspor dengan masa berlaku yang tersisa setahun.
Setelah menghubungi kontak yang diberikan rekannya, Pepen langsung diarahkan untuk berangkat. Jarak antara mendapatkan tawaran hingga keberangkatan hanya berselang dua pekan. “Semua ongkos ditanggung, hanya modal paspor saja,” ujarnya.
Lelaki ini berangkat berlima dengan sesama pencari kerja yang mendapat tawaran dari Jakarta menuju Bangkok pada Juli 2022. Di ibu kota Thailand itu, mereka sempat menginap satu malam di hotel. Setelah itu mereka menempuh perjalanan darat. Rombongan dipisah, Pepen semobil berdua dengan WNI laki-laki. Sementara tiga WNI perempuan lainnya menggunakan mobil berbeda menuju Mae Sot, kota di tepi barat Thailand.
Dari kota itu, Pepen masih menempuh perjalan darat menggunakan mobil double cabin. Dia ingat, sempat turun dari mobil untuk menyeberang sungai dengan sebuah perahu. Sebelum akhirnya memasuki perkampungan dengan satu kompleks bangunan perpagar tinggi dengan penjagaan orang bersenjata. Area yang menurut dia mirip seperti perkampungan terisolasi. “Di situ saya baru sadar bahwa ini bukan lagi di Thailand,” kata dia.
Saat masuk ke dalam, dia bertemu kembali dengan tiga WNI perempuan yang sempat terpisah kendaraan. Mereka berlima kemudian diarahkan beristirahat di sebuah ruangan yang kosong selama lima hari. Pepen masih sempat berkomunikasi dengan istrinya setibanya di sana.
Jarang sekali ia menjumpai WNI di kompleks tersebut. Menurut dia, pekerja di sana didominasi orang berbahasa Mandarin. Komunikasi lima WNI itu dibantu oleh seorang penerjemah asal Malaysia.
Di hari keenam, akhirnya mereka berlima dipanggil oleh seorang petugas. Hape mereka disita. Pepen juga mendapati pekerjaannya ternyata jauh dari yang ia bayangkan sebelumnya. “Kami disuruh menjadi admin untuk melakukan scam,” ujarnya.
Dia ditugaskan membuat akun Facebook dengan foto profil perempuan berpenampilan menarik. Lalu mengirim pesan ke target-target yang telah ditentukan. Pepen hanya bertugas melakukan komunikasi awal dengan korban scam. Setelahnya, proses diambil alih oleh tim yang lain untuk mulai mencoba menguras rekening korban.
Selama bekerja, dia ditargetkan bisa menghasilkan US$ 5000 dari korban. “Saya nggak pernah mencapai target,” tuturnya.
Selama 32 bulan di Myanmar, hanya tiga kali Pepen mendapatkan bayaran. Saat datang, ia sempat diberi uang senilai 5000 baht. Lelaki ini kembali mendapat uang 5000 baht saat dirinya dijual dan dipindahkan ke tempat lain di Myanmar. Terakhir, dia sempat mendapatkan uang 3000 baht menjelang pulang pada Februari 2025. “Total hanya 13 ribu baht. Jauh dari janji awal Rp 16 juta per bulan,” katanya.
Ketika tidak bekerja dengan baik, dia mengaku mendapatkan siksaan. “Disetrum pernah, disuruh jongkok sambil ngangkat galon berjam-jam juga,” ujarnya.
Pepen akhirnya bisa lepas dari jerat TPPO dan pulang ke Indonesia pada pertengahan Februari 2025. Saat sudah bisa kembali menyeberang ke Thailand, dia pulang bersama puluhan WNI lain yang juga menjadi korban TPPO di Myanmar.
Mantan pengusaha seperti Pepen dan juga WNI dengan latarbelakang pendidikan tinggi tak lepas dari jerat TPPO. Pepen akhirnya bisa menceritakan dengan lepas kisahnya, bahkan mengikuti forum dialog tentang TPPO yang diselenggarakan Serikat Buruh Migran di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta Pusat pada Kamis, 24 April 2025 lalu.
Sebelumnya, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding mengatakan TPPO tidak hanya menjerat orang tak berpendidikan.“Orang yang berangkat itu rata-rata terdidik. Itu dari temuan saya dulu dari 556 orang (yang sudah kembali ke Indonesia),” kata Karding di Gedung Kementerian P2MI, Jakarta Selatan, Jumat, 11 April 2025.
Karding mencontohkan, ada salah satu korban TPPO yang berasal dari Semarang dan berlatar belakang profesi sebagai seorang kontraktor. Namun, kata dia, karena ada vendor yang telat membayar tagihan terpaksa orang itu menerima tawaran kerja di Myanmar. Tawaran itu datang lewat media sosial Facebook.
Politus Partai Kebangkitan Bangsa itu meyakini jaringan perekrut pekerja ilegal itu juga berasal dari Indonesia. “Kami harus bongkar jaringan ini karena rata-rata juga orang Indonesia,” kata dia.
Karding menyatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Polri terkait permasalahan ini. Hingga saat ini, dia mengaku masih kesulitan mendapat data pasti pekerja migran Indonesia di Myanmar maupun Kamboja. Dua negara itu tidak terdaftar sebagai penempatan pekerja migran Indonesia sehingga para pekerja berangkat tanpa prosedur yang jelas. “Mereka berangkat pakai visa turis dan tidak langsung ke Kamboja, biasanya ke Thailand dulu,” ujarnya.