Benarkah Sering Bercinta Bisa Bikin Lebih Bahagia? Ini Penjelasan Ahli

9 hours ago 4

CANTIKA.COM, Jakarta - Terlalu sering, dalam film dan televisi, kita melihat skenario di mana salah satu pasangan tidak puas dengan frekuensi seksual dalam hubungan. Individu ini memang tidak bahagia, tetapi jika mereka lebih sering bercinta dalam hubungan, cerita tersebut menunjukkan, mereka akan bahagia. Mereka tidak perlu mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan atau mencari alternatif seks lain.

Tentu saja, ini bukan sekadar alur cerita Hollywood; dalam kehidupan nyata, pasangan bisa saja merasa tidak puas dengan intensitas aktivitas seksual dalam hubungan. Namun, apakah mereka sebenarnya akan lebih bahagia jika lebih sering berhubungan seks dengan pasangannya? Dengan kata lain, apakah peningkatan frekuensi seksual meningkatkan persepsi kebahagiaan seseorang ?

Ini telah menjadi topik yang menarik dalam penelitian sosiologis, psikologis, dan kesehatan seksual. Berikut pemaparan David W. Wahl, psikolog sosial dan peneliti seks.

Lebih Banyak Seks, Lebih Bahagia Benarkah? 

Beberapa studi memang melaporkan hubungan positif antara frekuensi seksual dan kebahagiaan. Dengan menggunakan sampel 16.000 orang dewasa, Blanchflower dan Oswald (2004) menemukan bahwa individu yang melaporkan tingkat frekuensi seksual yang lebih tinggi juga melaporkan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi. 

Mereka menemukan bahwa bahkan mengubah aktivitas seksual dari sebulan sekali menjadi seminggu sekali dapat mengurangi stres, memperkuat ikatan pasangan, dan menghasilkan kesuksesan yang lebih besar dalam aspek kehidupan lain di luar rumah, seperti kesuksesan di tempat kerja.

Untuk mendukung penelitian Blanchflower dan Oswald, sebuah studi oleh Muise, Schimmack, dan Impett (2016) mengkaji data dari lebih dari 25.000 partisipan di berbagai set data. Mereka menemukan hubungan antara frekuensi seksual, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Meningkatkan frekuensi seksual menjadi seminggu sekali menghasilkan hasil positif.

Namun, peningkatan tambahan tidak menghasilkan efek yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi seksual yang moderat dapat meningkatkan persepsi kebahagiaan, terutama bagi pasangan yang menjalin hubungan berkomitmen.

Terakhir, Meltzer dkk. (2017) menemukan bahwa pasangan yang lebih sering berhubungan seks melaporkan kepuasan pernikahan yang lebih tinggi, yang berkorelasi dengan kebahagiaan hidup yang lebih besar secara keseluruhan. Mereka mencatat bahwa aktivitas seksual mendorong kedekatan emosional, yang, dengan frekuensi yang lebih tinggi, dapat memperkuat efek positif dan berkontribusi pada rasa kepuasan hidup.

Loewenstein dkk. (2015) bergerak melampaui penelitian yang mengkaji korelasi positif antara frekuensi seksual dan kebahagiaan yang dirasakan, dan meneliti apakah terdapat peningkatan kebahagiaan secara kausal. Mereka meminta pasangan untuk mengubah pola seksual dalam hubungan mereka. Secara acak, separuh pasangan diminta untuk menggandakan frekuensi seksual mereka.

Temuan para penulis menyimpulkan bahwa peningkatan frekuensi seksual tidak meningkatkan kebahagiaan. Salah satu penjelasan yang mereka buat adalah bahwa peningkatan frekuensi seksual mungkin telah menyebabkan penurunan keinginan dan kenikmatan seksual.

Schoenfeld dkk. (2017) menemukan bahwa kepuasan seksual, bukan hanya frekuensi seksual, merupakan prediktor kebahagiaan yang lebih kuat. Partisipan dengan hubungan seksual yang lebih memuaskan, tetapi lebih sedikit, cenderung melaporkan tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang mengalami hubungan seksual yang lebih sering, tetapi kurang memuaskan.

Seperti biasa, penting untuk diingat bahwa korelasi tidak menyiratkan sebab akibat. Frekuensi seksual tidak mungkin secara seragam menghasilkan kebahagiaan bagi semua individu atau hubungan, karena beberapa alasan yang kuat.

Kualitas interaksi seksual, misalnya, dapat lebih penting daripada kuantitasnya. Individu yang lebih bahagia secara alami cenderung melakukan lebih banyak aktivitas seksual, alih-alih peningkatan frekuensi yang menyebabkan kebahagiaan. Peristiwa positif dalam hidup, seperti promosi jabatan dan peningkatan pendapatan, dapat menyebabkan frekuensi seksual yang lebih tinggi, yang menunjukkan bahwa kebahagiaan dapat mendorong perilaku seksual, bukan sebaliknya.

Faktor budaya dan sosial semakin memperumit situasi. Dalam masyarakat yang menstigmatisasi aktivitas seksual atau terikat pada ekspektasi sosial yang kaku, peningkatan frekuensi mungkin tidak menjamin kebahagiaan. Perempuan dalam konteks budaya tertentu, misalnya, mungkin menghadapi tekanan untuk memenuhi tuntutan seksual pasangannya, yang dapat menyebabkan stres dan penurunan kesejahteraan emosional, alih-alih perasaan bahagia.

Bagaimana dengan pilihan gaya hidup yang berkontribusi terhadap penurunan frekuensi, seperti stres kerja atau masalah keuangan dan keluarga? Apakah penuaan berkontribusi terhadap penurunan tersebut? Adakah masalah kesehatan fisik, perubahan hormon , atau tantangan kesehatan mental?

Daftar ini dapat diperluas secara signifikan, tetapi cukup adil untuk mengatakan bahwa sekadar menambah frekuensi Anda dan pasangan berhubungan seks mungkin tidak akan menyelesaikan masalah yang mendasarinya dan, oleh karena itu, tidak akan meningkatkan kebahagiaan atau kepuasan hidup.

Lebih lanjut, fokus pada aktivitas seksual berpasangan dalam banyak penelitian mengabaikan individu lajang atau mereka yang berada dalam hubungan non-tradisional. Aktivitas seksual solo, seperti masturbasi, juga dapat berkontribusi pada kebahagiaan. Brody (2010) menemukan bahwa frekuensi masturbasi berkorelasi dengan peningkatan suasana hati pada beberapa individu. Hal ini menunjukkan bahwa dampak frekuensi seksual terhadap kebahagiaan melampaui konteks berpasangan.

Jadi, apakah berhubungan seksual lebih sering akan membuat kamu dan pasangan lebih bahagia? Tidak ada jawaban yang mudah.

Peningkatan frekuensi seksual dapat meningkatkan kebahagiaan, terutama jika terjadi dalam konteks hubungan yang memuaskan, konsensual, dan emosional. Studi menunjukkan bahwa frekuensi sedang, sekitar seminggu sekali, dapat mengoptimalkan kesejahteraan bagi beberapa pasangan, didorong oleh manfaat biologis, emosional, dan relasional.

Namun, efeknya tidak universal, karena hasrat individu, kualitas hubungan, kesehatan, dan norma budaya memainkan peran penting. Memaksakan peningkatan frekuensi tanpa keinginan bersama bahkan dapat mengurangi kebahagiaan. Hubungan antara frekuensi seksual dan kebahagiaan menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan aktivitas seksual dengan autentisitas pribadi dan relasional .

Pilihan Editor: Setelah Bercinta, Perempuan atau Laki-laki yang Lebih Cepat Tertidur?

PSYCHOLOGY TODAY 

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi Terkini Gaya Hidup Cewek Y dan Z di Instagram dan TikTok Cantika

Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |