Belajar dari Kasus Mbah Tupon, Begini Cara Main Mafia Tanah

3 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Mbah Tupon, warga Ngentak, Bangunjiwo, Bantul menjadi korban mafia tanah. Sertifikat tanah miliknya seluas 1.655 meter persegi tiba-tiba beralih nama menjadi milik orang lain dan dijadikan agunan kredit sebesar Rp1,5 miliar di sebuah lembaga keuangan.

Senasib dengan Mbah Tupon, Bryan Manov Qrisna Huri, warga Tegalrejo, Tamantirto juga mendadak kehilangan tanahnya. Tiba-tiba lahan keluarga seluas 2.275 meter persegi menjadi agunan di sebuah lembaga perbankan di Sleman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua korban kasus tanah tersebut saat ini menunggu pengembalian hak atas sertifikat tanah yang mereka anggap telah disalahgunakan oleh pihak yang dipercayai. Kasus tanah juga telah dilaporkan ke Polda DIY.

Bupati Bantul Abdul Halim Muslih menyebut kasus penipuan tanah yang menimpa Bryan lebih ekstrem dari kasus tanah yang dialami Mbah Tupon.

"Tim hukum ini kan sudah menginvestigasi laporan Mas Bryan, jadi ada kisah yang mirip dengan kasus Mbah Tupon, tetapi ini lebih ekstrem lagi," kata Halim kepada Antara di Bantul, Rabu, 30 April 2025.

Menurut dia, kasus tanah yang dialami Bryan dinilainya lebih ekstrem karena tidak ada satu pun tanda tangan dari Bryan dan keluarga, namun tiba-tiba sertifikat berubah nama.

"Ini lebih ekstrem lagi dibanding Mbah Tupon, kalau Mbah Tupon jelas diajak untuk tanda tangan, cuma dia tidak bisa tulis tidak bisa baca, sehingga percaya saja akan dibantu pemecahan sertifikat, tapi kasusnya Mas Bryan lebih ekstrem lagi lebih gila lagi," katanya.

Bupati Bantul mengatakan, dalam laporan kasus tanah yang diterima dari keluarga Bryan, pihak keluarga tidak pernah tanda tangan, namun oleh orang yang sebelumnya dipercaya untuk menguruskan pemecahan sertifikat tanah, justru dibalik nama menjadi atas nama orang lain.

"Itu berarti kemungkinan ada pemalsuan, jadi penipuan dan pemalsuan dokumen, karena bagaimana bisa beralih kalau tidak ada dokumen, akta jual beli kan tidak mungkin dan dalam akta apa pun pasti diperlukan tanda tangan pemilik sertifikat," katanya.

Oleh karena itu, kata Halim, kasus tanah yang dialami Bryan ini luar biasa, bahkan dari laporan yang diterima, luas tanah yang kemudian beralih nama lebih luas dan besaran kredit yang dicairkan lebih besar dibanding kasus Mbah Tupon.

"Makanya ini sesuatu yang luar biasa, kalau Mbah Tupon jelas dia tidak bisa baca dan ditipu orang, lha Mas Briyan dan keluarga bukan orang buta huruf, itu pun bisa jadi korban," katanya.

Bupati mengatakan, saat ini tim hukum yang diterjunkan Bagian Hukum Pemkab Bantul sedang melakukan pendampingan dan advokasi kepada keluarga Bryan untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut, hal yang sama juga dilakukan terhadap kasus tanah Mbah Tupon.

Bryan mengungkap kasus penipuan yang dialami tersebut bermula sekitar Agustus 2023, saat itu ibunya yakni Endang Kusumawati, 67 tahun, mempunyai kenalan atas nama Triono dan meminta bantuan untuk melakukan pecah sertifikat tanah.

Akan tetapi, sertifikat tanah milik keluarganya seluas 2.275 meter tiba-tiba beralih nama menjadi Muhammad Achmadi dan dijadikan agunan kredit di lembaga perbankan di Kabupaten Sleman.

Satgas Pemberantasan Mafia Tanah

Bupati Abdul Halim Muslih menyatakan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dipimpinnya siap membentuk satuan tugas (Satgas) pemberantasan mafia tanah pasca-dua kasus penipuan penggelapan sertifikat tanah di wilayah Kasihan, seperti dialami keluarga Mbah Tupon.

"Saya rasa perlu satgas pemberantasan mafia tanah, dan agar efektif tentu dibentuk dengan melibatkan lintas instansi," kata Halim.

Menurut dia, tidak hanya melibatkan dari Bagian Hukum Pemkab Bantul saja, satgas juga melibatkan unsur kepolisian, kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Tata Ruang dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bantul.

Bupati juga mengatakan, kasus tanah yang dialami keluarga Mbah Tupon dan Bryan Manov, yaitu sama-sama ada peralihan nama sertifikat hak milik oleh pihak yang dipercaya melakukan pengurusan, padahal permintaannya untuk pecah sertifikat.

"Ada indikasi mafianya sama, karena investigasi kok menemukan nama-nama yang mirip, apakah itu orangnya sama atau tidak, masih terus didalami," katanya.

Terlebih, kata Bupati, transaksi pemindahan nama dari Mbah Tupon dan Bryan ke pihak lain, juga membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan (BPHTB), sehingga petugas tidak mengerti ada persoalan dalam peralihan.

"Petugas kita tidak ada kepentingan untuk melakukan validasi, sesungguhnya sertifikat ini atas nama siapa, yang bayar BPHTB banyak, jadi dua-duanya meyakinkan bahwa telah terjadi peralihan hak, buktinya mereka bayar BPHTB, dan berarti akta jual beli ini palsu," katanya.

Ia mengaku heran, karena sertifikat tanah milik tersebut bisa demikian mudah beralih ke tangan lain tanpa ada pembubuhan tanda tangan sekalipun dari pihak pemilik, dalam hal ini yang menimpa kasus Bryan.

"Ini juga jadi perhatian, karena mereka bayar BPHTB, dan masa ditanya setiap orang bayar BPHTB itu ditanya dan ditelusuri, tidak mungkin, kita tidak ada ketentuan seperti itu," katanya.

Sertifikat Diblokir

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah memblokir sertifikat tanah terkait sengketa lahan Mbah Tupon hingga pemeriksaan oleh kepolisian selesai.

"Sertifikat sekarang sudah diblokir agar tidak bisa dipakai proses jual beli. Karena sekarang sedang ditangani kepolisian," kata Nusron usai peresmian integrasi data di Puspemkot Tangerang, 30 April 2025.

Ia juga memastikan kasus Mbah Tupon sudah ditangani dengan naik. Saat ini pihak debitur sudah diadukan ke polisi.

Ia menjelaskan kasus ini berawal saat Mbah Tupon diminta untuk tanda tangan berkas yang tidak diketahui isinya dan ternyata itu adalah pengalihan hak. Setelah pihak tersebut mendapat tanda tangan pengalihan, lalu dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman dari PT Penjaminan Nasional Madani (PNM).

"Intinya adalah penipuan tanda tangan untuk mendapatkan pinjaman ke PNM. Kita sudah libatkan kepolisian agar tak ada mafia tanah," ujarnya.

Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta berjanji mempercepat penyelidikan kasus dugaan penggelapan sertifikat tanah milik Mbah Tupon, 68 tahun.

"Proses ini menjadi perhatian kami dan menjadi atensi. Proses penyelidikan masih dilakukan, saksi sudah dilakukan pemeriksaan," kata Kapolda DIY Inspektur Jenderal Anggoro Sukartono di Yogyakarta.

Menurut Anggoro, penyidik akan mengklarifikasi pejabat-pejabat yang terlibat dalam penerbitan sertifikat tanah tersebut. Hasil pemeriksaan akan menentukan apakah proses naik ke tahap penyidikan.

"Nanti prosesnya akan kami informasikan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan dalam penggalian penyelidikan nanti akan naik atau tidak ke proses penyidikan berikutnya," ujarnya.

Ribuan Kasus Tanah

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengklaim telah menyelesaikan 2.161 kasus pertanahan dari 5.973 kasus yang diterima sepanjang 2024. Menteri Nusron Wahid mengatakan kasus-kasus yang diselesaikan tersebut mencakup 936 sengketa, 32 konflik, dan 1.193 perkara pertanahan.

"Kasus yang kami selesaikan mulai dari konflik individu, konflik dengan korporasi, hingga perkara yang melibatkan negara," kata Nusron di Jakarta, Selasa, 31 Desember 2024, dikutip dari keterangan resmi.

Kasus dikelompokkan berdasarkan intensitas konflik. Pemetaan kasus ini, kata dia, akan menjadi dasar bagi Kementerian ATR/BPN untuk merumuskan kebijakan efektif di masa depan.

Adapun kategori kasus pertanahan pertama adalah low intensity conflict atau konflik rendah. Misalnya, perselisihan antarindivisu terkait dengan warisan. Menurut Nusron, 5.552 kasus termasuk dalam kategori ini. "Pendekatan yang digunakan biasanya bersifat mediasi dengan fokus pada penyelesaian personal," kata dia.

Kategori berikutnya, high intensity conflict yang umumnya melibatkan individu dengan korporasi, korporasi dengan negara, atau antarkorporasi. Sebagai contoh, kasus pengambilalihan tanah rakyat oleh perusahaan atau akuisisi tanah negara oleh pihak swasta. Ia mengatakan ada 374 kasus yang tergolong dalam kategori ini. Penyelesaiannya, kata dia, menggunakan pendekatan yang lebih kompleks. "Mengutamakan aspek hukum dan negosiasi," tuturnya.

Selain itu, ada kasus pertanahan yang masuk kategori political intensity conflict. Maksudnya, konflik ini pertanahan ini berpotensi melahirkan dampak politik, seperti sengketa tanah masyarakat dengan negara dalam proyek infrastruktur.

"Misalnya, dalam pengadaan jalan tol," ujar dia. "Ada 47 kasus dalam kategori ini yang memerlukan pendekatan politik untuk penyelesaian."

Politikus Partai Golkar itu menuturkan, kasus dengan intensitas politik membutuhkan pendekatan diplomasi dan komunikasi politik sebagai kunci utama. Hal ini berbeda dengan konflik intensitas rendah yang justru lebih efektif diselesaikan melalui mediasi antarindividu.

Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Read Entire Article
International | Entertainment | Lingkungan | Teknologi | Otomotif | Lingkungan | Kuliner |