Jakarta (ANTARA) - Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya dan memiliki beragam seni tradisional yang mengagumkan, salah satunya adalah seni pertunjukan wayang kulit.
Wayang kulit merupakan seni pertunjukan teater bayangan yang unik dan khas, di mana kisah-kisah pada zaman dahulu serta nilai-nilai luhur disampaikan melalui bayangan-bayangan boneka kulit yang dimainkan dengan penuh keterampilan.
Seni pertunjukan wayang kulit Indonesia ini telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity, atau karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi serta warisan budaya yang indah dan berharga pada 2003.
Untuk menciptakan sebuah pertunjukan wayang kulit yang mengagumkan, dibutuhkan berbagai unsur yang saling mendukung. Dalang, sebagai tokoh utama dalam wayang kulit, memegang kendali penuh atas jalannya pertunjukan. Ia bukan hanya penggerak figur wayang, tetapi juga narator yang menceritakan kisah dengan keahlian berbicara, bernyanyi dan memerankan berbagai karakter.
Lalu Wayang kulit yang terbuat dari kulit kerbau yang dipahat dengan detail yang luar biasa. Setiap karakter memiliki bentuk dan warna yang khas, mencerminkan kepribadian dan statusnya dalam cerita.
Wayang yang dipegang oleh dalang kemudian diposisikan di depan layar putih, menghasilkan bayangan yang menakjubkan ketika diterangi cahaya dari belakang.
Layar, yang terbuat dari kain putih itu menjadi media utama di mana cerita dijalin. dan yang tidak kalah penting dalam pertunjukan wayang kulit adalah musik gamelan yang mengiringi setiap langkah cerita. Orkestra gamelan, yang terdiri dari berbagai instrumen seperti gong, kendang, gender dan suling memberikan nuansa yang memperkaya pengalaman menonton.
Sejarah Wayang kulit
Wayang, sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, ditinjau dari sejarah yang ada karya seni ini telah ada sejak sekitar 1500 tahun sebelum Masehi.
Asal-usulnya diyakini berakar dari para leluhur suku Jawa yang menciptakan wayang sebagai bagian dari ritual pemujaan roh nenek moyang dan upacara adat. Pada masa awal, wayang terbuat dari rerumputan yang diikat, bentuknya masih sangat sederhana, dan hanya digunakan dalam konteks spiritual.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan bahan yang lebih tahan lama, seperti kulit binatang buruan atau kulit kayu, mulai diterapkan dalam pembuatan wayang.
Wayang kulit tertua yang ditemukan diperkirakan berasal dari abad ke-2 Masehi. Perkembangan wayang semakin pesat, seiring dengan masuknya ajaran agama Hindu ke Indonesia, yang memperkenalkan cerita-cerita legenda seperti kisah Mahabharata dan Ramayana.
Relief-relief di candi-candi Jawa Timur seperti Candi Surawana, Candi Jago, dan Candi Panataran, menunjukkan bahwa seni ini telah menyebar ke berbagai wilayah.
Perkembangan wayang kulit memasuki babak baru saat kesultanan Islam masuk di Indonesia.
Wayang kulit yang awalnya eksklusif untuk lingkungan istana kini diperkenalkan ke masyarakat luas oleh para pendakwah Islam, termasuk dalang-dalang terkenal seperti Sunan Kalijaga.
Mereka menyesuaikan bentuk wayang agar sesuai dengan ajaran Islam, serta memperkenalkan tokoh-tokoh baru seperti panakawan: Semar, Petruk, Bagong dan Gareng.
Saat ini, karya seni pertunjukan wayang kulit telah hadir di panggung-panggung modern dengan menggabungkan tradisi dengan teknologi terkini. Meskipun demikian, nilai-nilai budaya dan filosofi yang terkandung dalam cerita-cerita wayang tetap dipertahankan, menjadikannya relevan dan menarik bagi generasi masa kini.
Secara keseluruhan, wayang kulit adalah karya seni yang menggabungkan berbagai elemen yaitu dalang, wayang, layar dan musik ke dalam sebuah pertunjukan yang penuh dengan nilai dan makna. Sebagai warisan budaya yang kaya dan sejarah yang panjang, wayang kulit adalah sebuah seni yang harus terus dijaga dan dilestarikan, agar dapat dinikmati dan dihargai oleh generasi mendatang.
Baca juga: Peran dalang, sinden, dan pengrawit dalam pementasan wayang kulit
Baca juga: Rekomendasi kegiatan untuk mengisi libur akhir pekan di Jakarta
Baca juga: Polri gelar wayang kulit lakon "Tumurune Wiji Sejati"
Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024